Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Agama Buddha Pada Zaman Penjajahan

Sejak datangnya penjajah ke Indonesia, Agama Buddha sudah tidak disebut-sebut lagi walaupun Candi Borobudur telah kembali diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Dengan demikian Agama Buddha dianggap sudah tidak ada di bumi Indonesia, Agama Buddha hanya terasa antara ada dan tiada.

Seiring waktu yang cukup panjang. Pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) Perhimpunan Teosofi didirikan oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuannya untuk mempelajari semua agama dan menciptakan rasa persaudaraan. Seluruh anggota Teosofi tidak memandang perbedaan agama, termasuk ajaran Agama Buddha pun juga dipelajari. Agama Buddha mulai dikenal setelah ceramah dan meditasi diajarkan dan dihayati di Loji Teosofi Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya. Dari sini lahirlah penganut Agama Buddha di Indonesia, dan setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan Agama Buddha di Indonesia.

Selain itu, di Batavia tumbuh juga usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha dengan lahirnya Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari tiga ajaran agama dan kepercayaan Mahayana, Khonghucu dan Tao. Dari sini juga melahirkan penganut Agama Buddha, dan setelah kemerdekaan Agama Buddha bangkit dan berkembang kembali.

Bhiksu-bhiksu dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka ajarkan hanya tentang upacara dan tata cara sembahyang. Ditahun 1920-an muncul tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 – 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis dan juga budayawan. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama dengan nama Moestika Dharma (1932 – 1941) yang isinya mengenai agama, filsafat, dan kebatinan atau teosofi, termasuk didalamnya mengenai Agama Buddha. Artikel Buddhis edisi perdananya pada April 1932.

Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta, diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias Van Dienst pada tahun 1929. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma (organisasi ini mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut dengan International Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia tahun 1932 dengan Deputy Director General-nya adalah Josias Van Dienst.

Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu, banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng adalah berkisar pada ajaran Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.

Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias van Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala Kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias memberikan ceramah Agama Buddha di Kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, juga mengizinkan Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.

Pada tanggal 4 Maret 1934, Y.M. Narada Thera dari Sri Lanka datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia dan Pandita Josias Van Dienst Deputy Director General International Buddhist Mission, Java Section. Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Narada Thera telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Pada 10 Maret 1934 penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur. Membantu pendirian Java Buddhist Association Perhimpunan Agama Buddha yang pertama di Bogor dan Jakarta.

Melantik upasaka dan upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi, salah satunya adalah Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawatja, tokoh umat Buddha Jawa Tengah yang kemudian menjadi anggota MPR, dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.

Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu dari Kelenteng-Kelenteng. Seperti Kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, Kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, Kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, Kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.

Pada tahun yang sama dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan J.W. de Witt sebagai ketua, DR. R. Ng. Poerbatjaraka sebagai wakil ketua, dan Ny. Tjoe Hin Hoey sebagai sekretaris. Disamping itu dibentuk juga Java Buddhists Association Afdeeling Buitenzorg (Bogor) di bawah pimpinan A. Van der Velde sebagai ketua dan Oeij Oen Ho sebagai sekretaris. Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Buddhists Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Buddhists Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association (BBA) dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay sebagai ketua dan Ny. Tjoa Hin Hoey seagai sekretaris. Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association condong menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association yang condong menyebarkan ajaran Theravada.

Juga pada tahun yang sama yaitu tahun 1934, dibentuk Institut Sentral Buddhis untuk Jawa yaitu wadah kebersamaan seluruh organisasi Umat Buddha di Hindia Belanda. Organisasi ini juga menerbitkan media cetak berbahasa Belanda yang bernama De Dhamma in Nederlandsch Indie.

Hingga tahun 1935, Kwee Tek Hoay telah banyak membentuk organisasi-organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut Agama Buddha, Khonghucu dan Tao, dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini untuk mencegah orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa untuk menjadi penganut ajaran agama lain.

Kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera ke Indonesia memiliki pengaruh besar terhadap kebangkitan dan perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasa beliau, Indonesia mengadopsi penanggalan Buddhis Era yang digunakan oleh Sri Lanka sebagai negara asal Y.M. Bhikkhu Narada Thera.

Sumber :

Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha. Jakarta CV. Dewi Karyana Abadi

Thio Goan Tjoan. 1954. Agaman Buddha. J.B.Wolters

Edward Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha

Ririn Darini. 2013. Sejarah kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha