The Boan An yang menjadi pimpinan Gabungan San Kauw Indonesia (GSKI) dan Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia, kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhu di Burma dengan nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sejak 2500 tahun Buddha Jayanti, tepatnya tahun 1956 saat kebangkitan kembali agama Buddha di bumi Indonesia, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita-lah yang memimpin kebangkitan kembali agama Buddha di lndonesia. Karena itu, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai Pelopor Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia. Jadi, dari Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Perhimpunan Theosofi Indonesia serta Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia, melahirkan penganut-penganut agama Buddha yang kemudian bersama-sama dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita membangkitkan kembali agama Buddha di Indonesia.
Organisasi Buddhis yang mempersiapkan kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia adalah International Buddhis Mission Bagian Jawa di bawah pimpinan Yosias Van Dienst. Badan ini banyak mendapat bantuan dari Perhimpunan Theosofi dan Gabungan Sam Kauw.
Organisasi Buddhis yang memelopori kebangkitan dan perkembangan agama Buddha di Indonesia sejak tahun 1950-an ialah Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang diketuai oleh Sariputra Sadono, kemudian oleh Karbono, Soemantri MS. PUUI kemudian berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) yang kemudian menjadi Majelis Upasaka Pandita Agama Buddhayana Indonesia. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita membentuk PUUI pada tahun 1954, sebagai pembantunya dalam menyebarkan agama Buddha di Indonesia.
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merestui berdirinya Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi) pada tahun 1958 dengan Ketua Umum Sariputra Sodono dan Sekretaris Jenderal Suradji. Kemudian, Ketua Umum Perbudhi berikutnya adalah Soemantri MS dengan Sekjen. Oka Diputhera. Perbudhi kemudian dilebur bersama-sama dengan organisasi Buddhis lainnya menjadi Buddhis Indonesia (Buddhi).
Pada tahun 1958, berdiri Sangha Suci Indonesia yang kemudian ganti nama menjadi Maha Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia kemudian pecah dan melahirkan Sangha Indonesia. Dengan demikian, di Indonesia terdapat dua Sangha, yakni Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Girirakkhito.
Pada tahun 1974, atas prakarsa Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Gde Pudja MA, telah diadakan pertemuan antara Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Hasil dari pertemuan tersebut melahirkan Sangha Agung Indonesia, gabungan dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia.
Sebagai Maha Nyaka Sangha Agung Indonesia, terpilih Sthavira. Kemudian, setelah Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1979, di Indonesia terdapat tiga kelompok Sangha, yakni Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia. Semuanya tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
Sangha Mahayana Indonesia dibentuk pada tahun 1978. Dewasa ini pengurusnya terdiri atas Bhiksu Dharmasagaro (Ketua Urnum), Bhiksu Dharmabatama (Ketua 1), Bhiksu Sakyasakti (Ketua II), Bhiksu Dutavira (Sekretaris Urnum), Bhiksu Dhyanavira (Sekretaris 1), dan Bhiksu Andhanavira (Sekretaris II). Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdiklat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.
Peran Para Tokoh Perkembangan Agama Buddha Setelah Kemerdekaan
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1923. Beliau lahir dengan nama The Boan An. Beliau pernah kuliah di THS Bandung (sekarang ITB) dan di Universiteit Groningen, Belanda. Di Groningen, di luar kuliah resmi, beliau mengikuti kuliah filsafat serta bahasa Sanskrit dan Pali. Selain itu, beliau juga mengikuti kursus kebatinan yang diberikan oleh Dr. J.E. van de Stok, Profesor Emeritus pada Landbouw Hogeschool Wageningen.
Pada tanggal 22 Mei 1953, beliau ditunjuk sebagai Ketua Gabungan Sam Kauw Indonesia sekaligus juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Pemuda Theosofi Indonesia. Beliau mengorganisasi peringatan Hari Tri Suci Waisak secara nasional di Borobudur yang pertama sejak agama Buddha tertidur di bumi Indonesia selama lima ratus tahun.
Pada tanggal 29 Juli 1953, beliau melanjutkan kehidupan sucinya menjadi samanera dengan nama Thi Cen. Penahbisannya dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Maha Bhiksu Pen Cing bertempat di Vihara Kong Hua Si, Jakarta. Turut menyaksikan dalam penahbisan ini Y.A. Maha Bhiksu Ju Sung, Y.A. Bhiksu Ju Kung, Y.A. Bhiksu Cen Yao, dan Y.A. Bhiksu Wu Cing. Atas anjuran Y.A. Maha Bhiksu Pen Cing, beliau berangkat ke Burma pada awal tahun 1954 untuk mempelajari agama Buddha lebih lanjut. Di sana, beliau menjalani latihan Vipasana di pusat latihan meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Kemajuan amat pesat yang dicapainya dalam waktu kurang dari satu bulan dalam latihan ini menarik perhatian Y.A. Mahasi Sayadaw.
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita pada tahun 1959 mengundang para bhikkhu dari luar negeri, di antaranya Y.A. Mahasi Sayadaw, Y.A. Narada Maha Thera, dan Y.A. Piyadassi Maha Thera, datang ke Indonesia untuk melakukan penahbisan bhiksubhiksu baru. Penahbisan juga dilakukan dengan mengirim calon bhiksu baru ke luar negeri. Pada masa beliau, berdirilah Sangha Suci Indonesia yang kemudian berkembang menjadi Maha Sangha Indonesia (1963) dan akhirnya menjadi Sangha Agung Indonesia (1974). Bhante Ashin Jinarakkhita senantiasa terpilih sebagai Maha Nayaka (Ketua Umum).
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita menjabat sebagai Ketua Persidangan Sangha dan sekaligus Ketua Widyaka Sabha (Dewan Fatwa) WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) sebelum terbentuknya Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI).
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita juga aktif dalam kegiatan agama Buddha Internasional. Beberapa konferensi Buddhis Internasional diikutinya, termasuk pesamuhan keenam (Chattasangayana) yang dilaksanakan di Rangoon pada tahun 1954 sampai 1956, dan konferensi-konferensi yang diadakan oleh World Buddhis Sangha Council (WBSC) maupun World Fellowship of Buddhist (WFB). Beliau termasuk pendiri World Buddhis Sangha Council (WBSC) dan berulangkali terpilih sebagai wakil presiden (WBSC).
Bhikkhu Girirakkhito
Bhikkhu Girirakkhito lahir pada tanggal 12 Januari 1927, di Banjar, Bali dengan nama Ida Bagus Giri. Beliau semula tidak tertarik kepada agama Buddha. Seperti kebanyakan orang, terutama putraputra Bali, dia mengira bahwa agama Hindu atau agama Buddha itu sama saja. Puncak tertinggi yang dapat diraih adalah Moksa bagi orang Hindu dan Nirwana/Nibbana bagi orang Buddhis. Sejak muda, dia menyukai pengetahuan budi pekerti yang terus mengarah ke kebatinan. Perkenalannya dengan Buddha Dharma mulai
mendalam ketika pada tahun 1956, Ida Bagus Giri pergi ke Watu Gong, Semarang dalam rangka perayaan Buddha Jayanti. Tahun itu dikenal sebagai tahun Buddha Jayanti karena konon Buddha pernah bersabda bahwa “Ajaranku ini akan tampak 2500 tahun lagi”.
Pada tahun 1972, Bhikkhu Girirakkhito bersama-sama dengan Bhikkhu Subhato, Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Jinaratana dan Bhikkhu Sumangalo, berlima memproklamirkan/mendirikan sangha baru, yaitu Sangha Indonesia yang terpisah dari Maha Sangha Indonesia.
Pada tahun 1974, berdirilah Sangha Agung Indonesia yang merupakan penggabungan dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Namun demikian, perbedaan pendapat terus belanjut. Akhirnya, pada bulan Oktober 1976, Bhikkhu Girirakkhito dan kawan-kawan kembali memisahkan diri dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia.
Pada tahun 1985 s.d. 1989, Bhikkhu Girirakkhito terpilih menjadi Wakil Presiden Sangha Sedunia (WBSC). Di samping itu, beliau juga terpilih menjadi Ketua Umum Perwalian Umat Buddha Indonesia periode 1986-1992, dan 1992–1997. Selain sebagai Ketua Umum WALUBI, Bhikkhu Girirakkhito juga dikenal sebagai pencipta lagu dengan beberapa lagu yang sampai sekarang tetap dikenal, misalnya lagu Malam Suci Waisak, Anicca, dukkha, dan lain-lain. Bhante Giri mencipta lagu dengan motivasi ingin menyebar Dharma kepada orang banyak agar orang banyak dapat menyenangi untuk belajar Dharma. Misalnya, pengertian dukkha, anatta, anicca, kemudian diubah menjadi lagu agar orang mudah memahaminya. Pernah menjadi anggota MPR periode 1972–1977 dan juga menjadi dosen di Universitas Udayana, Bali.
Bhante Girirakkhito wafat pada hari Minggu, 05 Januari 1997 pada usia 70 tahun. Telah begitu banyak jasa dan perannya di dalam memajukan perkembangan agama Buddha di Indonesia. Figurnya yang lembut, memiliki wawasan luas, memperlakukan semua orang dengan sikap yang sama serta mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap umat Buddha.
Ong Kie Tjay
Ong Kie Tjay adalah orang yang memprakarsai lahirnya Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma (PTITD) pada tahun 1966, kemudian disusul dengan lahirnya: a) Majelis Rohaniwan Tridharma Se-Indonesia (Surabaya) dan Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia (Jakarta) yang berasal dari seksi Penceramah Gabungan Tridharma Indonesia.
Kedua Majelis ini kemudian bersatu dalam wadah: Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia disingkat MARTRISIA berpusat di Jawa Timur dibentuk pada tanggal 22 September 1979, yang dipimpin oleh Ong Kie Tjay di Surabaya.
Penetapan nama “Tridharma” dan kelenteng sebagai badan keagamaan yang disebut sebagai “Tempat Ibadah Tridharma” disingkat TITD, diresmikan oleh Menteri Agama R.I. pada tanggal 19 November 1979. Tahun 1988 Ong Kie Tjay wafat dan diganti dengan putranya bernama Ongko Prawiro pada tahun 1988. Ongko Prawiro adalah Ketua Umum Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma (PTITD) dan Majelis Rohaniwan Tridharma (MATRISIA) se-Indonesia yang berpusat di Surabaya pada tahun 1988, hal itu berkat perjuangan dan kegigihan seluruh pengurus Martrisia dan PTITD baik di pusat maupun di daerah. Melalui Surat Nomor: Khusus/PTITD/X/99, perihal uraian singkat dan permohonan tentang INPRES No. 14/1967 dan perangkat/produk hukumnya, ditujukan kepada Presiden RI, isinya tentang permohonan hal-hal sebagai berikut.
- Pencabutan/peninjauan kembali INPRES Nomor 14 Tahun 1967.
- Menegaskan Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma se-Indonesia dengan Tempat Ibadah Tridharma sebagai anggotanya yang merupakan badan keagamaan, bukan yang dimaksud/tidak termasuk yang dimaksud INPRES Nomor 14 tahun 1967 tersebut.
- Mengintruksikan pada instansi terkait hendaknya tidak mengkaitkan masalah Cina dalam pembinaan umat Tridharma.
Kemudian, pada tanggal 27 November 1999 melalui Surat Nomor: Khusus/3/ PTITD/XI/99 perihal Permohonan Penyelesaian tentang INPRES No. 14/1967 dan perangkat/produk hukumnya mengenai lanjutan surat sebelumnya. Selanjutnya, pada tanggal 17 Januari 2000 keluar surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Sumber : Buku dan Artikel tentang perkembangan Agama Buddha di Indonesia