Ehipassiko, bagi umat Buddha pasti tidak asing
mendengarnya. Tetapi
terkait paham atau tidaknya apa itu ehipassiko menjedi pertanyaan. Oleh kerena
itu bisa kita jelaskan mulai berdasarkan etimologi bahwa ehipassiko berasal dari 3 kata yaitu
ehi (Datang), passi (Lihat), dan ko (sebuah akhiran) sehingga kita bisa
menerjemahkan Ehipassiko menjadi Datang dan Lihat, atau dalam agama Buddha
sering diartikan
menjadi Datang dan Buktikan. Ini merupakan suatu jenis kata ajakan sekaligus tantangan diundang untuk datang dan membuktikan sendiri
ajaran Sang Buddha.
Lalu apa esensi dari ehipassiko dalam agama Buddha?,,
Jika kita melihat ke belakang, kata Ehipassiko ini hadir pada
beberapa Khotbah Dhamma yang dibabarkan secara langsung oleh Sang Buddha, di
antaranya adalah Mahanama Sutta. Dalam Sutta ini, Sang Buddha membabarkan suatu
penghayatan yang patut dihayati oleh semua muridnya yaitu Dhammanusatti yang juga kita dapat temukan di
Parita yang dibaca setiap Pujabakti. Di dalam Dhammanusatti ini, ditemukan satu kata Ehipassiko yang
merupakan salah satu sifat dari Dhamma. Kata ini jika diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia akan menjadi siap untuk dibuktikan.
Lalu mengapa Dhamma menjadi memiliki sifat Ehipassiko? Mengapa kita tidak
boleh percaya begitu saja dengan apa yang kita percayai?
Jawabannya ada di dalam Kalama Sutta. Dalam Kalama Sutta disampaikan bahwa salah satu yang harus
dilakukan oleh murid Buddha adalah tidak boleh asal percaya. Tidak
diperbolehkan murid Sang Buddha untuk langsung percaya terhadap Guru Buddha, Kitab Suci, Tradisi Lisan,
Desas-desus dan hal-hal lain yang belum bisa dibuktikan sendiri. Meskipun sebenarnya hal ini dibabarkan kepada suku Kalama,
tetapi hal ini juga dijadikan salah satu acuan sebagai dasar dogma bagi Buddhis
untuk tidak langsung percaya begitu saja.
Memeng tidak menutup kemungkinan, ini adalah upaya yang
dilakukan oleh sang
Buddha kepada segenap muridnya untuk mewaspadai agar mereka tidak jatuh ke
dalam fanatisme buta apalagi terhadap Kitab Suci. Dikarenakan sang Buddha tahu jika selama Beliau berkhotbah,
Beliau tidak melakukan pencatatan, tidak melakukan dokumentasi, serta tidak
melakukan hal-hal berkaitan lainnya. Khotbah yang Beliau lakukan selalu disampaikan secara
spontan. Sehingga, jika suatu hari akan dibukukan, kemungkinan besar ini akan
menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
Sebagaimana dalam Dhammapada I syair pertama dan kedua
berbicara tentang pikiran. Sebagaimana diri kita diatur oleh pikiran kita. Oleh karena
itu apabila kita tidak
memiliki pemikiran yang kritis dan hanya ikut-ikut saja apa kata pemuka agama,
apa kata Kitab Suci, serta apa kata orang lain, pastilah diri kita pun akan ikut-ikutan seperti itu.
Sehingga ini akan berpengaruh terhadap tujuan mulia dari agama Buddha yaitu menuju kepada
akhir Dukkha.
Apabila kita jadikan perbandingan, hal ini
bisa disamakan dengan metode ilmiah yang digunakan untuk
penelitian. Dalam
hal ini, salah satu yang
membangun dasar dari pada
ilmu pengatahuan
adalah suatu
teori harus bisa ditelusuri kebenarannya oleh orang yang
berbeda dan harus menghasilkan hasil yang sama pula. Sehingga, tidak bisa kita
hanya menerka-nerka saja. Ada dasar dan datanya yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Akan tetapi, meskipun dibuktikan oleh orang yang berbeda-beda,
seorang saintis akan sangat paham dan sangat yakin kalau yang telah ia temukan
itu akan memiliki hasil yang sama. Sehingga untuk mempersingkat metode trial and error, para saintis pun mengembangkan
pencatatan menggunakan persamaan matematika yang dapat digunakan sebagai acuan
sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Dalam sains, suatu kejadian telah dibukukan
dan didokumentasikan serta dicatat menggunakan persamaan matematis, orang-orang
serta para saintis akan memandang dari satu kerangka berpikir yang sama
sehingga perbedaan interpretasi dapat dihindari. Akan tetapi, dalam konteks
beragama, sekalipun telah dibukukan, orang-orang masih bisa melihat dari sudut
pandang dan interpretasi mereka sendiri. Sehingga, hal ini akan menimbulkan
hasil yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, Sang Buddha menyarankan kepada semua pengikutnya untuk terus melakukan Ehipassiko
atau pembuktian sendiri sebelum percaya dengan apa yang diajarkan. Hal ini
dikarenakan, jika kita tidak melakukan Ehipassiko, kita akan dengan mudah dibawa oleh orang
yang tidak bertanggungjawab dalam agama yang mengubah sudut pandang kita menjadi sama dan searah
dengan sudut pandang yang mereka miliki. Hal ini apabila terjadi
lalu tidak ditangani
akan menjadi masalah dalam Agama Buddha itu sendiri.
Jadi kesimpulannya, ehipassiko seharusnya sebagai dasar keyakinan umat Buddha. Karena ehipassiko adalah suatu dasar yang mendasari semua ajaran Sammasambuddha Buddha. Bahkan peristiwa tercerahkannya sang Buddha pun diawali dengan Ehipassiko yaitu di saat sang Buddha melihat 4 tanda. Bisa kita bayangkan seandainya Sang Buddha tetap diam di istana dan tidak menjalankan Ehipassiko, kita tidak akan mengenal adanya agama Buddha hingga sekarang.