Sejarah mencatat kebangkitan Agama Buddha pada abad ke 20. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kebangkitan agama Buddha yaitu:
Pertama, adanya gerakan Theosofi.
Gerakan Theosofi yang muncul dan berkembang di Indonesia mula-mula tumbuh di
kalangan orang-orang Eropa khususnya orang-orang Belanda dengan missinya
menyebarkan agama Buddha. Namun kemudian organisasi ini pun tidak hanya menampung
orang-orang Belanda tetapi juga warga keturunan Tionghoa dan pribumi sekaligus.
Selain itu, sekalipun gerakan Theosofi punya missi meneybarkan agama Buddha
tetapi karena prinsip esensial gerakan Theosofi adalah pencarian nilai-nilai
spiritual maka organisasi ini pun hanya menjadi saluran dalam proses
kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Kedua, adanya gerakan Sam Kauw
Hwe. Telah tumbuh organisasi atau perkumpulan dikalangan masyarakat Tionghoa
Indonesia. Organisasi yang mula-mula Tiong Hoa Hwe Koanmelestarikan tradisi dan
budaya Cina dengan orientasi ajaran Konfusianisme. Namun organisasi-organisasi
lainnya yang tumbuh kemudian berubah dari organisasi pendahuluannya dan mulai
terbuka terhadap gagasan-gagasan yang lain adalah Sam Kauw Hwe dengan Kwe Tek
Hoay sebagai figur utamanya yang telah berhasil merumuskan tentang kepercayaan
orang Cina sebagai gabungan dari Konfusianisme, Taosisme, dan Budhisme.
Namun karena organisasi Sam Kauw
Hwe hanya terbatas kepada warga keturunan Tionghoa sehingga misi agama Buddha
pun terbatas hanya kepada masyarakat Tionghoa.
Faktor Ketiga adalah missionari
agama Buddha. Adanya kunjungan missionaris agama Buddha ke Indonesia seorang
missionaris agama Buddha dari Srilangka. Kunjungannya yang pertama pada bulan
Maret 1934 turut memberikan kontribusi terhadap era kebangkitan agama Buddha di
Indonesia Bagaimanapun tujuan utama missionari agama Buddha adalah penyebaran
agama Buddha, dan dalam hal ini umat Buddha Indonesia dapat mengambil
pelajaran, informasi dan pengetahuan tentang agama Buddha dari seorang
missionaris. Akan tetapi, karena missionaris Narada Thera dari
Srilangka bersifat sementara sehingga aktivitasnya pun hanya memberikan efek
bagi kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Menurut Brow kebangkitan agama
Buddha di Indonesia dapat diklasifikasikan kepada dua periode, yaitu pada masa
pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, dimana pada masa sebelum kemerdekaan
gerakan kebangkitan tersebut bercorak dan cenderung kepada aliran Theravada,
sedangkan kebangkitan pada masa setelah kemerdekaan orientasi gerakan tersebut
telah berpindah kepada Buddhayana di bawah pimpinan Bikkhu Ashin Jinarakkhita.
Periode pertama dianggap
berorientasi Theravada, karena adanya aktivitas para anggota „Lodge
Pekalongan‟, Association for the Propagation of Budhism in Java, maupun Java
Budhist Association, di mana gerakan Theosofi tersebut erat kaitannya dengan
misi agama Buddha yang berasal dari negara-negara Buddha aliran Theravada
seperti Srilangka dan Burma, serta datangnya seorang Bikhu Narada dari
Srilangka yang beraliran Theravada.
Sedangkan pada masa setelah
kemerdekaan gerakan kebangkitan agama Buddha Indonesia tersebut dianggap
bercorak Buddhayana karena lebih diwarnai dengan adanya upayaupaya bhikku Ashin
Jinarakkhita dalam menyesuaikan agama Buddha dengan kultur dan tradisi bangsa
Indonesia dalam wadah Buddhayana.
Berkaitan dengan analisis Brown
ini terdapat satu hal yang harus dicatat, bahwa pada masa tahun 191930-an bukan
hanya terdapat fenomena yang bernuansa Theravada seperti ditandai dengan adanya
aktivitas gerakan Theosofi dan kedatangan seorang Bikhu yang beraliran
Theravada. Pada dekade 1930-an tersebut juga muncul organisasi Sam Kauw Hwe
atau „Organisasi Tiga Agama‟ yang sesuai dengan namanya menganggap bahwa agama
warga keturunan Tionghoa adalah pencampuran dari Konfusianisme, Taoisme, dan
Budhisme. Atau dengan kata lain, agama Buddha dalam pandangan Sam Kauw Hwe
adalah aliran Mahayana kepercayaan dan paraktek keagamaan bisa toleran dengan
kepercayaan dan praktek-praktek agama lain.
Oka Diputhera, di pihak lain,
mengatakan bahwa awal kebangkitan agama Buddha di Indonesia adalah tahun 1954
ketika organisasi Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) sebagai
organisasi dalam agama Buddha pertama kali didirikan oleh Bhiku Ashin
Jinarakkhita bersama dengan Sariputra Sadono, Ananda Suyono, dan lain-lain.
Dari pemaparan mengenai
kebangkitan agama Buddha di atas, maka dapat dikatakan bahwa Kwee Tek Hoay,
bhikkhu Narada, Sam Kauw Hwe, dan gerakan Theosofi merupakan para bidan yang
memuluskan proses kelahiran dan kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Kebangkitan agama Buddha di Indonesia itu sendiri erat kaitannya dengan rasa
kesadaran historis akan kejayaan agama Buddha pada masa lampau yang tercermin
pada monumen Borobudur, kesadaran terhadap agama Buddha sebagai suatu ajaran
dan pegangan hidup, serta missi untuk menyebarkan dan mengukuhkan eksistensi
agama Buddha secara sekaligus.
Kebangkitan yang sesungguhnya itu
sendiri terjadi pada saat terjadinya peristiwa upacara Waisak di candi
Borobudur tahun 1953, ditahbiskannya seorang putra Indonesia menjadi bhikkhu
dan didirikannya organisasi missi agama Buddha tahun 1954, sehingga dapat
dikatakan bahwa gerakan perkembangan agama Buddha secara berorganisasi baru
dimulai tahun 1954 dengan lahirnya PUUI. Bilamana ada Sam Kauw Hwe dan
Perhimpunan Theosofi Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka, kedua lembaga
itu belum mengemban mission yang berusaha untuk mengembangkan agama Buddha di
indonesia, tetapi baru tahap mempelajari agama Buddha.