Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Jejak Sejarah Agama Buddha Di Indonesia

Agama Buddha di Indonesia meninggalkan jejak-jejak yang sampai sekarang masih bisa disaksikan. Selain candi Borobudur yang sangat terkenal, kita juga mengetahui candi-candi lainnya yang memper-lihatkan ciri-ciri agama Buddha, baik dari segi arsitektur, patung-patung, maupun seni pahat-nya. Begitu pun dalam karya sastra. Beberapa karya sastra klasik menunjukkan adanya keterkaitan dan pengaruh kepercayaan agama Buddha dalam karya-karya tersebut. Candi Borobudur, didirikan oleh dinasti Sailendra yang berkuasa antara pertengahan abad VIII hingga sekitar tahun 830. Bangunan Borobudur merupakan punden berundak terdiri dari lima teras persegi dan empat teras melingkar dengan relief ukiran pahat pada dindingnya yang mencerminkan ajaran agama Buddha Mahayana dan kehidupan rakyat pada abad-abad tersebut. Candi Mendut, terletak kurang lebih 3 km di sebelah timur candi Borobudur, didirikan tahun 800 dan lebih tua dari candi Borobudur. Candi Mendut berbentuk empat persegi dengan ruang masuk di atas teras bertangga. Di tas ruang persegi terdapat atap bertingkat dengan stupa-stupa diatasnya. Sedangkan di dalam ruangan tersebut terdapat tiga patung besar, yaitu patung Buddha yang diapit oleh Padmapani dan Wajrapani. Patung-patung tersebut juga memberi nuansa bahwa candi Mendut dibangun berdasarkan ajaran aliran Mahayana.

Candi Kalasan terletak di desa Kalasan, didirikan tahun 778 berbentuk silang Yunani dengan ruangan segi empat di dalamnya dan stupa-stupa di atasnya serta pahatan-pahatan. Di dalam ruangan tersebut terdapat patung perunggu setinggi 6 meter namun kini patung tersebut telah hilang. Candi Kalasan didirikan oleh Pancapana Panangkaran sebagai peringatan untuk mengenang Dewi Tara. Tara adalah dewi yang sangat populer di kalangan penganut Tantrayana Tibet Candi Sewu, terletak di dekat candi Prambanan, merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari sebuah candi induk dan dikelilingi kurang lebih 250 buah candi perwara yang tersusun dalam 4 baris.

Candi Muara Takus terletak antara sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri, atau di wilayah Kecamatan XIII Kotokampar Kabu-paten Kampar, Riau. Candi Muara Takus merupakan kompleks candi berpagar batu dengan gerbang di sebelah utara dan merupakan peninggalan sejarah peradaban agama Buddha abad XI dan XIV. Dalam kompleks candi Muara Takus terdapat empat bangunan terdiri dari stupa-stupa : mahligai Stupa, candi Bungsu, candi Tua, dan candi Palangka. Di samping itu, juga terdapat bekas-bekas fondasi bangunan teras yang lain.

Candi Plaosan berlokasi di sebelah timur candi Sewu, terdiri dari dua buah candi induk yang dikelilingi dua baris stupa dan dua baris candi perwara. Selain karya-karya bangunan yang monumental dan seni pahat, agama Buddha juga meninggalkan jejaknya dalam seni sastra khususnya sastra Jawa kuno (Kawi) seperti Sanghyang Kamahayanikan, Sutasoma, dan Kunjarakarna.

Kitab Sanghyang Kamahayanikan adalah naskah kuno yang berisi uraian tentang ajaran dan situs agama Buddha Mahayana yang mengarah kepada bentuk Tantrayana, ditulis pada masa mpu Sindok (929-947) yang beragama Hindu. Dalam kitab tersebut terdapat berbagai konsepsi ajaran agama Buddha seperti trikaya, dasaparamita, caturarya, panca tathagata, triparartha, trimala, mahaguhya, dan sebagainya. Konsep tentang dasaparamita tersebut sangat khas dan berbeda dengan yang terdapat pada aliran Mahayana maupun Theravada, karena dasa-paramita dalam Sanghyang Kamahayanikan terdiri dari sadparamita dan caturparamita di mana yang terakhir ini merupakan konsep brahma-vihara.

Sutasoma ditulis oleh mpu Tantular pada zaman Hayam Wuruk - Majapahit (1350-1389 Masehi). Kitab Sutasoma berisi cerita tentang Buddha yang menitis kepada Raden Sutasoma - seorang pangeran putra Prabu Mahaketu dari Hastina- yang tidak ingin dikawinkan dan tidak pula ingin dinobatkan menjadi raja. Kemudian ia meninggalkan kerajaan karena mengikuti ajaran Sang Buddha. Dalam pengembaraannya ia berprinsip siap dan bersedia mengorbankan dirinya untuk kepentingan sesama mahluk, hatta ketika seorang raksasa pemangsa manusia ingin memangsanya ia merelakan dirinya. Namun akhirnya raksasa tersebut menyadari kesalahan-nya yang telah memakan sesama mahluk hidup dan kemudian bertobat serta menjadi pengikut agama Buddha

Kunjarakarna merupakan naskah yang berbentuk gancaran (diperkirakan berasal dari zaman Mataram kuno) dan ada pula yang berbentuk kakawin (zaman Majapahit). Naskah ini berkisah tentang seorang raksasa bernama Kunjarakarna yang ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan kemudian diizinkan melihat neraka. Dan karena ia taat kepada ajaran agama Buddha maka cita-citanya pun akhirnya terkabul.

Demikian beberapa jejak sejarah agama Buddha di Indonesia yang dapat memberikan gambaran tentang agama Buddha yang pernah berkembang di Nusantara pada masa lampau sejauh berkenaan dengan fakta-fakta yang telah ditemukan.