Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Ehipassiko Dasar Keyakinan Umat Buddha

Ehipassiko, bagi umat Buddha pasti tidak asing mendengarnya. Tetapi terkait paham atau tidaknya apa itu ehipassiko menjedi pertanyaan. Oleh kerena itu bisa kita jelaskan mulai berdasarkan etimologi bahwa ehipassiko berasal dari 3 kata yaitu ehi (Datang), passi (Lihat), dan ko (sebuah akhiran) sehingga kita bisa menerjemahkan Ehipassiko menjadi Datang dan Lihat, atau dalam agama Buddha sering diartikan menjadi Datang dan Buktikan. Ini merupakan suatu jenis kata ajakan sekaligus tantangan diundang untuk datang dan membuktikan sendiri ajaran Sang Buddha.

Lalu apa esensi dari ehipassiko dalam agama Buddha?,,

Jika kita melihat ke belakang, kata Ehipassiko ini hadir pada beberapa Khotbah Dhamma yang dibabarkan secara langsung oleh Sang Buddha, di antaranya adalah Mahanama Sutta. Dalam Sutta ini, Sang Buddha membabarkan suatu penghayatan yang patut dihayati oleh semua muridnya yaitu Dhammanusatti yang juga kita dapat temukan di Parita yang dibaca setiap Pujabakti. Di dalam Dhammanusatti ini, ditemukan satu kata Ehipassiko yang merupakan salah satu sifat dari Dhamma. Kata ini jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi siap untuk dibuktikan.

Lalu mengapa Dhamma menjadi memiliki sifat Ehipassiko? Mengapa kita tidak boleh percaya begitu saja dengan apa yang kita percayai?

Jawabannya ada di dalam Kalama Sutta. Dalam Kalama Sutta disampaikan bahwa salah satu yang harus dilakukan oleh murid Buddha adalah tidak boleh asal percaya. Tidak diperbolehkan murid Sang Buddha untuk langsung percaya terhadap Guru Buddha, Kitab Suci, Tradisi Lisan, Desas-desus dan hal-hal lain yang belum bisa dibuktikan sendiri. Meskipun sebenarnya hal ini dibabarkan kepada suku Kalama, tetapi hal ini juga dijadikan salah satu acuan sebagai dasar dogma bagi Buddhis untuk tidak langsung percaya begitu saja.

Memeng tidak menutup kemungkinan, ini adalah upaya yang dilakukan oleh sang Buddha kepada segenap muridnya untuk mewaspadai agar mereka tidak jatuh ke dalam fanatisme buta apalagi terhadap Kitab Suci. Dikarenakan sang Buddha tahu jika selama Beliau berkhotbah, Beliau tidak melakukan pencatatan, tidak melakukan dokumentasi, serta tidak melakukan hal-hal berkaitan lainnya. Khotbah yang Beliau lakukan selalu disampaikan secara spontan. Sehingga, jika suatu hari akan dibukukan, kemungkinan besar ini akan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.

Sebagaimana dalam Dhammapada I syair pertama dan kedua berbicara tentang pikiran. Sebagaimana diri kita diatur oleh pikiran kita. Oleh karena itu apabila kita tidak memiliki pemikiran yang kritis dan hanya ikut-ikut saja apa kata pemuka agama, apa kata Kitab Suci, serta apa kata orang lain, pastilah diri kita pun akan ikut-ikutan seperti itu. Sehingga ini akan berpengaruh terhadap tujuan mulia dari agama Buddha yaitu menuju kepada akhir Dukkha.

Apabila kita jadikan perbandingan, hal ini bisa disamakan dengan metode ilmiah yang digunakan untuk penelitian. Dalam hal ini, salah satu yang membangun dasar dari pada ilmu pengatahuan adalah suatu teori harus bisa ditelusuri kebenarannya  oleh orang yang berbeda dan harus menghasilkan hasil yang sama pula. Sehingga, tidak bisa kita hanya menerka-nerka saja. Ada dasar dan datanya yang bisa dipertanggungjawabkan.

Akan tetapi, meskipun dibuktikan oleh orang yang berbeda-beda, seorang saintis akan sangat paham dan sangat yakin kalau yang telah ia temukan itu akan memiliki hasil yang sama. Sehingga untuk mempersingkat metode trial and error, para saintis pun mengembangkan pencatatan menggunakan persamaan matematika yang dapat digunakan sebagai acuan sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Dalam sains, suatu kejadian telah dibukukan dan didokumentasikan serta dicatat menggunakan persamaan matematis, orang-orang serta para saintis akan memandang dari satu kerangka berpikir yang sama sehingga perbedaan interpretasi dapat dihindari. Akan tetapi, dalam konteks beragama, sekalipun telah dibukukan, orang-orang masih bisa melihat dari sudut pandang dan interpretasi mereka sendiri. Sehingga, hal ini akan menimbulkan hasil yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, Sang Buddha menyarankan kepada semua pengikutnya untuk terus melakukan Ehipassiko atau pembuktian sendiri sebelum percaya dengan apa yang diajarkan. Hal ini dikarenakan, jika kita tidak melakukan Ehipassiko, kita akan dengan mudah dibawa oleh orang yang tidak bertanggungjawab dalam agama yang mengubah sudut pandang kita menjadi sama dan searah dengan sudut pandang yang mereka miliki. Hal ini apabila terjadi lalu tidak ditangani akan menjadi masalah dalam Agama Buddha itu sendiri.

Jadi kesimpulannya, ehipassiko seharusnya sebagai dasar keyakinan umat Buddha. Karena ehipassiko adalah suatu dasar yang mendasari semua ajaran Sammasambuddha Buddha. Bahkan peristiwa tercerahkannya sang Buddha pun diawali dengan Ehipassiko yaitu di saat sang Buddha melihat 4 tanda. Bisa kita bayangkan seandainya Sang Buddha tetap diam di istana dan tidak menjalankan Ehipassiko, kita tidak akan mengenal adanya agama Buddha hingga sekarang.