Kerajaan Majapahit yang mengalami keruntuhan pada tahun 1478 juga membawa dampak terhadap runtuhnya kejayaan agama Buddha di Nusantara (Indonesia). Rakyat yang tetap setia memeluk agama Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Indonesia. Namun, sebuah literatur kuno mengatakan bahwa agama Buddha di Indonesia akan tertidur dalam 4 zaman dan akan bangkit kembali setelah 500 tahun kemudian semenjak runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478.
Pada akhir masa kejayaan kerajaan-kerajaan setelahnya, bangsa Eropa mulai menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi dan Nusantara memasuki zaman kolonial (penjajahan). Bangsa Belanda mulai menjajah Indonesia setelah didahului oleh bangsa Portugis. Selama lebih kurang 350 tahun, Belanda menjajah beberapa daerah di Indonesia.
Buddha tidak disebut-sebut meskipun Candi Borobudur kembali ditemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian, agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam sanubari bangsa Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, didirikan Perhimpunan Theosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuannya adalah untuk mempelajari inti kebijaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Theosofi juga mempelajari tentang kebijaksanaan dari agama Buddha. Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari, dan dihayati dari ceramah-ceramah dan meditasi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.
Pada zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha-usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Konghucu, dan Laotse yang kemudian melahirkan organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut agama Buddha yang dalam zaman kemerdekaan bangkit dan berkembang. Pada tahun 1932, di Jakarta telah berdiri International Buddhist Mission
Bagian Jawa dan Yosias van Dienst menjabat sebagai Deputy Director General. Pada tahun 1934, telah diangkat A van Der Velde di Bogor dan J.W. de Wilt di Jakarta masing-masing sebagai Asistan Direktur yang membantu Yosias van Dienst. Setahun sebelum berdirinya International Buddhist Mission Bagian Jawa, tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika Dharma yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay.
Majalah Mustika Dharma memuat tentang pelajaran Theosofi, yaitu ajaran yang mempelajari semua agama pada saat itu. Majalah Mustika Dharma berjasa dalam menyebarluaskan kembali agama Buddha sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay, kemudian lahir organisasi Sam Kauw, organisasi yang mempelopori kebangkitan agama Buddha di Indonesia di samping Perhimpunan Theosofi Indonesia dan Pemuda Theosofi Indonesia.
Pada tanggal 4 Maret 1934, Bhikkhu Narada menginjakkan kakinya di Pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias van Dienst dan Tjoa Hin Hoey serta beberapa umat Buddha. Bhikkhu Narada adalah bhikkhu yang pertama datang dari luar negeri setelah berselang lima ratus tahun. Bhikkhu Narada Thera memberikan ceramah agama Buddha di Logi-logi Theosofi dan di klentengklenteng di Bogor, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Bandung.
Di Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934, Bhikkhu Narada Thera turut hadir dalam upacara penanaman pohon Bodhi yang dicangkoknya dari pohon Bodhi yang asli di Buddhagaya (India) tempat Buddha mencapai Penerangan Sempurna. Pada tahun 1980, pohon Bodhi di Candi Borobudur tersebut ditebang karena akarnya merusak bangunan Candi Borobudur. Sebagai gantinya, Duta Besar Srilanka kemudian menyerahkan lagi cangkokan pohon Bodhi yang berasal dari pohon Bodhi di Vihara Anurudapura, Srilanka. Pohon ini juga keturunan (cangkokan) dari pohon Bodhi asli yang dibawa ke Srilanka oleh Bhikkhu Mahinda dari India.
Organisasi Buddhis lain pada zaman penjajahan yang berperan dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia adalah Java Buddhist Association. Organisasi ini menerbitkan majalah Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda, dan banyak menarik perhatian pembaca. Kemudian, pada tahun 1932, Kwee Tek Hoay membantu Sam Kauw Hwe yang anggotanya terdiri atas penganut agama Buddha, Konghucu, dan Laotse. Sam Kaw Hwee menerbitkan majalah Sam Kauw Gwat Po dalam bahasa Indonesia.
Tokoh Kebangkitan Agama Buddha di Indonesia pada Zaman Penjajahan
Kwee Tek Hoay
Kwee Tek Hoay lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 31 Juli 1886. Kwee Tek Hoay adalah sastrawan Melayu Tionghoa dan tokoh ajaran Tridharma, yang dikenal dengan nama Sam Kauw Hwee. Beliau banyak menulis karya sastra terutama novel dan drama, kehidupan sosial, dan agama.
Karyanya yang terkenal di antaranya adalah Drama di Boven Digoel, Boenga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia, dan Drama dari Krakatau. Kwee Tek Hoay adalah seorang wartawan dan tulisannya telah dimuat di mingguan Li Po, surat kabar Bintang Betawi, dan Ho Po.Salah satu tulisannya yang terkenal dan mendapat sorotan masyarakat pada masa Perang Dunia I adalah Pemandangan Perang Dunia I Tahun 1914 - 1918 dimuat di surat kabar Sin Po.
Tahun 1925, Kwee Tek Hoay menjadi kepala redaksi di Harian Sin Bin di Bandung. Menjabat pemimpin redaksi mingguan Panorama (1926-1932), majalah Moestika Panorama (1930-1932) yang berganti nama menjadi Moestika Romans. Pada tahun 1932-1934, Kwee Tek Hoay mendirikan mingguan Moestika Dharma dan majalah bulananSam Kauw Gwat Po (1934-1947) yang khusus membahas agama, filsafat, dan theosofi. Pada tahun 1932, Kwee Tek Hoay mendirikan sebuah percetakan dan bernama Moestika, yang semula berkantor di Batavia (sekarang dikenal sebagai Jakarta) dan dipindahkan ke Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 1935. Karya-karya beliau di bidang keagamaan antara lain adalah (1) Buddha Gautama (1931-1933); (2) Sembahjang dan Meditatie (1932); dan (3) Omong-omong tentang Agama Buddha (1935). Karyanya di bidang sosial politik, yaitu (1) Asal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia (1936-1937) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lea Williams dan (2) The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia (Southeast Asia Program, Cornell University, 1969). Beliau wafat di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 4 Juli 1951, pada usia 64 tahun.
Bhikkhu Narada Mahathera
Bhikkhu Narada lahir di pinggiran Kota Colombo, Srilanka. Bhante Narada pada waktu kecil bernama Sumanaphala. Ayahnya bernama Kalonis Parera, ibunya bernama Pabilina de Silva.
Benih hasrat untuk memasuki Sangha telah ditanamkan oleh pamannya, seorang umat Buddha yang saleh dan mengetahui Dharma dengan baik. Ketika duduk di sekolah berbahasa Inggris, beliau sudah mulai mempelajari syair-syair Sanskerta di bawah bimbingan Yang Arya Vajranana Maha Nayaka Thera. Beliau juga mengikuti Sekolah Minggu pada Paramananda Vihara di Kotahena. Sumanaphala menerima pabbaja pada usia 18 tahun dengan nama Narada, dan memperoleh upasampada pada usia 20 tahun. Kemudian, beliau memasuki Ceylon University College sebagai mahasiswa pendengar mengikuti kuliah Etika, Logika dan Filsafat yang kemudian ternyata amat berguna bagi beliau sebagai Dharmaduta.
Di Kamboja beliau mendapat gelar keagamaan “Sri Maha Sadhu” dari Raja Kamboja. Di Srilanka sendiri, beliau banyak diundang hadir oleh kelompok kelompok umat Buddha di seluruh negeri. Beliau selalu menarik pendengar, setiap kali di mana pun beliau bertugas menyampaikan khotbah dalam karya Dharmaduta di luar negeri.
Kunjungan Bhikkhu Narada ke Indonesia pada tahun 1934 pertama kalinya adalah untuk berziarah ke Candi Borobudur, kemudian berkeliling Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat melaksanakan misi sebagai Dharmaduta untuk meyebarkan agama Buddha. Bhikkhu Narada telah melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
- Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dharma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
- Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
- Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
- Menjalin kerja sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin Kok Sih di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
- Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawotjo, tokoh umat Buddha Jawa Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada pada tanggal 10 Maret 1934.