Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, Sriwijaya diperkirakan ada sejak tahun 682 Masehi. Setelah banyak perdebatan dan unjuk pendapat mengenai pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, nampaknya memang Kota Palembanglah secara umum dipercaya sebagai ibu kota dinasti ini. Pendapat ini lantas diperkuat dengan pernyataan Muljana dalam Santun (2013), yang menyatakan bahwa ibu kota Sriwijaya abadi di Palembang, dan tidak pernah berpindah. Daerah kekuasaan kerajaan ini pun jauh meliputi hingga ke beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, seperti 1) Pong-fong (Pahang), 2) Tong-yanong (Trengganu), 3) Ling-ya-si-kia (Langkasuka), 4) Kilantan (Kelantan), 5) Ji-loting (Jelotong), 6) Tan-ma-ling (Tamralingga), 7) Kia-lo-hi (Grahi), 8) Pal-linfong (Palembang), 9) Sin-to (Sunda), 10) Ken-pi (Kampe), 11) Lan-wu-li (Lamuri/Aceh), 12) Si-lan (Sri Lanka), 13) Siam (Thailand), 14) Tsi’en-mai (tidak diketahui secara pasti letak geografisnya) dan 15) Fo-lo-an (Dungun) (Muljana, 2006).
Imperium Sriwijaya secara dominan dikenal menganut ajaran Buddha. Pernyataan tersebut didukung dengan banyaknya temuan bukti fisik berupa prasasti-prasasti yang tersebar di sekitaran pusat kekuasaan Sriwijaya. Namun, tidak dapat dimungkiri memang ajaran Hindu juga berkembang beriringan dengan ditemuinya beberapa arca, seperti Durgāmahiśasuramardinȋ yang ditemukan di Desa Wana, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung. Sebagai percontohan, pengaruh kedua ajaran ini pernah dipetakan oleh Saptono (2013) ke dalam tulisannya yang secara garis besar dikatakan bahwa ajaran Buddha cenderung berkembang di wilayah hilir sungai Way Sekampung, sebaliknya pengaruh Hindu banyak ditemui di sekitaran hulunya.
Ajaran Buddha di Sriwijaya digadang memiliki pengaruh kuat terutama di wilayah Asia bagian tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang dikutip berkenaan dengan pernyataan tersebut sebagian besar bersumber dari banyaknya catatan-catatan perseorangan, seperti biksu I-Tsing, baik melalui catatan hubungan diplomatik ke kekaisaran Cina atau kemaharajaan di India. Memang perlu diakui, hubungan diplomatik antara Sriwijaya-CinaIndia sangatlah signifikan. Hubungan mereka tidak hanya menghasilkan jejak keuntungan ekonomis, seperti hubungan perdagangan melalui jalur pelayaran, namun lebih spesifik lagi mempengaruhi eksistensi ajaran agama. Melalui jalur pelayaran, disebutkan bahwa Dinasti Tang dengan Kerajaan Sriwijaya telah menjejaki hubungan diplomatik sejak tahun 683 Masehi atau jauh sebelumnya (Saputra & Hasan, 2014). Secara umum memang kedua pihak ini berfokus pada isu perdagangan komoditas, seperti cendana, kayu harum, dan wangi-wangian, namun demikian isu agama tidak pernah bisa lepas dari perihal ini. Bahkan biksu I-Tsng yang disebut pernah belajar di Sriwijaya, lantas pernah menyarankan kepada para pendeta Buddha muda di Dinasti Tang yang berkeinginan menuntut ilmu ke Nalanda (India) untuk terlebih dahulu menetap selama satu sampai dua tahun di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskrit dan kitab. Menurut catatan I-Tsing, terdapat kurang lebih 1.000 biksu yang belajar agama Buddha dan bahasa Sanskerta di Sriwijaya (Sholeh, 2017, p. 174).
Selain berangkat dari catatan asing, temuan-temuan fisik seperti prasasti dari Kerajaan Sriwijaya juga banyak mengungkap eksistensi perkembangan agama Buddha dikerajaan ini. Salah satu catatan fisik yang membahas mengenai perkembangan agama Buddha di Sriwijaya dapat dilihat pada Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 Masehi. Berdasarkan isi Prasasti Talang Tuwo, Dapunta Hyang Sri Jayanaga berusaha menjadikan imperium Sriwijaya sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, serta pusat pengajaran agama Buddha di tingkat perguruan tinggi yang diperguru oleh seorang bernama Dharmapala (Yenrizal, 2018, p. 840).
Prasasti Nalanda sebagai Bukti Diplomasi Bidang Pendidikan Agama Buddha Sriwijaya Nalanda. Prasasti memang diketahui sebagai salah satu media yang dapat mengungkap berita dan fakta-fakta sejarah, serta kerap kali dijadikan rujukan primer bagi para sejarawan. Berita yang termuat dalam prasasti seyogianya sangatlah signifikan terhadap penelitian arkeologi. Melalui prasasti, sejarawan mampu meneliti dan mengetahui kondisi dan corak kehidupan pada masa yang berkenaan (Rezeki, 2020). Kendati demikian, signifikansi prasasti sebagai rujukan tidak serta-merta menjamin ketuntasan pengungkapan data yang kita harapkan (Santiko, 2015). Demikian, validasi data yang berkenaan dengan suatu fakta sejarah bergantung pada analisis sejarawan untuk mengungkap eksistensinya. Berkenaan dengan pokok bahasan, maka penulis akan mencba untuk menganalisis berita dan informasi yang terdapat pada Prasasti Nalanda dan menarik benang merahnya sebagai bukti yang menerangkan jalinan hubungan antara Sriwijaya-Nalanda dalam eksistensi pendidikan agama Buddha.
Prasasti Nalanda terletak dan ditemukan di depan pintu masuk monastery site 1, kompleks Maha Vihara Nalanda, Bihar, India Selatan (lihat gambar 1). Maha Vihara Nalanda didirikan oleh kaisar Asoka. “Nalanda” berarti “teratai” yang dikatakan sebagai pelambangan dari ilmu pengetahuan. Maha Vihara Nalanda merupakan universitas dan pusat pendidikan agama Buddha kuno yang sangat tersohor, bahkan biksu I-Tsing pun pernah belajar di kompleks pendidikan ini selama kurang lebih sepuluh tahun (Laha, 2015). Kompleks pusat belajar ini memiliki delapan bangunan, 11.000 ruang, dan tiga perpustakaan yang diberi nama Ratnadadhi, Ratnasagar, serta Ratnarajaka. Setidaknya pelajar yang pernah menuntut ilmu di Maha Vihara Nalanda berasal dari banyak wilayah Asia, seperti Cina, Sumatra, Kamboja, Korea, dan lainnya. Salah seorang pelajar dari Sumatra (Kerajaan Sriwijaya) yang pernah menempuh pendidikan di Nalanda, ialah Dharmapala. Seperti yang telah disinggung pada sub-pembahasan sebelumnya, Dharmapala merupakan salah satu mahagu u yang ditunjuk oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga sebagai guru besar pusat pengajaran Agama Buddha Kerajaan Sriwijaya.
Ditemukan pada tahun 1921, lempeng
Prasati Nalanda yang berbahan tembaga ini ditulis dengan huruf Devanagari dan
berbahasa Sanskerta yang berukuran huruf sekira 0,8 cm (Atika, 2016). Prasasti
ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa, dari Dinasti Pala abad
ke-9 Masehi yang dikenal sebagai pemelihara agama Buddha. Secara umum, isi dari
prasasti ini diketahui berisikan traktat kerjasama pendidikan yang dijalin Raja
Dewapaladewa dari Imperium Pala dengan Raja Balaputradewa dari Kerajaan
Sriwijaya. Dalam keterangannya, Geria (2017) mengatakan bahwa Prasasti Nalanda
juga menyinggung tentang Raja Balaputradewa yang melakukan pengajuan terhadap
pembebasan tanah-tanah sima di beberapa desa di Nalanda, agar dijadikan sebagai
asrama untuk pelajar-pelajar yang berasal dari Sriwijaya. Hubungan diplomatik
melalui bidang pendidikan keagamaan ini lantas terus terjalin hingga beberapa
masa setelahnya. Selain itu, para biksu yang belajar yang ke Nalanda
semata-mata tidak hanya diberikan pembekalan agama, namun juga yang berkaitan
dengan kepandaian arsitektur dan arca.
Prasasti Nalanda secara tidak langsung pun menyatakan bahwa di Nalanda (Maha
Vihara Nalanda) adalah pusat pengajaran agama Buddha, sama seperti Sriwijaya.
Kedua wilayah ini lantas saling memberikan pengaruh terhadap diseminasi dan peningkatan
kualitas pengajaran agama Buddha di seluruh Asia. Bukti-bukti yang membenarkan
pernyataan tersebut dapat diringkas sebagai berikut.
- Sriwijaya merupakan salah satu pusat ajaran agama Buddha yang paling tersohor di Asia Tenggara. Pernyataan tersebut dikutip dari berita I-Tsing yang menyatakan di Sriwijaya terdapat sekira kurang lebih 1.000 biksu yang belajar tata bahasa dan sanskrit kitab. Demikian I-Tsing menyarankan kepada siapapun yang ingin meneruskan pendidikan ke Nalanda sebaiknya belajar terlebih dahulu ke Sriwijaya.
- Nalanda turut mencetak lulusan yang berkualitas dan berdikasi tinggi. Pusat pengajaran Maha Vihara Nalanda lantas membiarkan para lulusannya untuk kembali dan berkontribusi ke negara atau wilayahnya dalam aspek pengembangan dan perubahan sosial-budaya, terutama peningkatan ajaran Buddha. Salah satu lulusan terbaik Nalanda adalah Dharmapala. Meskipun diketahui berasal dari Tibet (Archaeological Survey of India, 2019), Dharmapala merupakan salah satu mahaguru yang memimpin perguruan tinggi yang dibangun pada masa Pemerintahan Sri Jayanaga abad ke-7 Masehi di Sriwijaya. Ia dikenal berkontribusi terhadap penulisan dan penerjemahan transkrip ajaran Buddha selama belajar di Maha Vihara Nalanda.
- Berdasarkan
Prasasti Nalanda, Raja Balaputradewa pernah meneken kesepakatan dengan Kerajaan
Pala terhadap pengajuan sima dan pembangunan asrama bagi mahasiswa dari
Sriwijaya yang belajar agama Buddha di Nalanda. Demikian, hubungan diplomatis
Sriwijaya-Nalanda kian terang dengan adanya Prasasti Nalanda sebagai traktat
perjanjian kerjasama pendidikan ajaran Buddha.