Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Agama Buddha Zaman Kerajaan

Zaman Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno dikenal juga dengan nama Kerajaan Mataram I Wangsa Syailendra. Kerajaan ini berdiri sekitar abad VIII, yaitu kurang lebih tahun 775 sampai dengan tahun 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta. Yang berkuasa waktu itu adalah Wangsa Syailendra dan beragama Buddha. Masa itu merupakan zaman keemasan dari Kerajaan Mataram. Banyak kerajaan kecil menjadi kekuasaannya.

Ilmu pengetahuan terutama teknologi sangat maju, terutama di bidang kesenian, seperti seni pahat yang sudah mencapai taraf tingkat tinggi. Pada waktu itu, seniman-seniman telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya dengan mendirikan Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, Candi Plaosan, dan lain-lain.

Selain candi-candi tersebut, masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Syailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah Candi Borobudur. Setelah Raja Samarattungga meninggal, Mataram kembali diperintah oleh raja dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. Namun, agama Buddha dan agama Hindu dapat berkembang berdampingan dengan rukun dan damai.

Dalam Prasasti Kalasan (778 M), diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang disamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan Candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara dan Candi Sari untuk dijadikan vihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari Dinasti Syailendra.

Zaman Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatra Selatan. Dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, sampai pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”. wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”. Jadi, nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gemilang.” Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini adalah berdasarkan catatan I Tsing, ia menulis bahwa dirinya mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M dan tinggal di sana selama 6 bulan.

Pada awalnya, Sriwijaya hanya sebuah kerajaan kecil. Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan besar setelah dipimpin oleh Dapunta Hyang. Dapunta Hyang berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan disekitarnya.

Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan Berita dari Cina. Ada dua sumber yang berupa prasasti, yaitu berasal dari dalam negeri dan dari luar negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: Prasasti Kedukan Bukit (683M), Talang Tuwo (684M), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286).

Prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain adalah Ligor (775), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030M), Canton (1075M), Grahi (1183M) dan Chaiya (1230).

Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah Kitab Pararaton. Sumber naskah dari luar negeri antara lain kitab Memoir dan Record karya I-Tsing, Kronik Dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai- tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.

Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya, Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya. Namun, San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya, Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).

Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit, yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 Saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda, disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara bagi para pandita Sriwijaya yang belajar agama Buddha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.

Agama dan Budaya

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Para peziarah antara lain pandita dari Tiongkok, I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu, ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga terus berkembang di Sriwijaya.

Agama

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pandita dari Tiongkok, I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita di atas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1.000 orang pandita yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pandita terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang kepulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan abad ke-10, Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India. Pertama oleh budaya Hindu, kemudian diikuti pula oleh budaya Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukan sejak abad ke-7 hingga abad ke-9. Dengan demikian, Sriwijaya secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

Berikut adalah gambaran Sriwijaya menurut I Tsing: “.... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, di hati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng Kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1.000 bhiksu/bhikkhu Buddha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik...."

Sriwijaya termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara. Hal ini tentu saja menarik minat para pedagang Timur Tengah.

Budaya

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, suatu komunitas kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Buddha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa Prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Buddha untuk memberkati peristiwa penuh berkah, yaitu peresmian Taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.

Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan. Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa.

Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu Kuno telah digunakan di Nusantara. Hal itu ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M yang ditemukan di Pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.

Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatra. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan Wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur. Candi-candi Buddha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi, tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatra terbuat dari bata merah. Beberapa arca atau Rupang bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Buddha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatva Avalokitesvara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatra Selatan. Semua arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut “Seni Sriwijaya” atau “Langgam atau Gaya Sriwijaya” yang memperlihatkan kemiripan mungkin diilhami oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai dengan ke-9).

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda.

Tercatat Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kayu gaharu, cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat rajaraja Sriwijaya memiliki kekayaan berlimpah. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

Karena alasan itulah, Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara jajahannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di Pulau Bangka, Tarumanagara, dan Pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di Semenanjung Malaka adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukkan dan diserap ke dalam lingkup pengaruh Sriwijaya.

Disebutkan dalam catatan sejarah Champa, adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya karena saat itu Wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sejak tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur, yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia. Perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antar pulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan Dinasti Tang dan naiknya Dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan Kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tidak diragukan lagi, Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah, diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) yang masuk melalui perdagangan mereka.

Penyebaran Penduduk Kemaharajaan Bahari 

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman.

Sriwijaya sebagian besar menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian Pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah menghuni dan membangun populasi di Pulau Madagaskar yang terletak 3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia. Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini bahwa mereka adalah pemukim berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1.200 tahun yang lalu sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1.200 tahun yang lalu. Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa melayu. Hal ini sebagai petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dihuni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya. Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudera Hindia.

Hubungan dengan Wangsa Sailendra 

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dan Dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada Prasasti Kalasan di Pulau Jawa, Prasasti Ligor di selatan Thailand, dan Prasasti Nalanda di India.

Sementara pada Prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena Prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasastiprasasti di Sumatra. Wangsa Sailendra diduga berasal dari Sumatra, walaupun asal-usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang. Majumdar berpendapat Dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian, Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya Prasasti Sojomerto.

Hubungan dengan Kekuatan Regional

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China. Sriwijaya secara berkala mengantarkan utusan beserta upeti. Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di Provinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan.

Pengaruh Sriwijaya tampak pada bangunan Pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota, yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu, Wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka, Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatra dan Jawa. Akan tetapi, akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.

Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya. Permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860, Balaputradewa menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu, Raja Sriwijaya. Dengan kata lain, ia mengadukan kepada Raja Dewapaladewa, Raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatra dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika Raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan Kerajaan Pala di Benggala, pada Prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa Raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah vihara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari Prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma. Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian, hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian, pada masa ini, Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari Dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa Dinasti Song, candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa Dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

Masa Keemasan

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Sriwijaya mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi pada hampir semua kerajaan di Asia Tenggara, antara lain wilayah Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.

Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok dan India.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10. Tetapi, pada akhir abad ini, Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan

Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, Sanfo-tsi dan Chopo terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang, namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta Kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu. Namun, kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu Cheng Tien Wan Shoudan dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus.

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa. Maka, Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan, disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Raja Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Warisan Sejarah

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggal arkeologi dan keberadaannya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan kerajaan-kerajaan bahari, Sriwijaya pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu. Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk Kota Palembang, Sumatra Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat di selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichaiyang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Syair Gending Sriwijaya disusun oleh Nungcik AR pada tahun 1940-an. Proses penciptaan Tari Gending Sriwijaya untuk memenuhi permintaan dari pemerintah zaman pendudukan Jepang kepada Jawatan Penerangan (Hodohan) untuk menciptakan sebuah tarian dan lagu tentang Sriwijaya. Gunanya adalah untuk menyambut tamu yang datang berkunjung ke Palembang.