Dalam Dhammapada Atthakatha diceritakan. Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan dan indah.
"Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi", demikian pikirnya.
Setibanya di vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segara pergi ke sana.
Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.
Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.
Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk di bawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.
Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).
Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut ini:
Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.
Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah, pikiran itu selalu menggelepar. Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.
Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***