Mimpi Ratu Mahamaya
Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Mahamaya sudah lama menikah, namun belum juga mendapatkan keturunan. Ketika Ratu Mahamaya berumur kurang lebih 45 tahun, pada saat itu bertepatan dengan perayaan Asalha yang berlangsung selama tujuh hari. Ratu Mahamaya mengikutinya dari awal hingga akhir. Setelah perayaan selesai, Ratu Mahamaya mandi dengan air wangi dan mengucapkan janji uposatha, kemudian masuk ke kamar tidur. Dalam tidurnya, Ratu Mahamaya bermimpi empat Dewa Agung datang dan membawanya ke Gunung Himalaya dan meletakkannya di bawah pohon Sala di lereng Manosilatala. Kemudian para Dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian yang biasa dipakai para dewata. Selanjutnya Ratu digiring masuk ke sebuah istana emas dan berbaring di sebuah dipan yang berhiaskan permata mulia.
Setelah itu, datanglah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai dibelalainya lalu memasuki kamar dan mengelilinginya sebanyak tiga kali, kemudian masuk perut sebelah kanan. Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut. Para brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha. Memang sejak hari itu Ratu mengandung, dan Ratu Mahamaya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Kelahiran Pangeran Siddhatta
Setelah sepuluh bulan kandungan yang bertepatan dengan bulan Vaisak, Ratu mohon izin perkenan dari Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Raja pun mengizinkan dengan pengawalan sebagaimana seorang Ratu Kerajaan. Dalam perjalanan ke Devadaha, tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini yang sangat indah sekali. Di Taman itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegang pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak diberi nama Siddhartta Gotama. Ketika itu tepat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 SM.
Empat Maha Brahma menerima Sang Bayi dengan jala emas dan kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan Sang Bayi sehingga menjadi segar. Sang Bayi sendiri sudah bersih karena tiada darah atau noda-noda lain yang melekat pada tubuhnya. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah ke arah utara yang setiap langkahnya tumbuh bunga teratai, seraya mengucapkan kata-kata sebagai berikut.
"Aggo 'ham asmi lokassa,
Settho 'ham asmi lokassa
ayam antima jati,
Natthi dani punabbhavo."
Artinya :
"Akulah pemimpin di dunia ini,
Akulah tertua di dunia ini
Akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir,
tak akan ada tumimbal lahir lagi."
Seorang pertapa yang bernama Asita yang juga disebut Kaladevala saat bermeditasi di Pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga pertapa Asita berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.
Setelah melihat Sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (“orang besar”), pertapa Asita memberi hormat kepada Sang bayi, yang kemudian diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat, pertapa Asita tertawa gembira tetapi kemudian menangis. Menjawab pertanyaan Raja Suddhodana, pertapa Asita menerangkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia sendiri tidak lagi dapat menunggu bayi itu mengajarkan Ajarannya sehingga ia tertawa dan menangis. Selanjutnya pertapa Asita mengatakan bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu : (1) Orang tua, (2) Orang sakit, (3) Orang mati, dan (4) Pertapa suci. Kalau pangeran melihat empat peristiwa itu, maka Beliau akan meninggalkan istana dan menjadi Buddha.
Lahir Di Hari Yang Sama Dengan Siddhatta
Pada hari yang sama lahir pula Putri Yasodhara, yang kemudian dikenal juga sebagai Rahulamata atau ibu dari Rahula. Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha. Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha. Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha. Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu. Seekor gajah istana. Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung. Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
Upacara Pemberian Nama
Lima hari setelah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya untuk berkumpul dengan bersama-sama seratus delapan orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Diantara para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondañña, Bhoja, Suyama dan Sudatta. Para peramal tersebut meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Kecuali Kondañña (Brahmana yang termuda) sajalah yang dengan pasti mengatakan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Nama yang kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti “Tercapailah segala cita-citanya”.
Setelah Tujuh Hari Kelahiran
Tujuh hari setelah Pangeran dilahirkan, Ratu Mahamaya meninggal dunia dan terlahir kembali di surga Tusita. Raja Suddhodana menyerahkan perawatan Sang bayi kepada Putri Pajapati (adik Ratu Mahamaya) yang juga dinikahinya. Dari pernikahan ini kemudian lahir seorang putra, yaitu Nanda dan seorang putri, yaitu Rupananda.
Perayaan Membajak
Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut mengikuti perayaan membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah alat bajak yang terbuat dari emas. Disaat perayaan berlangsung dengan meriah, dayang-dayang yang ditugaskan menjaga Pangeran merasa tertarik sekali untuk menyaksikan secara langsung perayaan tersebut dan meninggalkan Pangeran kecil di bawah bayangan pohon jambu. Setelah kembali mereka heran sekali melihat Pangeran bermeditasi dengan posisi duduk bersila. Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa ini kepada Raja.
Raja dengan diiringi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa tersebut. Benar mereka menyaksikan Pangeran kecil sedang bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya. Karena Pangeran telah mencapai Jhana atau mencapai suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama sekali tidak terganggu dengan suara yang berisik disekitarnya. Selain itu, ada satu lagi keajaiban yaitu bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memayungi Pangeran Kecil yang sedang duduk bersila bermeditasi. Melihat peristiwa ini Raja Suddhodana kedua kalinya memberi hormat kepada anaknya.
Masa Kanak-Kanak
Setelah Pangeran berusia tujuh tahun, Raja merintahkan untuk membuat tiga kolam di halaman istana. Di kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai atau lotus. Satu kolam dengan bunga teratai berwarna biru atau Upala, satu kolam dengan bunga berwarna merah atau Paduma, dan satu kolam lagi dengan bunga berwarna putih atau Pundarika. Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang terkenal menghasilkan barang-barang yang mutu.
Setelah tiba waktunya untuk sekolah, Raja memerintahkan seorang guru bernama Visvamitta untuk menjadi guru memberikan pelajaran kepada Pangeran dalam berbagai ilmu pengetahuan. Ternyata Pangeran sangat cerdas. Semua pelajaran yang diberikan, sangat cepat dapat dipahami sehingga dalam waktu singkat tidak ada lagi hal-hal yang dapat diajarkan kepada Pangeran kecil.
Anak Pengasih dan Penyayang
Selain cerdas Pangeran juga terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang terhadap sesama mahluk hidup seperti kisah di bawah ini. Pada suatu hari Pangeran sedang berjalan-jalan di taman dengan saudara sepupunya Devadatta, yang pada waktu itu membawa busur dan panah. Devadatta melihat serombongan burung belibis hutan terbang di atas mereka. Dengan cepat Devadatta membidikkan panahnya akhirnya berhasil menjatuhkan seekor burung belibis. Pangeran dan Devadatta berlari-lari ke tempat jatuhnya burung tersebut. Namun Pangeran tiba terlebih dahulu dan menangkap serta memeluk burung belibis itu yang ternyata masih hidup. Pangeran dengan hati-hati dan penuh kasih sayang mencabut panah dari sayap belibis tersebut, kemudian meremas-remas beberapa lembar daun hutan yang digunakan sebagai obat untuk menutupi luka bekas anak panah.
Namun, Devadatta minta agar belibis tersebut diserahkan kepadanya karena ia yang menjatuhkannya. Namun Pangeran tidak memberinya dan mengatakan, “Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati, maka ia benar adalah milikmu. Tetapi sekarang ia tidak mati dan ternyata masih hidup. Oleh karna itu, aku yang menolongnya, maka ia adalah milikku.” Devadatta tetap menuntutnya dan Pangeran tetap pada pendiriannya dan tidak mau menyerahkannya. Akhirnya mereka berdua pergi ke Pengadilan Istana dan mohon agar diberikan keputusan yang adil dalam persoalan tersebut. Setelah mendengarkan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari kedua belah pihak, Pengadilan lalu memberikan keputusan sebagai berikut : ”Hidup adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba mencelakakannya. Karena itu menurut norma-norma keadilan yang berlaku, maka secara sah, belibis harus menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkan jiwanya yaitu Pangeran Siddhatta".
Masa Remaja
Pangeran berusia16 tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah istana yang sangat megah dan besar, satu istana untuk musim dingin atau Ramma, satu istana untuk musim panas atau Suramma dan satu istana lagi untuk musim hujan atau Subha. Kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istri. Namun para orang tua tersebut ternyata tidak menghiraukannya. Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak paham kesenian dan ilmu peperangan, manamungkin dapat memelihara dan melindungi istrinya. Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran, maka Pangeran langsung memohon kepada Raja agar segera mengadakan sayembara, dimana berbagai ilmu dipertandingkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain yang datang dari segenap penjuru negara Sakya, bahkan juga pangeran-pangeran dari negara lain.
Semua pertandingan baik naik kuda, menggunakan pedang, menjinakkan kuda liar, dan memanah ternyata dimenangkan oleh Pangeran. Khusus dalam hal memanah, Pangeran tidak ada tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh Pangeran saja mereka tidak mampu karena sangat besar dan berat, sehingga untuk membawanya ke tempat pertandingan harus digotong oleh empat orang. Dengan mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut. Pesta besar pun akhirnya diselenggarakan dan dihadiri oleh puluhan ribu gadis cantik, namun pilihan Pangeran jatuh kepada seorang gadis yang bernama Yasodhara.
Setelah Pangeran Siddhatta menikah dengan Putri Yasodhara, maka kekhawatiran Raja Suddhodana agak berkurang sebab Raja selalu ingat dengan ramalan dari pertapa Asita bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Dengan pernikahan ini, Raja berharap Pangeran akan menjadi penerusnya menjadi seorang Raja. Sekarang tinggal menjaga supaya Pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang kehidupan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Karena itu Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga jangan sampai melihat empat hal tersebut.
Melihat Empat Peristiwa
Pangeran tidak bahagia dengan cara hidupnya yang selalu dijaga dan tidak bisa kemana-mana. Pada suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata, “Ayah, perkenankanlah saya berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.” Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. “Baik, anakku, engkau boleh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota. Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.” Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja, maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap. “Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”
Sewaktu Pangeran sedang berjalan-jalan di kota, dengan tiba-tiba seorang tua renta keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kulit mukanya kering dan keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan sekali ia meminta-minta makanan dan mengatakan kalau tidak diberi makanan, ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah beberapa hari tidak makan. Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali karena hal seperti ini baru pertama kali dilihatnya.
“Apakah itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti rambutku? Apa yang salah dengan matanya? Dan giginya kemana? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, oh Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?” Channa menjawab pertanyaan Pangeran bahwa itulah orang tua, Sewaktu masih muda, orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat. Sebaiknya Tuanku lupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal itu tidak dapat dielakkan.”
Tetapi Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk segera kembali ke istana karena pemandangan orang tua yang baru saja ia lihat telah membuatnya sedih sekali, dan ia ingin merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Mengapa semua orang pada suatu hari harus menjadi tua, lemah dan menyedihkan, dan tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya, meskipun ia kaya, terpandang atau berkuasa? Malam itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi Pangeran acuh tak acuh saja, dan tidak kelihatan gembira sewaktu berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia terus merenung dan dalam hati berkata “Pada suatu hari engkau semua yang hadir akan menjadi tua, tanpa ada yang terkecuali.”
Setelah pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap saja mengganggunya. Di tempat tidur, ia masih merenung bahwa suatu hari semua orang akan menjadi tua, rambutnya putih, kulitnya keriput, ompong dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal yang menyeramkan itu, yaitu usia tua. Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa khawatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran meninggalkan istana. Karena itu, Raja memerintahkan kepada dayang-dayangnya untuk lebih sering mengadakan pesta-pesta makan dan tari-tarian.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih dahulu memberitahukannya kepada para penduduk. Dengan berat hati Raja memberikan izinnya, karena Beliau tahu, tidak ada gunanya melarang sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih. Pada kesempatan ini, Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak keluarga bangsawan karena ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Hari itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunga, dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja. Seorang pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang pandai emas sedang membuat kalung, gelang, cincin dari intan, emas, dan perak. Pangeran memperhatikan semua orang yang kelihatan sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sedang kesakitan, dan kedua kali dalam hidupnya, Pangeran melihat sesuatu yang membuat Beliau sangat sedih.
Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang, dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan, “Mengapa engkau, engaku mengapa?” Orang sakit itu sudah tidak dapat menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. “Channa, katakanlah, mengapakah orang ini? Apakah yang salah dengan dirinya? Mengapa ia tidak bicara?” Channa menjawab “Oh, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Ia diserang demam dan seluruh badannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.” Pangeran bertanya “Tetapi adakah lagi orang lain seperti dia?” Channa Menjawab “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti itu. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab penyakit ini sangat menular. Nanti Tuanku juga akan sakit.” Pangeran Bertanya “Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Channa Menjawab “Betul, Tuanku, semua orang dalam dunia ini dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya, dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar ini, Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungkan hal ini. Berselang beberapa hari, Pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan kembali melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang. Pada kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan dengan ditemani Channa, berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang. Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu api.
Orang tersebut tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut. “Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?” “Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.” Channa, apakah semua orang pada suatu hari akan mati?” “Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu nanti harus mati. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya.” Pangeran heran, sehinggan tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut ‘mati’ itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang, dan di kamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari. “Semua orang di dunia ini pada suatu hari akan mati, dan belum ada orang yang dapat menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia ini.”
Sewaktu Pangeran mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman, Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk ditangannya dan menghampirinya. Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya. Pertapa itu menjawab, “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa. Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka yang berbelas kasih. Selain dari itu, aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya. “Oh, Pertapa suci, dimanakah obat itu dapat dicari?” “Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu ku.” Kemudian pertapa itu berjalan dan terus menghilang. Konon diceritakan bahwa pertapa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhatta. Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati, “Aku juga harus menjadi pertapa seperti itu!” Tidak lama kemudian, datanglah dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini, Pangeran bukannya bergembira tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menghadap langit dan kemudian berkata belenggu telah datang.
Pangeran Siddhattha Meninggalkan Istana
Raja menyelenggarakan pesta besar dan meriah. Tetapi Pangeran tidak gembira dan sebaliknya mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati kepada Raja. Sebagaimana percakapan ini: “Ayahanda saya memohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati” “tidak anakku” “Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugerah.” “Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada meluluskan permintaanmu.” “Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku:
- Anugerah supaya tidak menjadi tua.
- Anugerah supaya tidak sakit.
- Anugerah supaya tidak mati.
- Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
- Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama sama dengan kerabat lain tetap hidup bersamaku.
- Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
- Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
- Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati.
Mendengar permintaan di atas, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab bahwa hal-hal di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.” “Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.” Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan terharu karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih, tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran.
Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur di lantai dalam posisi yang tidak beraturan, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh keluar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti dipekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya tetapi hal itu diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati, “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari, aku akan datang kembali dan meberikan obat kepada anak dan istriku.”
Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran sewaktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota. Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.
Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu, Pangeran akan menjadi Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara, yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya. Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali yang kemudian di tempat itu didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya. Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun.
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya. Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang bhikkhu kepada Pangeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana “Channa bawa pakaian dan perhiasan untuk kembali, berikan kepada Ayahanda dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini.” Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan menepuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka ikut dengan Channa tetapi belum seberapa jauh berjalan, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhir kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata. Kembalinya Channa bersama Kanthaka tanpa Pangeran ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan kesedihan. Yasodhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya, “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla. Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.
Bertapa di Hutan Uruvela
Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa. “Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan setengah dari kerajaanku.” “Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Baginda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.” “Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak menemukan obat tersebut.” “Baiklah, Baginda, aku berjanji.” Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha juga disebut Pertapa Gotama berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya. Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir.
Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut. Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai. Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan “Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan-Pencerapan”. Namun dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali. Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati.
Pertapa Gotama kemudian pergi ke hutan Uruvela dan di tempat inilah Pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondañña berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari dan berendam di sungai. Karena masih saja belum berhasil, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih lagi. Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langitnya sehingga keringat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke penerangan sempurna, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau mulut, tetapi keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Sempurna, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia seperti tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya mulai rontok. Kalau berdiri kakinya gemetaran. Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.
Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.
Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.
Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung. Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga ditepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun lima pertapa temannya kecewa sekali karena melihat Petapa Gotama berhenti berpuasa dan dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Sempurna. Mereka lalu meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa Isipatana. Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi dengan syair sebagai berikut: “Kalau tali gitar ditarik terlalu kencang, maka talinya akan putus. Kalau ditarik terlalu kendur maka suaranya kan hilang. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama tersadarkan dan melanjutkan perjalanannya dan ditengah perjalanannya ia berniat untuk bermeditasi dibawah pohon besar. Di dekat tempat itu ternyata tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin memberikan persembahan ke dewa pohon karena permohonannya sudah terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon.
Ia terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan, “Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.” Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata dewa pohon. Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini.
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?” “Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah ucapan terima kasihku karena Tuanku telah mengabulkan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.” Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah: “Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?” “Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?”
Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab, “Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.” “Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku.” Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.
Penerangan Sempurna
Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi, kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah Pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad yang bulat, ia kemudian berkata dalam hati, “Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Sempurna dan mencapai Nibbana.” Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keserakahan, keinginan untuk dihormati, tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan nafsu-nafsu keinginan yang digambarkan sebagai perjuangan melawan Mara yang sangat jahat. Pada saat itu muncul Mara dengan bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan Pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Pertapa Gotama. Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama berhasil melawan Mara dan Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa Gotama, Mara menghilang lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir datang kembali dan bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatiñana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00. Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh Cutupapatañana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkhuñana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa. Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayañana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava kekotoran batin yang sangat halus. Dengan demikian Ia mengerti sebab dari semua yang terjadi di dunia ini. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakpastian, usia tua, sakit, dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan ia telah menjadi Buddha. Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut:
“Anekajati samsaram
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam visamkhitam
Visamkharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga.”
Artinya :
“Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya
Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah Kubongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan sempurna dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Tujuh Minggu Setelah Penerangan Sempurna
Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang dan penuh kedamaian.
Selama minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.
Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Sempurna.
Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.
Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha pohon beringin, tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis penuh nafsu birahi, diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi tidak terpengaryh, sehingga akhirnya tiga orang dewi Mara meninggalkan Sang Buddha.
Selama minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut: “Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”
Selama minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara datang membawa satu orang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut(Kesa Dhatu = Relik Rambut. Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma. Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha,
“Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan.” Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut:
“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Santidha sattapparajakkhajatika
Desetu Dhammam anukampimam pajam.”
Artinya :
“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka.“
Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma. Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya kepada semua makhluk. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
“Aparuta tesam amatassa dvara
Artinya :
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”
Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia. Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Taman Rusa Isipatana di kota Benares ibukota negara Kasi. Sang Buddha segera berangkat dan dalam perjalanan di Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares Taman Rusa Isipatana
Pemutaran Roda Dhamma Pertama (Dhammacakkappavattana Sutta)
Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuki Taman Rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan, “Kawan-kawan, lihat, Pertapa Gotama sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapa, memberi hormat kepadanya. Kita juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, ia boleh berdiri saja”
Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Sang Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati. Seorang diantara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi bergegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha.
Setelah mengambil tempat duduk, Sang Buddha lalu berkata “Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan menuju keadaan bebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepada kalian. Akan kuajarkan. Kalau engkau ingin mendengar, belajar, dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”
Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha. Sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Sempurna dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Sempurna itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan. Mereka menjawab,
“Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Sempurna. Sekarang Anda kembali kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”
“Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kalian untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk kalian sendiri.”
Setelah itu kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya. Maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha.
Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu). Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha mengabulkan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “(ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan.” Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”. Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut.
Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”. Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”. Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhana Sutta.
Setelah mengajar tentang Panca khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini: “Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?” “Mereka tidak kekal, Bhante.” “Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?” “Di sana terdapat penderitaan, Bhante.” “Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku’, ‘aku’ dan ‘diriku’ ?” “Tidak tepat, Bhante.”
Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan. Oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kchidupan/Kegemaran) semata-mata. Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu’. Siswa Yang Ariya mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Sempurna. Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.
YASA
Di Benares, bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha, Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa lalau meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur, “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.” Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma.
Keesokan hari seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di Taman Rusa ia melihat jejak anaknya. Tidak jauh dari tempat itu, ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dulu Sang Buddha memberikan uraian sebagaimana apa yang diuraikan kepada Yasa. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.” Dengan demikian ayah Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Seperti dijelaskan di halaman depan, Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma karma pada waktu itu belum ada Sangha Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu. Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat. Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.
Ayah Yasa mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana makanan di rumahnya dan Sang Buddha menerima undangan ini. Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya. Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Sang Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan “dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat.
Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun rnemperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup. Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan siang, Sang Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana.
Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang.
Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.
Penyebaran Dhamma Pertama Oleh 60 Arahat
Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil enam puluh Arahat dan berkata, “mengembaralah kalian semua, ajarkanlah Dhamma demi kesejahteraan dan keselamatan semua makhluk. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya”. Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
“Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu, “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.” Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”.
Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia rnembawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Kassapa Bersaudara
Kassapa Bersaudara adalah pemimpin kaum Jatila yang terkenal pemuja api. Tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai yang mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang pengikut. Yang kedua disebut Nadi Kassapa bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang. Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang mahir dalam ilmu-ilmu gaib. Semagaimana dialog Sang Buddha dengan Uruvela Kassapa di bawah ini:
“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.” “Tentu saja tidak, Yang Mulia Gotama, aku tidak keberatan Anda bermalam dipondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Yang Mulia akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa. “Oh, tidak apa-apa. “Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.” Sang Buddha masuk ke dalam pondok dan duduk bermeditasi menunggu munculnya ular kobra tersebut.
Waktu tengah malam, benar seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan cinta kasih dan badannya seolah-olah dikelilingi oleh perisai yang tidak dapat ditembus.
Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira Sang Buddha telah mati. Tapi sebaliknya ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi. Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk pata. Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra. Kemuadia, sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah samasekali.
Akhirnya Uruvela Kassapa menjadi yakin bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa kakaknya. Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikut, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha. Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya. Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta. Sang Buddha menjelaskan tentang kesadaran melalui mata, telinga, hidung, lidah, sentuhan, dan pikiran yang merupakan pintu menyalanya api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duka cita, dan putus asa.
Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Sempurna.” Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, semua bhikkhu terbebas dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.
Maha Kassapa
Sang Buddha melanjutkan perjalanan ke Rajagaha dan tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda, beristirahat di bawah pohon Bahuputtaka atau beringin. Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha. Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus menjadikan tubuhmu sebagai obyek meditasi.” Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.
Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas, sudah puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi keramaian dan terkenal rajin sekali.
Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain dikelak kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa atau Kassapa Agung.
Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung Sangha-Samaya yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
Raja Bimbisara
Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana. Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya.
Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap acuh tak acuh. Sang Buddha yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu Sang Buddha menugaskan Uruvela Kassapa memberikan penjelasan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?”
Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yañña atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek itu.” Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan.”
Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.” Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya sebagai sikap menghormat ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia. Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil. “Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Sempurna datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi.” .
Selanjutnya Raja Bimbisara menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana.
Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama atau hutan pohon bambu yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.
Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara menyampaikan bahwa Beliau berniat memberikan Veluvanarama kepada Sang Buddha beserta pengiring-Nya, sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut. Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.
Sariputta Dan Moggallana
Di Rajagaha, hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang satunya lagi bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli. Mereka murid dari Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Pada suatu hari Assaji, salah satu dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma. Sebagaimana biasa, Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau bertemu Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan
Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?” Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.” “Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?” “Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.” “Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.” Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini:
“Ye dhamma hetuppabhava, Tessam hetum Tathagato, Tesañca yo nirodho ca, Evam vadi mahasamano.” Artinya: “Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’ ‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata, Dan juga lenyapnya kembali, Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung. “
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.
Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang. Pada suatu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk,
“Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallana, kamu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu dengan air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pencerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan ‘cahaya siang hari’ baik pada waktu siang hari maupun pada waktu malam hari, membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan ‘sikap seekor singa’, yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam keadaan ‘sadar’ dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun. Setelah bangun kamu harus segera bangkit sambil merenung ‘Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan berbaring, menyender atau tidur’. Ini Moggallana, yang kamu harus selalu ingat.”
“Selanjutnya, Moggallana, kamu harus selalu ingat ‘aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa’. Sebab kalau seorang bhikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang harus diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu ‘terlupakan’, maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut, “Siapakah yang menghasut orang ini terhadap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang ‘acuh tak acuh’. Karena merasa tak diacuhkan lagi timbul perasaan malu, karena malu pikirannya kacau, karena pikirannya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik, karena tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, ia gagal melakukan meditasi.”
“Selain dari itu, Moggallana, kamu harus selalu ingat, ‘aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain’. Sebab kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perdebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang, ia tak dapat memusatkan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya, ia tak dapat mengendalikan diri, karena ia tak dapat mengendalikan diri, ia gagal melakukan meditasi.”
“Sekarang, Moggallana, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul dan juga aku tidak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak terganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang pertapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu selalu aku pujikan.”
Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallana menanyakan tentang kesimpulan terakhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil di luar duniawi. Sang Buddha menjawab, “Moggallana, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini, tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut, ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, setelah mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, ia dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut, maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memandangnya dengan perasaan jemu untuk kemudian menyingkir dan melepaskan diri dari perasaan tersebut. Dengan merenung seperti itu, ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia ini, karena tidak lagi melekat, ia tidak dapat lagi diganggu, karena tidak dapat lagi diganggu, ia dapat rnenyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir inilah, Moggallana, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginannya dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’.” Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga.
Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari, berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta Puncak Burung Nasar di kota Rajagaha. Seorang pertapa golongan Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya dengan mengatakan, “Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tidak merasa tertarik kepadanya.” “Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya.”
Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut. “Ada kelompok pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa semua benda menyenangkan hati mereka, mereka tertarik kepada semua benda. Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menyenangkan hati mereka, mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tertarik kepada benda-benda tersebut.
Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. Pandangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pandangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhadap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain. Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa ini yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu.
Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran. Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. Dengan adanya perasaan benci akan timbul permusuhan. Setelah menyelami keadaan ini, seorang bijaksana akan menyingkirkan pandangan itu dan juga tidak menganut pandangan pandangan yang lain. Dengan melakukan ini, ia telah melepaskan ketiga pandangan tersebut.” Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudian memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan. “Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok Mahabhutarupa, yaitu tanah, air, udara, dan api. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan makanan nasi dan sayur-sayuran, selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk menutupi bau yang menyerang keluar, dan selalu harus dibersihkan dan digosok untuk membersihkan kotoran yang melekat di kulit.”
Ia ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan, kamu harus melihatnya sebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan, kamu harus melihatnya sebagai tanpa aku. Kalau melihat semua ini dengan terang, kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indria. “Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka perasaan tidak menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan tidak menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul. Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan dilahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menciut, dan hilang sama sekali.
Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Karena jemu, ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan. Tanpa nafsu-nafsu keinginan, ia akan bebas dari kemelekatan. Dalam batin yang bebas dari kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya sekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan bertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemukakan orang, ia dapat mengikutinya, tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak melekat kepada salah satu dalil.” Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, “Sang Bhagava menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksanaan Tertinggi.” Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut, batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan kemelekatan.
Setelah khotbah selesai, Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan.terbebas dari keragu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka. “Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dhamma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita. Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup.” Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat.
Sang Buddha sendiri pernah menerangkan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa Sariputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib. Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sariputta diberi gelar Dhammasenapati (Jenderal Dhamma).
Pertemuan Besar Para Arahat
Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:
Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña). Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan “Ehi bhikkhu”. Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha. Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha. Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5) : “Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiranmu, Itulah ajaran semua Buddha. Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik, Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya, Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain, Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib, Makanlah secukupnya, Hidup dengan menyepi, Dan senantiasa berpikir luhur, Itulah ajaran semua Buddha.” Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand.
Kembali Ke Kapilavatthu
Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut ‘lupa’ untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.
Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu”. Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 Km) ditempuh dalam waktu enam puluh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana. Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombongan sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untuk rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin).
Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. III, 114-121). Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, “Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, ‘Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.’ Tetapi tidak ada makhluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya. Lebih baik Aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara.”
Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.
Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah. Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sedih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dan pergi bertapa di hutan Uruvela.
Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat, maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yasodhara menampung dengan kedua tangannya air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati.
Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menyaksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga membuat hatinya gembira sekali. Setelah melakukan Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur. Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, selanjutnya lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara. Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya. Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddhattha sesungguhnya telah menjadi Buddha.
Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, “Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya. Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sang Buddha baik-baik saja. “Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus yang berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab, “Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbebas dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu para pelayan tiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?”
Sang Buddha menjawab, “Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang.
Raja Suddhodana berkata, “Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini.”
Sang Buddha menjawab, “Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangkan atau tidak menyenangkan.”
Raja Suddhodana berkata, “Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?”
Sang Buddha menjawab, “Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh.”
Raja Suddhodana berkata, “Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, makan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu.”
Sang Buddha menjawab, “Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dunia ini.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab, “Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk.”
Raja Suddhodana berkata, “Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya.”
Sang Buddha menjawab, “Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pula Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki.”
Raja Suddhodana berkata, “Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit.”
Sang Buddha menjawab, “Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit.”
Raja Suddhodana berkata, “Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa. Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal ini kepadaku.”
Sang Buddha menjawab, “Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun selembar rambut-Ku karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karena tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir. Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala.
Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?”
Raja Suddhodana kembali bertanya, “Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) dan menjadi seorang pertapa.”
Sang Buddha menjawab, “Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini.” Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.
Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha bersama-sama dengan pengikutNya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka lihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dari penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khattiya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulkan makanan. Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut dan malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui Sang Buddha.
Raja Suddhodana kemudian menegur, “Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan menggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?” “Aku tidak membuat ayah malu, oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami.” jawab Sang Buddha dengan tenang. “Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?” “Oh, Baginda, memang ini bukan merupakann kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk.” Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya mengambil makanana di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana
Putri Yasodhara
Setelah Sang Buddha beserta rombongan selesai makan tengah hari, berduyun-duyun orang, yang dulu pernah mengenal Pangeran Siddhattha, datang menemuinya untuk sekedar berbincang-bincang dan memberi hormat. Mereka semua merasa gembira sekali dapat bertemu lagi dengan Sang Pangeran yang dicintai dan kagum melihat Sang Pangeran, yang sekarang sudah menjadi Buddha, dihormat, dicintai, dan dipuja oleh demikian banyak orang.
Tetapi Yasodhara berada di kamarnya dan berpikir. “Pangeran Siddhattha sekarang sudah mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Beliau sekarang termasuk golongar Buddha. Apakah pantas bila aku datang menemuinya? Beliau pasti tidak dan juga tidak mungkin membutuhkanku lagi. Karena itu, apakah pantas kalau aku sekarang datang menemuinya? Aku rasa, lebih baik aku tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi Kalau Beliau datang menemuiku, aku akan memberi Beliau penghormatan yang layak.” Setelah berbicara dengan para pengunjung untuk beberapa waktu lamanya, Sang Buddha bertanya, “Di manakah Yasodhara?” Raja Suddhodana menjawab, “Oh, Yasodhara ada di kamarnya. “ “Kalau begitu, marilah kita pergi menjenguknya.” kata Sang Buddha.
Sang Buddha menyerahkan mangkuknya kepada Raja Suddhodana dan berjalan menuju kamar Putri Yasodhara. Sang Buddha berpesan kepada ayahnya. “Biarkan saja Yasodhara memberi hormat kepadaku sebagaimana yang dikehendaki. Jangan berkata apa-apa atau melarangnya. “ Waktu Putri Yasodhara diberi kabar tentang kedatangan Sang Buddha, Putri segera memerintahkan semua pelayannya memakai baju kuning untuk memberi hormat selamat datang kepada Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha memasuki kamar, dengan cepat Putri Yasodhara menyambutnya sambil berlutut dan memegang kaki Sang Buddha. Kemudian Putri Yasodhara melepaskan rasa rindunya dengan meletakkan kepalanya di atas kaki Sang Buddha dan menangis tersedu-sedu sehingga kaki Sang Buddha basah dengan air mata.
Sang Buddha berdiri diam saja dan dengan batin tenang memancarkan belas kasih dan kasih sayang. Setelah lewat beberapa waktu, kemudian dengan hormat mempersilakan Sang Buddha dan Raja Suddhodana mengambil tempat duduk masing-masing yang sudah disediakan. Setelah Putri mengambil tempat duduk, Raja Suddhodana berkata kepada Sang Buddha, “Yang Maha Bijaksana, waktu Putri mendengar bahwa anakku memakai jubah kuning, Putri pun memakai baju kuning, waktu mendengar bahwa anakku makan hanya satu kali sehari, Putri pun makan hanya satu kali sehari, waktu mendengar bahwa anakku tidak tidur di dipan yang tinggi dan mewah, Putri pun tidur di atas dipan yang rendah dan sederhana, waktu Putri mendengar bahwa anakku tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian, Putri pun tidak lagi memakainya, waktu keluarganya mengirim pesan bahwa mereka bersedia menanggung semua keperluan hidupnya, Putri tidak menggubrisnya sama sekali. Sungguh bajik menantuku Yasodhara ini.” Sang Buddha menjawab, “Bukan di kehidupan ini saja, oh Baginda, juga dalam kehidupan-kehidupan yang lampau Yasodhara selalu melindungi, berbakti, dan setia kepada-Ku.” Kemudian Sang Buddha menceritakan Candakinnara Jataka, yaitu kisah tentang kehidupan-Nya yang lampau bersama-sama Yasodhara, seperti di bawah ini:
“Dalam salah satu kehidupan yang lampau, Sang Bodhisatta dilahirkan sebagai seekor Kinnara (burung dengan kepala manusia) bernama Canda, yang hidup di Gunung Himava dengan istrinya yang bernama Canda. Pada suatu hari mereka sedang bersuka ria di dekat sungai kecil dengan bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Pada waktu itu Raja Benares sedang berburu di hutan dan melihat Canda sedang bernyanyi dan menari. Seketika itu Raja jatuh cinta kepadanya. Raja memanah Canda dan matilah Canda. Istrinya, Canda, memeluk mayat suaminya dan menangis tersedu-sedu. Raja Benares datang menghibur dengan mengatakan, “Engkau tak usah bersedih atas kematian suamimu. Aku mempersembahkan segenap cintaku dan seluruh isi kerajaanku, apabila engkau bersedia menjadi permaisuriku.“ Canda tidak menghiraukan hiburan Raja Benares dan terus meratap dan menangis sambil memprotes kepada para Dewata Agung yang membiarkan suaminya mati dibunuh orang.
Demikian keras protes Canda, sehingga menggerakkan hati Raja Dewa Sakka. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Dewa Sakka turun ke dunia dan menghidupkan kembali Canda. Canda ialah yang sekarang dilahirkan sebagai Pangeran Siddhattha dan Canda ialah Putri Yasodhara. Hari itu Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Sakadagami dan Putri Pajapati menjadi seorang Sotapanna. Di Ti Pitaka dalam D.P.N hal 741, Yasodhara sewaktu-waktu disebut sebagai Rahulamata, Bhaddakaccana, Bimbadevi, Bimbasundari, dan Bimba. Agama Buddha aliran Utara lebih menyukai nama Yasodhara, tetapi sering juga menyebutnya sebagai Bimba, Bhaddakacca dan Subhaddaka, dan dianggap sebagai Putri dari Dandapani.
Pangeran Nanda
Pangeran Nanda adalah seorang saudara tiri Pangeran Siddhattha, yaitu anak dari Putri Pajapati, adik dari Ratu Maya. Karena Pangeran Siddhattha, putra mahkota dari Kerajaan Sakya, telah menjadi seorang pertapa, maka Raja Suddhodana ingin menobatkan Pangeran Nanda yang berumur 35 tahun, sebagai putra mahkota menggantikan kedudukan Pangeran Siddhattha. Pada waktu yang sama, Raja Suddhodana ingin pula menikahkan Pangeran Nanda dengan Putri Janapada Kalyani dan memberikan sebuah istana untuk tempat tinggal kedua mempelai.
Pada hari ketiga Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Raja Suddhodana mengundang Sang Buddha untuk menghadiri upacara yang penting tersebut dan memberkahi kedua mempelai. Sang Buddha datang di tempat upacara, makan hidangan yang telah disediakan, memberi berkah kepada semua orang yang hadir dan kemudian pamitan pulang setelah memberi mangkuk-Nya kepada Pangeran Nanda.
Sang Buddha berjalan ke luar istana dengan diikuti Pangeran Nanda yang membawa mangkuk Sang Buddha. Pangeran Nanda berpikir, “Sang Bhagava akan mengambil kembali mangkuk-Nya di pintu istana.” Tetapi Sang Buddha terus berjalan ke luar. Kemudian Pangeran Nanda berpikir, “Sang Buddha akan mengambil kembali mangkuk-Nya di pintu pagar istana.” Mempelai wanita, Putri Janapada Kalyani, melihat suaminya mengikuti Sang Buddha dan berpikir, “Suami saya mungkin pergi ke vihara dan akan pamitan setelah tiba di sana.” Karena itu Putri berpesan, “Kekasihku, jangan pergi terlalu lama, cepat-cepatlah pulang.” Tiba di vihara, Pangeran Nanda mengembalikan mangkuk kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian bertanya, “Nanda, apakah engkau mau menjadi bhikkhu?” Pangeran Nanda menjawab, “Mau, Bhante.” Sang Buddha kemudian mentahbiskannya menjadi bhikkhu.
Setelah ditahbiskan, Nanda merasa menyesal dan menderita sekali karena terus memikirkan istrinya yang cantik. Hal ini dilihat oleh bhikkhu lain yang kemudian menegurnya, “Mengapakah Anda kelihatannya begitu sedih?” “Saudara, aku sebenarnya menyesal. Aku tidak menyukai kehidupan sebagai bhikkhu. Aku ingin melepaskan jubah dan pulang ke istana.” jawab Nanda. Bhikkhu ini kemudian pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha. Sang Buddha memanggil Nanda dan dengan kekuatan gaib, Beliau menciptakan seekor monyet betina dan beberapa bidadari dan bertanya, “Nanda, coba katakan, manakah yang lebih cantik, istrimu atau monyet betina itu?” “Bhante, Janapada Kalyani dapat diumpamakan sebagai monyet betina kalau dibandingkan dengan para bidadari.” “Bergembiralah, Nanda. Aku jamin bahwa engkau akan memiliki bidadari tersebut, bila saja engkau mau bekerja keras.” “Kalau begitu, dengan segala senang hati aku ingin terus menjadi bhikkhu.” jawab Nanda. Ia kemudian dengan tekun mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Sang Buddha dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian yang tertinggi dan tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali ke istana.
Pangeran Rahula
Pada hari ketujuh Sang Buddha di Kapilavatthu, Putri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke sebuah jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Putri Yasodhara kemudian bertanya kepada Rahula, “Anakku sayang, tahukah engkau siapa orang itu?” “Beliau adalah Buddha, Ibu.” jawab Rahula. Yasodhara tak dapat lagi menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, “Sayang, pertapa yang kulitnya kuning emas itu dan kelihatannya sebagai Brahma dikelilingi oleh ribuan murid-Nya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Setelah ayahmu meninggalkan istana, tidak lagi diketahui apa yang terjadi dengan harta tersebut. Pergilah kepadanya dan mintalah hadiah sambil berkata, “Ayah, aku adalah Pangeran Rahula. Kalau aku kelak menjadi Raja, aku akan menjadi raja-di-raja. Aku mohon diberi harta pusaka, karena seorang anak adalah pewaris dari apa yang menjadi milik ayahnya.” Pangeran Rahula yang masih murni dan belum tahu apa-apa pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha dan menatap muka-Nya, Rahula mengatakan apa yang tadi dipesankan oleh ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan Ayah membuat hatiku senang”.
Selesai makan siang, Sang Buddha meninggalkan istana dan Rahula mengikuti sambil terus merengek-rengek, “Ayah, berikanlah aku harta pusaka, aku kelak akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka, Ayah banyak memiliki harta, Ayah, aku mohon dengan sangat, berikanlah kepadaku warisan.” Tidak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan saja Rahula merengek-rengek sambil terus mengikuti jalan di samping-Nya. Tiba di taman, Sang Buddha berpikir, “Rahula minta warisan harta pusaka ayahnya, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberinya warisan yang berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh di bawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia.” Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula menjadi Samanera.
Mendengar berita bahwa Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana menjadi sedih sekali. Raja lalu pergi menemui Sang Buddha dan dengan sopan menegur dengan kata-kata, “Waktu dulu anakku meninggalkan istana membuat aku sedih, sedih dan sakit sekali. Waktu Nanda meninggalkan istana hatiku menjadi hancur dan menderita sekali. Kemudian aku mencurahkan cinta dan perhatianku kepada cucuku Rahula dan mencintai melebihi cintaku kepada siapa pun juga. Sekarang Rahula dibawa kemari dan ditahbiskan menjadi samanera. Aku sangat menyesal dan tidak senang akan apa yang telah terjadi. Aku mohon dengan sangat agar mulai hari ini tidak lagi ada seorang bhikkhu atau samanera yang ditahbiskan tanpa izin dari orang tuanya.” Sang Buddha menyetujui permohonan Raja Suddhodana dan mulai hari itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dulu mendapat izin dari orang tuanya. Keesokan harinya, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anagami.
Ananda
Setelah Sang Buddha beberapa lama diam di Kapilavatthu, 80.000 orang telah ditahbiskan menjadi bhikkhu, yaitu satu orang dari setiap keluarga. Kemudian Sang Buddha dengan rombongan berangkat ke Rajagaha. Sewaktu dalam perjalanan, Sang Buddha berhenti di hutan mangga Anupiya dan di tempat itu Beliau dikunjungi oleh Anuruddha, Bhaddiya, Ananda, Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan tukang pangkas rambut mereka yang bernama Upali. Dikisahkan bahwa lima orang dari mereka dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian Arahat, Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan Devadatta tidak mencapai tingkat kesucian, tetapi memperoleh kekuatan gaib yang luar biasa dan yang tertinggi yang dapat dicapai seorang manusia. Ananda dilahirkan pada hari, bulan, dan tahun yang sama dengan Sang Buddha dan terkenal sekali karena sumbangannya untuk kemajuan dan perkembangan Buddha Dhamma.
Selama 20 tahun setelah mencapai Penerangan Agung, Sang Buddha belum mempunyai seorang pembantu tetap. Setiap hari secara bergantian bhikkhu Nagasamala, Nagita, Upavana, Sunakkhata, Sagata, Radha, dan Meghiya, dan samanera Cunda membantu dan melayani Sang Bhagava (Buddha), meskipun tidak teratur. Pada suatu hari dalam khotbah-Nya di Rajagaha, Sang Bhagava menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap karena merasa usia-Nya yang sudah meningkat. Semua murid utama-Nya yang terdiri dari delapan puluh Arahat, seperti Sariputta dan Moggallana, menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap. Tetapi semuanya ditolak. Para Arahat kemudian menganjurkan Ananda, yang selama itu diam saja, untuk memohon kepada Sang Bhagava agar dapat diterima menjadi pembantu tetap. Jawaban Ananda dalam hal ini sungguh menarik sekali. Ananda mengatakan, “Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai pembantu tetap, Sang Bhagava boleh mengatakan-Nya.”
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi pembantu tetap Sang Buddha.” Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap asal saja Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu untuk menolak empat hal dan meluluskan empat hal lainnya.
Empat hal yang Ananda mohon supaya ditolak adalah:
1. Apabila Sang Buddha menerima pemberian jubah yang bagus, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda.
2. Kalau Sang Buddha menerima hadiah, maka hadiah tersebut tidak boleh diberikan kepada Ananda.
3. Bahwa Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti).
4. Kalau Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk untuk dirinya.
Ananda mengatakan kalau Sang Buddha melakukan satu dari empat hal yang tersebut di atas, maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi pembantu tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal yang menyenangkan dan agar bisa ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.
Empat hal yang Ananda mohon Sang Buddha menerimanya:
1. Kalau Ananda menerima sebuah undangan atas nama Sang Buddha, maka Sang Buddha harus memenuhinya.
2. Kalau ada orang datang dari tempat jauh, supaya ia boleh membawanya menghadap kepada Sang Buddha.
3. Setiap waktu ia diperbolehkan untuk bertanya kepada Sang Buddha, apabila ia merasa ada sesuatu yang diragu-ragukan.
4. Apa pun juga yang Sang Buddha khotbahkan sewaktu ia tidak hadir, supaya Sang Buddha bersedia mengulangnya kembali.
Kalau hal ini tidak diperkenankan, orang akan bertanya-tanya, apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut hanya kalau delapan permohonan ini dikabulkan, ia akan mendapat kepercayaan khalayak ramai dan mereka tahu bahwa Sang Buddha mempunyai kepercayaan besar terhadap dirinya. Setelah Sang Buddha setuju dan memberikan anugerah (Vara) berupa Delapan Hak Istimewa tersebut, maka mulai hari itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (pembantu tetap Sang Buddha).
Selama 25 tahun lamanya Ananda melayani Sang Buddha, mengikuti-Nya sebagai sebuah bayangan, mengambilkan air, mencuci kaki-Nya, menemani ke manapun Sang Buddha pergi, membersihkan kamar-Nya dan hal-hal lain lagi. Justru karena hubungan erat inilah, maka Ananda mempunyai kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Dibantu dengan ingatan kuat yang dimilikinya, maka Ananda dapat mengulang semua khotbah Sang Buddha. Karena itu Ananda juga dinamakan Bendahara Dhamma (Dhamma- bhandagarika).
Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat, yaitu pada hari pembukaan Sidang Agung Pertama di Goa Sattapanni, kota Rajagaha yang diketuai oleh Maha Kassapa. Di sidang tersebut, Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Sang Buddha, sedangkan Upali mengulang tata tertib (Vinaya) para bhikkhu dan bhikkhuni. Patut pula dicatat sebagai jasa Ananda bahwa berkat sokongannya yang kuat, Putri Pajapati berhasil diterima menjadi bhikkhuni oleh Sang Buddha, yang menjadi permulaan berdirinya Sangha Bhikkhuni. Dan Ananda jugalah, atas perintah Sang Buddha, merancang jubah bhikkhu dengan mengambil contoh sawah-sawah di Magadha.
Ananda meninggal dunia pada usia 120 tahun. Pada hari akan meninggal dunia, Ananda pergi ke tepi Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara Kapilavatthu dan negara Koliya. Setelah memberikan khotbah kepada para keluarganya yang berkumpul di kedua tepi sungai, Ananda berjalan ke tengah Sungai Rohini dan di situlah dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Keluarganya di kedua tepi sungai mengumpulkan abu sisa badan jasmaninya, dibagi dua dan kemudian mereka mendirikan dua buah stupa sebagai penghormatan kepada Ananda, satu di Kapilavatthu dan satu lagi di negara Koliya. Seperti diketahui di halaman muka, Ananda adalah putra tunggal dari Pangeran Sukkodana, adik Raja Suddhodana.
Anathapindika
Anathapindika dilahirkan di Savatthi. Ayahnya seorang jutawan yang bernama Sumana. Nama sebenarnya adalah Sudatta, tetapi karena kedermawanannya dan selalu bersedia menolong orang yang melarat, maka ia diberi nama Anathapindika yang berarti “Pemberi makan orang yang melarat”. Istrinya bernama Punnalakkhana, kakak dari seorang jutawan di Rajagaha dan mempunyai seorang putra bernama Kala, serta tiga orang putri bernama Mahasubhadda, Culasubhadda, dan Sumana.
Pada suatu hari Sang Buddha tiba di hutan Sitavana dalam perjalanan dari Kapilavatthu ke Rajagaha. Di tempat inilah untuk pertama kali Anathapindika bertemu dengan Sang Buddha, waktu Anathapindika berkunjung ke Rajagaha untuk urusan dagang. Di rumah kakak iparnya di Rajagaha, ia melihat bahwa jutawan dari Rajagaha ini sedang sibuk mempersiapkan hidangan untuk Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Demikian mewahnya hidangan yang sedang disiapkan, sehingga ia berpikir barangkali ada pesta pernikahan atau mungkin untuk menerima kedatangan seorang Raja. Setelah diberitahu bahwa semua hidangan itu disiapkan untuk menerima kedatangan Sang Buddha, maka timbul hasrat dalam dirinya untuk mengunjungi Sang Buddha.
Ia bermaksud untuk mengunjungi Sang Buddha pagi-pagi sekali keesokan harinya. Memikirkan kunjungan ini membuat Anathapindika demikian tegang, sehingga malam itu ia terbangun sampai tiga kali dari tidurnya. Waktu ia berangkat ke Sitavana, hari masih gelap. Ketika hendak melintasi tanah pekuburan, hatinya merasa takut sekali sehingga ia menggigil. Tetapi kepercayaannya terhadap Sang Buddha demikian kuat, sehingga dari tubuhnya keluar cahaya yang menerangi jalan yang harus dilaluinya. Lagipula seorang makhluk halus (yakkha) bernama Sivaka yang baik hati memberi ia semangat, sehingga akhirnya tibalah Anathapindika di Sitavana. Pada waktu itu Sang Buddha sedang jalan hilir mudik sambil menghirup udara pagi hari yang segar. Sang Buddha menyapanya dengan memanggil nama pribadinya. Kemudian Sang Buddha memberikan uraian Dhamma yang membuat Anathapindika menjadi seorang Sotapanna.
Waktu mau pamitan pulang, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk keesokan harinya makan siang di rumahnya. Setiba di rumahnya, Anathapindika sibuk mempersiapkan sendiri semua kebutuhan untuk keesokan harinya dan menolak tawaran kakak iparnya dan Raja Bimbisara yang ingin membantunya. Selesai makan siang yang ia layani sendiri, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk ber-vassa (istirahat musim hujan) di Savatthi. Sang Buddha menerimanya dengan mengatakan, “Para Tathagata, oh kepala keluarga, menyukai tempat yang sunyi.” “Saya mengerti, oh Bhagava, saya mengerti, Sugata.”jawab Anathapindika. Setelah menyelesaikan urusan dagangnya di Rajagaha, Anathapindika pulang ke Savatthi. Sepanjang jalan dari Rajagaha ke Savatthi, ia meninggalkan pesan kepada sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya agar menyiapkan tempat tinggal, taman-taman, rumah-rumah untuk istirahat dan hadiah-hadiah dalam rangka menyambut kunjungan Sang Buddha ke Savatthi.
Mengetahui bahwa Sang Buddha menerima tawaran untuk ber-vassa di Savatthi, maka setibanya di Savatthi, Anathapindika mencari sebidang tanah yang luas dan sunyi untuk membuat tempat tinggal bagi Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Ia ingat kepada taman Pangeran Jeta yang memenuhi syarat yang dikemukakan Sang Buddha. Ia menghubungi Pangeran Jeta dan mengutarakan maksudnya untuk membeli tanah tersebut bagi tempat tinggal Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Tetapi Pangeran Jeta menjawab bahwa tamannya tidak dijual, meskipun Anathapindika sanggup membayar sepuluh juta uang emas. Karena Anathapindika terus mendesak, maka akhirnya ia setuju menjual tamannya asalkan saja Anathapindika sanggup menutupi taman tersebut dengan uang emas.
Dengan tidak pikir panjang, Anathapindika segera menyuruh pelayannya untuk mengeluarkan uang emas dari gudang hartanya dan menutupi taman dengan mata uang emas. Tetapi menjelang semua tanah akan tertutup dengan mata uang emas, tiba-tiba Pangeran Jeta datang dan minta agar sisa tanah yang belum tertutup uang emas dianggap sebagai sumbangan Pangeran Jeta kepada Sang Buddha. Setelah itu Anathapindika memerintahkan untuk membuat sebuah vihara yang besar dan megah dengan biaya yang besar sekali.
Dikisahkan bahwa Sang Buddha berada di vihara Jetavanarama tersebut selama sembilan belas vassa, khususnya pada waktu Beliau sudah berusia lanjut dan di vihara inilah Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang terbanyak. Anathapindika dua kali sehari mengunjungi Sang Buddha dan sering membawa banyak sahabatnya. Kalau datang ia selalu membawa hadiah-hadiah untuk para bhikkhu muda dan samanera. Tetapi anehnya, ia sendiri tidak pernah menanyakan sesuatu karena khawatir membuat Sang Buddha lelah. Di pihak lain, Sang Buddha sendiri sering memberikan uraian Dhamma kepadanya. Tiap hari Anathapindika memberi makan kepada seratus orang bhikkhu dan menyediakan juga makanan untuk para tamu, penduduk desa dan mereka yang kebetulan datang ke rumahnya. Lima ratus tempat duduk selalu siap di rumahnya untuk menerima siapa saja yang datang. Seisi rumahnya berpegangan teguh kepada Panca-Sila dan pada hari-hari Uposatha (tanggal 1, 8, 14/15, 22/23 menurut penanggalan bulan) mereka berpuasa.
Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang berkeliling, Anathapindika merasa sedih sekali karena tidak ada sesuatu yang dapat dipujanya. Oleh karena itu bersama-sama penduduk Savatthi lain ia minta kepada Ananda untuk membuat tempat di mana mereka dapat memuja dan memuliakan nama Sang Buddha. Atas saran Sang Buddha, satu cangkokan dari pohon Bodhi di Gaya ditanam di dekat pintu masuk Jetavanarama. Karena penanaman pohon ini dihadiri oleh Ananda, maka kemudian dikenal sebagai Anandabodhi.
Karena kedermawanannya, Anathapindika diberi gelar “Pemimpin para Dayaka”. Dayaka berarti penyokong Sang Buddha. Ketiga putrinya juga semua turut membantu ayahnya mengurus segala kebutuhan para bhikkhu. Putri pertama dan kedua telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, menikah dan kemudian mengikuti suaminya. Putri yang ketiga memperoleh tingkat kesucian Sakadagami. Ia tidak menikah dan tinggal bersama-sama ayahnya. Putranya semula tidak tertarik mendengarkan Dhamma, namun berkat dorongan ayahnya ia kemudian sering mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian Sotapanna.
Anathapindika meninggal dunia sebelum Sang Buddha mangkat. Waktu ia sakit keras, ia mengirim pesan khusus kepada Sariputta, dan Sariputta datang mengunjunginya bersama-sama Ananda. Pada waktu itu Sariputta memberikan uraian Dhamma dan selagi Anathapindika memusatkan pikirannya kepada perbuatan-perbuatannya yang baik dan mulia, seketika itu ia sembuh dari sakitnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menyuguhkan kedua Thera tersebut dengan makanan dari pancinya sendiri. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia dengan tenang dan rertumimbal lahir di surga Tusita. Reruntuhan dari Jetavanarama, di dekat Savatthi kini masih dapat dilihat di tempat yang bernama Sabet-mahet (Nepal Selatan).
Visakha
Visakha dilahirkan di kota Bhaddiya, negara Anga, yang terletak di sebelah Timur Magadha. Ayahnya bernama Dhanajaya, putra dari Mendaka, dan ibunya bernama Sumana. Waktu Visakha berusia tujuh tahun, Sang Buddha mengunjungi kota Bhaddiya. Waktu itu Mendaka minta Visakha mengunjungi Sang Buddha dan diberi lima ratus orang pengikut, lima ratus orang budak dengan memakai lima ratus kereta. Tiba di tempat yang dituju, mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan Visakha memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Visakha kemudian mengundang Sang Buddha beserta murid-Nya untuk makan siang keesokan harinya di rumah kakeknya. Selama empat belas hari berikutnya, Mendaka menjamu Sang Buddha beserta rombongan di rumahnya.
Dikisahkan bahwa Raja Pasenadi dari negara Kosala ingin sekali mempunyai seorang yang banyak jasanya tinggal di kerajaannya. Beliau mengirim permohonan kepada Raja Bimbisara, yang waktu itu memerintah kerajaan Magadha dan Anga untuk mencarikan seorang yang banyak jasanya untuk tinggal di kerajaannya. Untuk memenuhi permohonan Raja Pasenadi, Raja Bimbisara lalu memilih Dhanajaya, ayah Visakha, untuk pindah ke Savatthi.
Dalam perjalanan menuju Savatthi, Dhanajaya berhenti di satu tempat yang berada tujuh “League” dari Savatthi (1 league = 4.800 atau 5.564 m). Melihat bahwa tempat itu menyenangkan sekali, ia mohon kepada Raja Pasenadi untuk membuat tempat tinggal di tempat tersebut. Permohonan itu dikabulkan dan Dhanajaya membuat rumah di tempat tersebut, yang kemudian berkembang menjadi kota yang dinamakan Saketa. Visakha juga ikut tinggal bersama kedua orang tuanya di Saketa.
Pada suatu hari di Saketa diadakan perayaan dan semua orang pergi ke sungai untuk mandi. Visakha, yang waktu itu berumur lima belas tahun, berdandan dan memakai baju yang bagus. Ia ingin turut menyaksikan perayaan tersebut dan bersama kawan-kawannya ia pergi ke tepi sungai. Tiba-tiba hujan besar turun dan semua gadis kawan Visakha berlari mencari tempat untuk berteduh di sebuah bangsal. Hanya Visakha yang tidak turut berlari dan jalan saja seperti biasa. Tiba di bangsal, bajunya basah kuyup.
Di bangsal itu juga turut berteduh beberapa orang suruhan Migara, seorang jutawan dari Savatthi, yang mencari seorang gadis untuk dinikahkan dengan anaknya, Pannavaddhana. Mereka heran melihat Visakha dengan tenang berjalan memasuki bangsal, meskipun bajunya basah kuyup dengan air hujan. Mereka bertanya, “Mengapa engkau tadi tidak lari, sekarang bajumu basah kuyup.” Visakha menjawab, “Aku punya banyak baju di rumah. Kalau aku lari, mungkin aku terjatuh dan cedera anggota tubuhku. Hal ini akan membawa kerugian besar bagiku. Gadis sepertiku dapat diumpamakan sebagai barang dagangan yang tidak boleh mempunyai cacat.” Jawaban Visakha ternyata mengesankan sekali orang suruhan Migara. Tambahan lagi Visakha memang seorang gadis cantik yang memiliki Lima Kecantikan (Panca-Kalyani). Mereka segera menyerahkan sebuah karangan bunga sebagai tanda pinangan untuk menikah. Visakha menerima baik karangan bunga tersebut dan orang suruhan Migara mengikuti Visakha pulang ke rumah orang tuanya. Oleh kedua orang tuanya, pinangan ini pun diterima dengan baik.
Sekarang harus dibuat persiapan untuk merayakan pernikahan Visakha. Raja Pasenadi sendiri berkenan untuk ikut dengan rombongan yang menyertai mempelai laki-laki pergi ke Saketa. Di tempat itu mereka berdiam selama empat bulan. Selama waktu itu, lima ratus pandai emas bekerja siang dan malam untuk membuat perhiasan yang dinamakan Mahalatapasadhana. Perhiasan itu terbuat dari emas dan ditabur dengan berlian, mutiara dan batu-batu permata lainnya. Perhiasan ini berat sekali dan hanya bisa dipakai oleh orang yang tenaganya kuat.
Pada hari pernikahan, Dhanajaya membekali putrinya dengan lima ratus pedati penuh dengan uang, lima ratus pedati penuh dengan emas, perak, tembaga, kain sutra, mentega, beras dan kacang-kacangan masing-masing lima ratus pedati, alat meluku dan alat pertanian lainnya lima ratus pedati, lima ratus kereta dengan membawa tiga orang budak wanita tiap-tiap kereta disertai segala keperluan mereka. Di samping itu juga ternak yang memenuhi lapangan seluas tiga per empat “league” panjangnya dan delapan “cambuk” lebarnya, yang berdiri berhimpit-himpitan ditambah dengan enam puluh ribu sapi jantan dan enam puluh ribu sapi perah. Masih ditambah lagi dengan perhiasan Mahalatapasadhana yang mahal sekali dengan disertai sepuluh pesan yang harus ditaati oleh Visakha selama berada di rumah suaminya. Sepuluh pesan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Api dari dalam rumah tidak boleh dibawa ke luar rumah.
2. Api dari luar rumah tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah.
3. Hanya memberi kepada orang yang memberi.
4. Tidak memberi kepada orang yang tidak memberi.
5. Memberi kepada orang yang memberi dan juga kepada orang yang tidak memberi.
6. Kalau duduk, duduklah dengan tenang dan bahagia.
7. Kalau makan, makanlah dengan tenang dan bahagia.
8. Kalau tidur, tidurlah dengan tenang dan bahagia.
9. Harus menjaga baik api di rumah.
10. Harus menghormat dewa-dewa di rumah.
Selanjutnya Dhanajaya mengangkat delapan orang kepala keluarga yang terhormat untuk menjadi wali Visakha dan meneliti tiap dakwaan yang kelak mungkin akan dituduhkan terhadap tingkah laku anaknya. Keesokan harinya Visakha beserta rombongan berangkat menuju ke Savatthi. Semua penduduk Savatthi keluar dari rumahnya untuk menyambut kedatangan Visakha dan mempersembahkan aneka ragam hadiah. Semua hadiah diterima baik oleh Visakha untuk kemudian dibagi-bagikan lagi kepada penduduk Savatthi yang kurang mampu. Migara (mertua Visakha) adalah pengikut para pertapa Nigantha, yaitu pertapa yang hidup bertelanjang bulat. Tidak lama setelah Visakha berada di rumahnya, Migara mengundang para pertapa Nigantha datang ke rumahnya dan memerintahkan Visakha untuk melayaninya dengan baik. Tetapi Visakha, yang jijik melihat mereka bertelanjang bulat, menolak untuk memberi hormat. Para pertapa Nigantha mendesak Migara untuk mengirim pulang Visakha, tetapi Migara ingin menunggu saat yang tepat.
Pada suatu hari, ketika Migara sedang makan dan Visakha berdiri di sampingnya sambil mengipasinya, seorang bhikkhu datang untuk mengumpulkan makanan dan berdiri di depan pintu. Visakha minggir sedikit agar Migara dapat melihat bhikkhu tersebut, tetapi Migara tidak memperdulikannya dan terus saja makan. Visakha kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut, “Jalan terus saja, Bhante, mertua saya sedang makan hidangan basi.” Migara marah sekali dan mengancam untuk mengirim pulang Visakha ke rumah orang tuanya. Tetapi Visakha minta agar persoalan itu dibawa ke depan para walinya. Di hadapan para wali tersebut, Migara melontarkan beberapa dakwaan terhadap Visakha. Tetapi, setelah para wali meneliti dan mendengar segala keterangan dari yang bersangkutan dan para saksi, mereka berkesimpulan bahwa Visakha tidak bersalah.
Setelah itu Visakha memberi perintah untuk membuat persiapan pulang ke rumah orang tuanya di Saketa. Tetapi kemudian Migara melihat kesalahannya dan merasa menyesal. Ia mohon maaf kepada Visakha dan permohonan ini diterima oleh Visakha dengan syarat, Migara harus mengundang Sang Buddha dan murid-Nya makan siang di rumahnya. Waktu Sang Buddha dan para murid-Nya tiba, Migara lalu menyingkir pergi dan memerintahkan Visakha untuk melayani-Nya. Setelah selesai bersantap, Sang Buddha memberikan uraian Dhamma dan atas permintaan Visakha, Migara turut mendengarkan dari belakang tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Oleh karena itu ia memperoleh tingkat Sotapanna atas jasa dari Visakha, maka mulai hari itu ia menghormat Visakha sebagai ibunya dan mulai hari itu Visakha mendapat nama baru, yaitu “Migaramata” yang berarti “Ibu Migara”.
Sekarang Visakha bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana yang ia kehendaki. Setiap hari ia memberi makan kepada lima ratus orang bhikkhu. Setiap sore ia datang ke vihara mengunjungi Sang Buddha dan setelah mendengarkan uraian Dhamma, pergi berkeliling dan mendatangi para bhikkhu dan bhikkhuni untuk menanyakan kebutuhannya. Sewaktu-waktu ia diutus oleh Sang Buddha untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Beberapa aturan, seperti aturan yang mengharuskan para bhikkhu memakai “baju mandi” kalau mandi, dikeluarkan atas saran Visakha.
Suatu hari Visakha mengunjungi Sang Buddha dan sebelum memasuki vihara ia membuka perhiasan Mahalatapasadhana yang dipakainya. Waktu pulang, pelayannya lupa untuk membawanya. Belakangan, waktu Visakha kembali untuk mengambilnya ternyata bahwa Ananda telah menyimpannya di ruang dalam. Visakha menolak untuk mengambilnya kembali, tetapi memerintahkan untuk menjualnya dan hasilnya digunakan untuk keperluan para bhikkhu. Tetapi, ternyata tidak ada orang yang mampu membelinya karena perhiasan itu memang sangat mahal harganya. Karena itu Visakha mengambil keputusan untuk membelinya sendiri dan uangnya digunakan untuk membuat sebuah vihara yang disebut Migaramatupasada di taman sebelah Timur (Pubbarama) Savatthi. Selama dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan Sang Buddha, kalau sedang berada di Savatthi, Beliau membagi waktu-Nya antara Jetavana dan Pubbarama, kalau siangnya berada di Jetavana, malamnya Beliau diam di Pubbarama atau sebaliknya. Visakha mohon dan diberikan delapan “anugerah” oleh Sang Buddha, yaitu:
1. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberikan jubah kepada para bhikkhu yang selesai ber-vassa.
2. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang datang di Savatthi.
3. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada para bhikkhu yang pergi dari Savatthi.
4. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang sakit.
5. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada mereka yang menjaga bhikkhu sakit.
6. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi obat kepada bhikkhu yang sakit.
7. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi beras untuk keperluan mendadak.
8. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi baju mandi kepada para bhikkhuni.
Visakha mempunyai sepuluh orang putra dan sepuluh orang putri, tiap putra dan putri kembali mempunyai dua puluh orang anak dan tiap cucunya kembali mempunyai dua puluh orang anak. Waktu Visakha meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun, Beliau mempunyai delapan ribu empat ratus dua puluh orang anak, cucu, dan cicit yang semuanya hidup. Meskipun sudah berusia lanjut, tetapi roman mukanya masih seperti gadis berumur enam belas tahun. Visakha sangat terkenal sebagai orang yang dapat membawa keberuntungan. Oleh karena itu, penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha kalau mereka mengadakan pesta atau perayaan lain. Dengan sikapnya yang luhur, tingkah laku yang halus, ucapan yang ramah, menghormat kepada orang yang lebih tua dan kebaikan hatinya kepada semua orang, Visakha mendapat tempat yang mulia dalam hati mereka yang pernah mengenalnya.
Sebagaimana halnya dengan Anathapindika, Visakha pun mendapat gelar “Pemimpin dari para Dayika”. Dayika adalah seorang wanita yang menjadi penyokong Sang Buddha. Visakha diperkirakan lebih muda sedikit dari Anathapindika, karena adik perempuannya yang bungsu, Sujata, menikah dengan anak laki-laki dari Anathapindika, yaitu Kala. Setelah meninggal dunia, Visakha bertumimbal lahir di surga Nimmanarati dan menjadi pelayan dari raja dewa Sunimmita. (Menurut Buddhaghosa, Visakha dan Anathapindika akan menikmati hidup bahagia di alam surga selama seratus tiga puluh satu kappa, sebelum akhirnya mereka mencapai Nibbana).
Maha Pajapati Gotami
Pada tahun kedua setelah mendapat Penerangan Agung, Sang Buddha diam di Nigrodharama, Kapilavatthu, waktu itu Putri Pajapati Gotami, istri Raja Suddhodana menjadi seorang Sotapanna, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha. Tiga tahun kemudian, pada tahun kelima Sang Buddha mendapat Penerangan Agung, Raja Suddhodana sakit keras. Sang Buddha, yang waktu itu berada di balairung Kutagarasala, Vesali, datang ke Kapilavatthu dengan terbang melalui udara. Raja Suddhodana kelihatannya sudah lemah sekali, Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada ayahnya yang berada di tempat tidur, di bawah payung kerajaan yang berwarna putih. Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan khotbah tersebut dan masih dapat menikinati berkah dan kedamaian Nibbana selama tujuh hari sebelum mangkat. Waktu itu Putri Pajapati sudah mengambil keputusan untuk menjadi bhikkhuni dan menunggu waktu yang tepat untuk mohon ditahbiskan oleh Sang Buddha.
Tidak lama kemudian timbul perselisihan antara negara Sakya dan negara Koliya perihal air Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara kedua negara. Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu dan memberi nasehat kepada kedua belah pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa tersebut dengan berperang, tetapi sebaiknya sengketa tersebut diselesaikan melalui perundingan. Sesudah itu Sang Buddha menarik diri di Nigrodharama, Kapilavatthu. Setelah sengketa tersebut dapat didamaikan, Sang Buddha kemudian memberikan uraian Dhamma yang dikenal sebagai Kalahavivadasutta. Setelah mendengar khotbah tersebut, lima ratus orang Sakya yang masih muda ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Waktu inilah yang dianggap tepat oleh Putri Pajapati. Bersama-sama lima ratus wanita muda yang suaminya telah diterima menjadi bhikkhu, Putri Pajapati pergi ke Nigrodharama dan mohon agar mereka semua ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Permohonan ini tiga kali ditolak dan kemudian Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu kembali ke Vesali. Tetapi Putri Pajapati dan lima ratus wanita muda itu tidak putus asa dan mengikuti perjalanan Sang Buddha ke Vesali, setelah terlebih dulu memotong rambutnya dan memakai jubah kuning. Mereka mengikuti dengan berjalan kaki, sehingga waktu tiba di Vesali kaki mereka luka-luka dan bengkak serta badan penuh debu.
Ananda menemui para wanita tersebut yang sedang menangis di depan pintu dan kemudian meneruskan permohonan mereka untuk dapat diterima menjadi bhikkhuni. Kembali Sang Buddha menolak sampai tiga kali. Kemudian Ananda mengubah cara mengemukakannya dan bertanya, “Kalau seorang wanita, oh Bhagava, dari kehidupan berkeluarga memasuki kehidupan seorang bhikkhuni dan menjalankan dengan tekun ajaran dan tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Tathagata, apakah mungkin orang itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami atau Arahat?” “Seorang wanita dapat mencapainya, Ananda.” “Kalau begitu, oh Bhagava, Maha Pajapati Gotami, bibi Sang Bhagava, telah besar pahalanya. Beliau adalah pengasuh-Nya, bu tiri-Nya dan yang pernah memberikan-Nya air susu, waktu ibu-Nya sendiri meninggal dunia, Beliau mengasuh dan menyusui-Nya dari dadanya sendiri. Karena itu, oh Bhagava, alangkah baiknya wanita itu dapat diterima menjadi bhikkhuni.”
“Kalau, Ananda, Maha Pajapati bersedia menerima delapan “aturan keras” (Garudhamma), maka Beliau dapat ditahbiskan.” Kemudian Ananda diberitahukan tentang delapan “aturan keras” tersebut:
1. Seorang bhikkhuni, meskipun sudah ditahbiskan selama seratus tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempat duduknya, memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Dan aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalankan vassa di tempat, dimana tidak terdapat seorang bhikkhu. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
3. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari Sangha para bhikkhu, yaitu (tanggal dan) hari untuk melakukan latihan dan hari untuk mendapatkan nasehat-nasehat (teguran-teguran). Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
4. Setelah vassa, seorang bhikkhuni harus mohon kepada Sangha para bhikkhu dan Sangha para bhikkhuni untuk mendapat teguran dan peringatan tentang apa yang dilihat, didengar, dan dicurigai. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
5. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya di Sangha para bhikkhu dan di Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
6. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang calon bhikkhuni harus mohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni dari Sangha para bhikkhu dan dari Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
7. Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci-maki atau dihina dengan cara apa pun juga oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
8. Mulai hari ini seorang bhikkhuni dilarang memperingati (menegur) seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang untuk memperingati (menegur) seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
Setelah itu Ananda pergi menemui Maha Pajapati dan memberitahukan tentang delapan “aturan keras” tersebut yang harus diterima, sebelum ia dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Dengan gembira Maha Pajapati menerima delapan “aturan keras” tersebut dan kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhuni pertama. Setelah ditahbiskan, Maha Pajapati memberi hormat kepada Sang Buddha dan kemudian berdiri di satu sisi. Sang Bhagava memberikan uraian Dhamma dan kemudian memberikan kepadanya obyek untuk melakukan meditasi (Kammatthana). Beliau melatihnya dengan tekun dan tidak lama kemudian mencapai tingkat Arahat. Pengikut Maha Pajapati yang berjumlah lima ratus orang juga ditahbiskan menjadi bhikkhuni dan kemudian setelah mendengarkan Nandakovadasutta, semuanya mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian berdirilah Bhikkhuni Sangha yang dipimpin oleh Maha Pajapati Gotami dan berkembang terus di desa-desa, kota-kota, dan bahkan di istana raja-raja. Yasodhara (ibu Rahula) dan Rupananda (anak Maha Pajapati) juga turut memasuki Bhikkhuni Sangha.
Pada satu kesempatan di hadapan Bhikkhu Sangha dan Bhikkhuni Sangha, Sang Buddha menyatakan bahwa Maha Pajapati adalah pemimpin dari para bhikkhuni yang terkemuka (Rattannu). Yasodhara, yang sewaktu-waktu juga disebut sebagai Rahulamata, Bimba, Bimbadevi, Bhaddakacca adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan gaib (Mahabhinnappatta) dan Rupananda adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan meditasi (Jhayi). Dalam Bhikkhuni Sangha pun terdapat dua orang murid utama, yaitu Khema dan Uppalavanna, sebagaimana Sariputta dan Moggallana menjadi murid utama dalam Bhikkhu Sangha. Kemudian sewaktu Maha Pajapati sedang berada di Vesali, Beliau mengetahui bahwa hidupnya di dunia ini sudah tidak lama lagi. Beliau pamit dari Sang Buddha dan meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun.
Kegiatan Sehari-hari Sang Buddha:
Pagi hari (pukul 04.00-pukul 12.00). Sang Buddha bangun pukul 04.00 pagi, setelah mandi lantas duduk bermeditasi selama satu jam. Dari pukul 05.00 pagi, selama satu jam, Sang Buddha melihat dengan mata dewa ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau. Pukul 06.00 pagi memakai jubah-Nya dan pergi ke desa atau kota untuk mengumpulkan makanan atau pergi mengunjungi orang yang memerlukan pertolongan Beliau. Tiba di desa atau kota, Sang Buddha berjalan dari rumah ke rumah dengan mata ditujukan ke tanah dan menerima makanan apa saja yang dimasukkan ke dalam mangkuk-Nya dengan tidak mengucapkan sesuatu kata pun. Kalau pergi bersama-sama dengan murid-Nya, mereka merupakan barisan yang panjang karena berjalan satu per satu. Pada waktu Sang Buddha menerima juga undangan makan di rumah seorang umat. Sehabis bersantap, Beliau selalu memberikan khotbah Dhamma. Kalau ada orang yang minta diterima sebagai murid/pengikut, maka Beliau mentahbiskannya di tempat tersebut.
Siang hari (pukul 12.00-pukul 18.00). Waktu ini biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Sang Buddha menjawab semua pertanyaan dengan disertai nasehat dan petunjuk mengenai meditasi. Kalau mereka pulang, maka Sang Buddha beristirahat di kamar-Nya dan dengan mata dewa melihat ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan-Nya. Kalau Beliau melihat ada yang memerlukan pertolongan, maka Beliau segera mengunjunginya. Kalau hari itu tidak ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau, maka Beliau keluar dari kamar untuk bertemu dengan ratusan orang yang berkumpul di ruang khotbah (Dhammasala). Di Dhammasala, Sang Buddha memberikan khotbah dengan cara yang khas, sehingga tiap orang merasa bahwa khotbah itu ditujukan kepada dirinya. Dengan demikian Sang Buddha memberikan kegembiraan kepada orang yang bijaksana, mempertinggi pengetahuan orang biasa dan memberi penerangan. kepada orang yang sedang dihinggapi kegelapan batin.
Waktu jaga pertama (pukul 18.00-pukul 22.00). Waktu ini para bhikkhu kembali datang untuk mendengar khotbah Dhamma atau untuk bertanya tentang hal-hal yang masih mereka ragukan. Selain para bhikkhu juga umat biasa banyak yang datang menemui Sang Buddha.
Waktu jaga kedua (pukul 22.00-pukul 02.00). Para dewa datang untuk mendengarkan Dhamma yang khusus ditujukan kepada mereka. Mereka tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
Waktu jaga ketiga (pukul 02.00-pukul 04.00). Dari pukul 02.00 sampai pukul 03.00, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di luar kamar (melakukan meditasi berjalan) sambil menghirup udara pagi. Pukul 03.00 pagi, Sang Buddha tidur selama satu jam dan bangun pada pukul 04.00 pagi.
Empat Puluh Lima Tahun Mengajar Dhamma
Tahun ke-1 Setelah memperoleh Penerangan Agung, Sang Buddha menjalankan yassa (istirahat musim hujan) di Isipatana.
Tahun ke-2 Sang Buddha menjalankan vassa di Veluvana, Rajagaha.
Tahun ke-3 Atas permintaan Raja Suddhodana, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu. Di Nigrodharama, untuk pertama kalinya Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya yang disebut Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan keluarganya dan orang Sakya lain bahwa Beliau memang benar telah mencapai tingkat Buddha. Dalam perjalanan kembali dari Kapilavatthu ke Rajagaha, Sang Buddha bertemu dengan Anathapindika dan menyetujui untuk menjalankan vassa yang akan datang di Savatthi.
Tahun ke-4 Sang Buddha ber-vassa di Veluvana, Rajagaha.
Tahun ke-5 Sang Buddha ber-vassa di Kutagarasala, Vesali. Waktu itu Raja Suddhodana sakit. Sang Buddha mengunjungi Raja di Kapilavatthu dan memberikan khotbah Dhamma kepada ayah-Nya, setelah mendengar khotbah tersebut, Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat dan meninggal dunia tujuh hari kemudian. Sangha bhikkhuni di bawah pimpinan Maha Pajapati terbentuk di tahun ini.
Tahun ke-6 Ber-vassa di Mankulapabbata (Lereng Mankula). Di tahun ini, untuk kedua kalinya Sang Buddha memperlihatkan Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda di bawah pohon Gandamba di Savatthi, meskipun sebelumnya Beliau melarang murid-muridNya untuk memperlihatkan kekuatan gaib di depan umum. Hanya Beliau yang boleh memperlihatkan kekuatan gaib di depan umum, tetapi murid-muridNya dilarang melakukan hal-hal tersebut.
Tahun ke- 7 Sang Buddha mengunjungi surga Tavatimsa. Ibu-Nya, almarhum Ratu Maya, bersama para dewa lainnya diberi pelajaran Abhidhamma, selama tiga bulan Sang Buddha ber-vassa di surga tersebut. Akhir vassa, Beliau berjalan turun dari surga Tavatimsa melalui tangga yang terbuat dari batu pualam, di Sankassa, tiga puluh “league” dari Savatthi. Waktu itu orang yang berkumpul di sekitar Savatthi dan para dewa yang berada di surga Tavatimsa dapat melihat satu sama lain dengan jelas, berkat kekuatan gaib Sang Buddha.
Waktu itu kemasyhuran Sang Buddha mencapai titik tertinggi dan waktu itu pula golongan pertapa yang merasa terdesak hebat, berusaha untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan seorang wanita bernama Cinca-manavika yang melancarkan fitnahan keji terhadap diri Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut: Para pertapa dari golongan paribbajika merasa sangat terdesak dengan adanya Sang Buddha yang semakin lama semakin masyhur namanya. Karena itu, mereka merencanakan satu tipu muslihat untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan Cinca sebagai umpan. Cinca adalah seorang wanita cantik yang banyak akalnya. Wanita ini dibujuk oleh para pertapa dari golongan paribbajika untuk pura-pura mengunjungi Sang Buddha di vihara Jetavana.
Pada suatu malam, Cinca pergi ke vihara Jetavana dan sengaja berjalan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh khalayak rumai. Malam itu ia tidur di emper vihara dekat kamar Sang Buddha. Pagi harinya ia berjalan meninggalkan vihara dengan juga dilihat oleh banyak orang. Ketika ditanya, Cinca menjawab bahwa ia tadi malam tidur bersama-sama Sang Buddha. Beberapa bulan kemudian dengan berpura-pura hamil (ia mengikat sepotong kayu di bagian perutnya) Cinca pergi mengunjungi Sang Buddha yang sedang berkhotbah di hadapan umat. Ketika itulah Cinca dengan tiba-tiba membuat onar dengan menuduh Sang Buddha sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tebal muka karena tidak mau memberi bekal untuk persalinannya.
Mendengar tuduhan itu, Sang Buddha tidak berkata apa-apa dan hanya diam saja. Tetapi Dewa Sakka menjadi marah sekali. Beliau memerintahkan seekor tikus untuk menggigit tali yang nengikat kayu di sekitar perut Cinca. Tali itu putus dan kayu menimpa jari kaki Cinca hingga terluka. Khalayak ramai lalu menyeretnya ke luar vihara. Waktu kakinya menginjak tanah di luar pagar vihara, kakinya terus amblas dan seluruh badannya masuk ke tanah untuk kemudian terlahir di alam neraka.
Waktu Sang Buddha kemudian ditanya, mengapa Beliau sampai mendapat fitnahan seperti itu, Beliau menerangkan bahwa itu adalah akibat dari perbuatan-Nya juga, yaitu bahwa dalam salah satu kehidupannya yang lampau, Beliau pernah mencaci-maki seorang Pacceka Buddha. Jadi saat ini Beliau difitnah adalah akibat dari perbuatan-Nya yang tersebut di atas. Di kemudian hari terjadi lagi fitnahan yang serupa oleh seorang wanita bernama Sundari, didalangi oleh golongan pertapa paribbajika yang masih penasaran. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Seorang wanita bernama Sundari dibujuk oleh para pertapa paribbajika untuk memperlihatkan diri sedang pergi ke Jetavana dengan berdandan rapi dan memakai wangi-wangian, dan membawa buah-buahan dan beberapa barang lain lagi. Kalau ada yang menegur ia harus menjawab bahwa ia akan menemui Sang Buddha dan akan bermalam di kamarnya. Tetapi sebenarnya, ia hanya melewati saja kamar Sang Buddha dan pergi bermalam di vihara kaum paribbajika yang berdekatan. Besok pagi-pagi sekali ia harus kembali dan supaya dilihat orang banyak berjalan dari jurusan Jetavana. Beberapa hari kemudian para pertapa tersebut memberi upah kepada beberapa orang bajingan untuk membunuh Sundari dan menyembunyikan mayatnya di tempat sampah dekat Jetavana.
Setelah Sundari dibunuh, dengan menangis mereka menghadap Raja Pasenadi untuk melaporkan tentang hilangnya Sundari. Pencarian kemudian dilakukan oleh petugas-petugas raja dan tidak lama kemudian mereka menemukan mayat Sundari di dekat Gandhakuti (kamar) Sang Buddha. Dengan menggotong mayat Sundari di atas sebuah usungan, mereka mengaraknya melewati jalan-jalan di kota sambil meneriakkan tuduhan, “Hal ini kami berterima kasih kepada bhikkhu-bhikkhu dari suku Sakya!” Akibatnya, para bhikkhu yang mengumpulkan makanan dihina habis-habisan oleh penduduk kota. Selama tujuh hari Sang Buddha diam saja di kamar-Nya dan tidak pergi ke kota untuk mengumpulkan makanan, sehingga Ananda mengusulkan untuk pindah saja ke kota lain. Tetapi Sang Buddha menolak usul tersebut dan mengatakan bahwa merupakan satu kesalahan besar untuk pergi menyingkir ke tempat lain hanya atas dasar laporan palsu. Kemudian Beliau mengatakan bahwa dalam tujuh hari persoalan ini sudah dapat dijernihkan.
Setelah mayat Sundari ditemukan di dekat Gandhakuti Sang Buddha, Raja Pasenadi tidak mau menerima begitu saja tuduhan atas diri Sang Buddha. Raja lalu mengirim banyak petugas ke seluruh penjuru untuk menyelidiki dengan cermat, siapa sesungguhnya yang menjadi pembunuh Sundari. Di suatu kedai arak, seorang penyelidik mendengar beberapa orang yang terlalu banyak minum arak sedang bertengkar tentang pembagian upah membunuh Sundari. Mereka segera ditangkap dan dibawa menghadap Raja Pasenadi. Di depan Raja, mereka mengakui perbuatan mereka membunuh Sundari atas suruhan para pertapa paribbajika. Raja kemudian memerintahkan petugas menangkap para pertapa paribbajika. Setelah diperiksa, akhirnya para pertapa ini mengakui semua perbuatan mereka dan menarik kembali tuduhan palsu yang pernah mereka lontarkan terhadap diri Sang Buddha. Kemudian mereka dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Ketika Sang Buddha kemudian ditanya mengenai peristiwa tersebut, Beliau menceritakan kisah di bawah ini: “Ketika itu Sang Bodhisatta bemama Munali dan terkenal sebagai orang yang senang berfoya-foya. Pada suatu hari ia melihat Surabhi (seorang Pacceka Buddha) sedang memakai jubahnya di sebelah luar tembok kota, sedangkan di dekatnya berjalan seorang wanita. Secara senda gurau, Munali mengeluarkan kata-kata, ‘Lihat, pertapa ini bukanlah orang yang hidup membujang, tetapi ia sebenarnya adalah seorang cabul.’ Akibat dari ucapan yang salah inilah yang membuat Sang Buddha dalam kehidupan ini mendapat fitnahan dari Sundari.”
Tahun ke-8. Tahun ini Beliau berada di wilayah kaum Bhagga. Ketika diam di Bhesakalavana dekat Gunung Sumsumara, Sang Buddha bertemu dengan Nakulapita dan istrinya, yang di kehidupan lampau pernah menjadi ayah dan ibu-Nya sampai lima ratus kali.
Tahun ke-9. Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Kosambi.
Tahun ke-10. Di tahun ini terjadi perselisihan diantara para bhikkhu di Kosambi. Karenanya Sang Buddha ber-vassa di hutan Parileyyaka. Di hutan, Sang Buddha dijaga dan dilayani oleh seekor gajah yang baik hati. Sehabis vassa, Sang Buddha pergi ke Savatthi. Ketika itu para bhikkhu di Kosambi datang mengunjungi Sang Buddha untuk minta maaf. Mereka semua dimaafkan dan dengan demikian perselisihan itu didamaikan.
Tahun ke-11. Tahun ini Sang Buddha diam di Desa Ekanala dan mentahbiskan Kasi-bharadvaja. Sebagaimana cerita berikut: Sang Buddha mengunjungi Bharadvaja pada upacara menanam padi dan berdiri di dekat tempat pembagian makanan para petani yang ikut menanam padi. Melihat Sang Buddha, Bharadvaja menegur Sang Buddha untuk ikut membajak dan menanam padi, sebagaimana ia sendiri juga turut bekerja agar dapat makan hasilnya. Percakapan yang menarik itu dapat kita ikuti seperti berikut ini (S.1-171): “Pertapa, aku membajak dan menanam bibit. Setelah bekerja, aku makan. Apakah Anda juga membajak dan menanam bibit dan setelah membajak dan menanam bibit lalu makan?” “Betul, Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit, Aku makan.” “Tetapi kami tidak pernah melihat regu Guru Gotama, bajaknya, pengunjam bajak, cambuk atau sapinya. Meskipun demikian Guru Gotama masih berani mengatakan bahwa, ‘Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit Aku makan’.”
Sang Buddha menjawab, “Keyakinan adalah bibit-Ku dan hujan adalah tata tertib-Ku. Pandangan terang adalah bajak-Ku disertai kayu lengkung yang sesuai. Tahu malu (hiri) adalah tiang bajak-Ku dan pikiran adalah talinya. Pemusatan pikiran adalah pengunjam bajak-Ku dan cambuk-Ku. Waspada dalam perbuatan, waspada dalam ucapan. Dan sederhana dalam makan dan minum. Aku mencabut rumput dengan Kesunyataan dan menyelesaikan tugas, Adalah apa yang Aku selalu dambakan. Kemauan keras adalah regu penopang beban-Ku, Yang menarik bajak-Ku menuju pelabuhan yang aman, Selalu maju dan tak pernah mundur. Dan di tempat yang dilalui tak akan ada lagi yang menangis.
Itulah cara-Ku membajak. Buah yang akan dipetik adalah makanan abadi. Siapa saja yang melaksanakan cara membajak seperti ini, Akan terbebas dari penderitaan dan kesedihan.” Bharadvaja merasa gembira sekali dan segera menghaturkan sebuah mangkuk besar berisi nasi campur susu. Tetapi Sang Buddha menolak pemberian tersebut dengan mengatakan bahwa seorang Buddha tidak pernah menerima imbalan untuk berkhotbah. Atas saran Sang Buddha, Bharadvaja membuang makanan tersebut ke sungai karena tidak ada orang yang dapat nencernakan makanan yang pernah dipersembahkan kepada Sang Buddha. Ketika makanan itu menyentuh air sungai, terdengar suara gemercak dan api serta asap terlihat di atas air. Bharadvaja menjadi kagum sekali dan sambil berlutut di kaki Sang Buddha menyatakan dirinya sebagai pengikut Sang Buddha untuk seumur hidup. Tidak lama kemudian, ia menjadi bhikkhu dan berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.
Tahun ke-12 Ber-vassa di Veranja atas permohonan seorang Brahmana bernama Veranja. Ketika itu berjangkit kekurangan makanan di tempat tersebut, sehingga Sang Buddha dan rombongan-Nya harus makan makanan yang disediakan oleh lima ratus orang pedagang kuda. Moggallana menawarkan diri untuk menyediakan makanan yang layak dengan menggunakan kekuatan gaib, tetapi ditolak oleh Sang Buddha.
Tahun ke-13 Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata dan dilayani oleh seorang bhikkhu bernama Meghiya. Melihat sebidang kebun mangga di dekat sungai, Meghiya merasa tertarik sekali dan mohon izin dari Sang Buddha untuk bermeditasi di tempat tersebut. Sang Buddha minta ia menunggu kedatangan seorang bhikkhu lain, tetapi karena terus didesak akhirnya Sang Buddha memberi izin juga. Meghiya pergi bermeditasi sendiri di kebun mangga, tetapi tidak lama kemudian ia dihinggapi oleh pikiran penuh hawa nafsu, kemauan tidak baik dan jahat, sehingga dengan sangat kecewa ia kembali menemui Sang Buddha.
Ketika itu Sang Buddha memberi ia nasehat seperti berikut: Meghiya, untuk membebaskan pikiran yang belum matang diperlukan lima hal yang berguna sekali untuk membuat ia matang:
1. Seorang sahabat baik (kalyana mitta).
2. Tingkah laku yang baik dibimbing oleh sila-sila yang penting sebagai latihan.
3. Nasehat yang baik yang menuju kepada pengekangan hawa nafsu, ketenangan, pembebasan, Penerangan Agung, dan Nibbana.
4. Daya upaya untuk menyingkirkan pikiran yang tidak baik dan memperoleh pikiran yang baik.
5. Memperoleh pandangan terang tentang timbul dan lenyapnya kembali benda-benda.
Tahun ke-14. Sang Buddha ber-vassa di Jetavanarama, Savatthi. Di tempat ini Rahula memperoleh upasampada dan menjadi bhikkhu. Menurut Vinaya, seseorang hanya diperkenankan menjadi bhikkhu apabila telah mencapai usia dua puluh tahun dan Rahula pada waktu itu telah mencapai usia tersebut.
Tahun ke-15. Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu dan tahun itu bekas mertuanya, Suppabuddha meninggal dunia. Dalam keadaan mabuk, Suppabuddha tidak mengizinkan Sang Buddha berjalan di jalanan Kapilavatthu, sebab ia masih mempunyai perasaan dendam bahwa Sang Buddha telah menyia-nyiakan kehidupan anaknya, Yasodhara.
Tahun ke-16. Kejadian penting selama Sang Buddha diam di Alavi di tahun ini adalah penaklukan dari yakkha Alavaka yang menteror kota Alavi.
Kisahnya adalah sebagai berikut (SN.I-10):
Ketika itu yakkha Alavaka menghampiri Sang Buddha dan membentak, “Pergilah, oh Pertapa!” Sang Buddha berjalan pergi dan berkata, “Baiklah, sahabat.” Yakkha Alavaka kembali membentak, “Masuklah, oh Pertapa.” Sang Buddha lalu masuk dan menjawab, “Baiklah, sahabat.”
Untuk kedua kalinya yakkha Alavaka berkata, “Pergilah, oh Pertapa!” Sang Buddha berjaJan pergi dan berkata, “Baiklah, sahabat.” “Masuklah, oh Pertapa!” Sang Buddha masuk sambil menjawab, “Baiklah, sahabat.” Untuk ketiga kalinya yakkha Alavaka berkata, “Pergilah, oh Pertapa!” Sang Buddha berjalan pergi sambil berkata, “Baiklah, sahabat.” “Masuklah, oh Pertapa!” Sang Buddha masuk kembali sambil berkata, “Baiklah, sahabat.” “ Untuk keempat kalinya yakkha Alavaka berkata, “Pergilah, oh Pertapa!” Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan pergi, engkau boleh berbuat apa yang engkau kehendaki.” “Akan kuajukan sebuah pertanyaan, Pertapa.
Apabila Anda tidak dapat menjawab pertanyaanku, akan kukacaukan pikiranmu atau kucabut jantungmu atau akan kupegang kakimu dan kulemparkan ke seberang sungai.” “Sahabat, Aku tidak melihat suatu makhluk pun di dunia ini, termasuk para Mara, para Brahma atau di dunia ini dari para pertapa, para Brahmana, dan para dewa, dan para manusia yang sanggup mengacaukan pikiran-Ku atau mencabut jantung-Ku atau memegang kaki-Ku dan melempar Aku ke seberang sungai. Tetapi sahabat, engkau dapat mengajukan pertanyaan apa saja yang engkau kehendaki.
Yakkha tersebut kemudian bertanya, “Apakah harta termulia bagi seorang manusia dalam dunia ini? Perbuatan manakah yang membawa kebahagiaan? Apakah yang paling manis dari semua rasa? Cara hidup bagaimanakah yang disebut termulia?”
Sang Buddha menjawab, “KEYAKINAN merupakan harta termulia bagi manusia dalam dunia ini. DHAMMA, jika ditaati dengan sungguh-sungguh akan membawa kebahagiaan. KESUNYATAAN adalah yang paling manis dari semua rasa Hidup dengan diberkahi KEBIJAKSANAAN disebut hidup yang termulia.” Yakkha bertanya lagi, “Bagaimanakah orang menyeberangi arus (penjelmaan)? Bagaimanakah orang menyeberangi lautan (tumimbal lahir)? Bagaimanakah orang mengatasi derita? Bagaimanakah orang menyucikan diri ?”
Sang Buddha menjawab, “Orang menyeberangi arus dengan Keyakinan. Orang menyeberangi lautan dengan Kewaspadaan. Orang mengatasi derita dengan Keuletan. Orang menyucikan dirinya dengan Kebijaksanaan. ” Yakkha bertanya lagi, “Bagaimanakah orang mencapai Kebijaksanaan? Bagaimanakah orang memperoleh Kekayaan? Bagaimanakah orang memperoleh Kemasyhuran? Bagaimanakah orang mengikat sahabat-sahabat? Setelah meninggalkan alam sini, tiba di alam sana (setelah mati), bagaimanakah orang tidak usah menyesal?”
Sang Buddha menjawab, “Memiliki keyakinan kepada para Arahat dan Dhamma untuk mencapai Nibbana, Dan dengan pengendalian diri orang yang rajin, tekun, dan penuh perhatian memperoleh Kebijaksanaan. Barang siapa berbuat apa yang benar, Barang siapa bertekad teguh, sadar, la memperoleh Kekayaan. Kemasyhuran diperoleh dengan mencintai hal-hal yang benar (sacca). Barang siapa suka memberi akan mengikat Sahabat-sahabat. Orang berkeluarga yang memiliki sifat-sifat: mencintai hal-hal yang benar, pengendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan, tidak akan menyesal setelah mati.
Ayolah! Tanyakan kepada para pertapa lain dan para Brahmana, Apakah ada watak lain yang lebih agung dari mencintai hal-hal yang benar, pengendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan ?” Yakkha menjawab, “Mengapa aku harus bertanya kepada para pertapa dan Brahmana lain? Hari ini aku merasa beruntung dapat mengetahui sesuatu untuk kebaikan diriku di kemudian hari.
Dengan sesungguhnya aku mengatakan bahwa Sang Buddha datang ke Alavi untuk keuntunganku. Hari ini dapat kuketahui pemberian kepada siapa yang dapat membawa pahala terbesar. Mulai hari ini aku akan berkelana dari desa ke desa, dari kota ke kota untuk menghormat kepada Yang Maha Suci Buddha dan kepada Dhamma Yang Maha Sempurna.”
Tahun ke-17. Tahun ini Sang Buddha berada di Savatthi, tetapi mengunjungi Alavi lagi karena merasa kasihan kepada seorang petani miskin, yang kemudian menjadi seorang Sotapanna setelah mendengar khotbah Sang Buddha. Juga di tahun ini seorang pelacur terkenal bernama Sirima, kakak dari tabib Jivaka, meninggal dunia. Sang Buddha menghadiri pemakaman Sirima. Ketika itu Sang Buddha minta kepada Raja untuk mengumumkan siapa diantara yang hadir ingin membeli mayat dari Sirima, sebab ketika hidupnya banyak laki-laki yang tertarik dan mengagumi Sirima. Ternyata tidak seorang pun yang mau membelinya, bahkan diberi dengan cuma-cuma juga mereka tidak sudi. Pada kesempatan itulah Sang Buddha memberikan penerangan kepada khalayak ramai dengan mengucapkan syair seperti berikut:
“Lihatlah lukisan ini yang berupa khayalan, Badan yang penuh dengan luka, dirangkai menjadi satu, Tempat tumpukan penyakit, tempat timbunan pikiran, Dimana tak terdapat kekekalan dan kelanggengan.” (Dhammapada, 147) Sang Buddha kemudian ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha.
Tahun ke-18 Di tahun ini Sang Buddha kembali mengunjungi Alavi untuk kepentingan anak perempuan seorang penenun. Tiga tahun yang lampau gadis ini mendengar khotbah Sang Buddha tentang pentingnya bermeditasi terhadap kematian. Dalam pertemuan tersebut, Sang Buddha mengajukan pertanyaan kepada gadis tersebut dan semua pertanyaan dapat dijawabnya dengan baik. Jawabannya mengandung arti filsafat tinggi, sehingga para hadirin yang lain, yang tidak memperhatikan khotbah Sang Buddha dengan baik, tidak dapat mengerti jawaban gadis tersebut.
Waktu itu Sang Buddha memujinya dengan mengucapkan syair seperti berikut: “Dunia ini diselubungi kegelapan, Hanya sedikit saja yang dapat melihatnya dengan terang, Seperti juga burung yang ingin melepaskan diri dari jaring, Hanya sedikit saja yang pergi ke alam bahagia.” (Dhammapada, 174)
Ketika Sang Buddha mendengar bahwa gadis itu sakit keras. maka dengan melakukan perjalanan sejauh tiga puluh “league” (1 league = 4.800 atau 5.564 m), Sang Buddha berkunjung ke rumahnya dan masih sempat memberikan uraian Dhamma, sehingga waktu meninggal dunia, gadis itu mencapai Sotapatti phala. Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata.
Tahun ke-19. Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata.
Tahun ke-20. Di tahun ini Ananda ditunjuk sebagai pembantu tetap Sang Buddha dan selama dua puluh lima tahun Ananda menjadi pembantu tetap, yaitu sampai saat Sang Buddha mangkat di Kusinara. Di tahun ini pula Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Angulimala. Kisahnya adalah sebagai berikut: Angulimala adalah anak seorang penasehat raja negara Kosala. Ayahnya bernama Bhaggaya dan ibunya Mantani. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Hari ia dilahirkan, semua senjata di seluruh negeri, termasuk yang ada di istana, mengeluarkan cahaya gemerlapan. Raja menjadi takut sekali dan keesokan harinya memanggil penasehatnya untuk ditanyakan tentang sebab mengapa semua senjata mengeluarkan cahaya.
Bhaggaya menjawab, “Istriku baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, Baginda.” Raja Kosala bertanya, “Tetapi, mengapa senjata-senjata itu ialu mengeluarkan cahaya gemerlapan?” “Baginda, anakku itu kelak akan menjadi seorang penyamun, seorang penyamun yang luar biasa.” Kembali Raja bertanya, “Apakah ia akan merampok seorang diri atau dengan berkawan?” Bhaggava menjawab, “Ia akan bekerja seorang diri, Baginda.” Raja kemudian berkata, “Kalau begitu, kenapa kita tidak sekarang saja membunuhnya?” Bhaggava menjawab, “Karena ia akan bekerja seorang diri, maka kita dengan mudah dapat menangkapnya.” Ketika Ahimsaka mencapai umur untuk bersekolah, maka ayahnya mengirim Ahimsaka ke sebuah sekolah di Takkasila. Ahimsaka merupakan murid yang terkuat, terpintar dan juga yang terpatuh dari semua murid di sekolah tersebut.
Karena itu anak-anak yang lain merasa iri hati kepada Ahimsaka. Mereka sedikit demi sedikit menghasut guru mereka, sehingga akhirnya guru tersebut juga membenci Ahimsaka. Setelah selesai belajar di sekolah tersebut, gurunya memanggil Ahimsaka dan berkata, “Sekarang engkau sudah tamat belajar di sekolah ini, tetapi sebelum engkau pulang, terlebih dulu engkau harus membayar uang sekolah kepadaku.” “Berapakah yang harus kubayar, Guru?” “Engkau tidak usah membayar dengan uang. Cukup, jika engkau memberiku seribu buah jari tangan kanan manusia.” jawab gurunya.
Meskipun hal ini sangat sulit sekali, namun sebagai murid yang sangat patuh, Ahimsaka berjanji kepada gurunya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh gurunya. Sebelum pergi. gurunya kembali berpesan, “Ingat, jangan membawa dua buah jari tangan dari orang yang sama.” Sampai hari itu Ahimsaka belum pernah menyakiti orang lain dan karena itu ia tidak tahu bagaimana harus memotong jari orang. Karena ingin mematuhi perintah gurunya, maka Ahimsaka membawa pedangnya dan pergi ke hutan Jalini di negara Kosala. Di hutan itu ia mencegat para pelancong yang lewat, membunuhnya dan mengambil jari tangan kanannya. Sesudah itu ia membuat kalung dari jari-jari tersebut dan menggantung kalung itu di lehernya.
Karena kalung dari jari-jari tersebut, ia kemudian mendapat nama baru sebagai Angulimala (Anguli = jari, mala = kalung). Sekarang Angulimala menjadi seorang pembunuh kejam yang ditakuti. Kalau ingin melewati hutan Jalini, para pedagang atau pelancong jalan berkelompok, berdua, berempat, bersepuluh. berdua puluh, dan bertiga puluh. Tetapi, begitu mereka mendengar. “ Aku Angulimala, jangan lari!” Mereka menggigil dan gemetaran. dan tidak dapat melarikan diri lagi. Dengan mudah Angulimala membunuh orang-orang tersebut dan memotong jari tangan kanannya. Karena itu tidak ada lagi orang yang berani lewat hutan tersebut. Angulimala kemudian memindahkan tempat kerjanya dan di tempat yang baru ia kembali mencegat dan membunuh orang yang lewat.
Karena itu, Raja Kosala mempersiapkan tentara yang besar untuk menangkap Angulimala. Ibunya, Mantani, mendengar tentang persiapan yang dilakukan Raja Kosala. Ia berkata kepada suaminya, “Anak kita yang tercinta sekarang telah menjadi seorang pembunuh. Sekarang Raja sedang membuat persiapan untuk menangkap dan membunuhnya. Apakah kamu tidak dapat pergi menemui anak kita dan membujuknya supaya berhenti membunuh?” “Istriku tercinta, anak itu sekarang sudah terlalu ganas. Ia mungkin sudah berubah seluruhnya dan kalau aku pergi menemuinya, mungkin aku pun akan dibunuhnya. Aku tidak mau mati percuma.” Tetapi ibunya adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya dan mempunyai hati yang baik. Apalagi ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri. Ia pikir, “Aku harus pergi seorang diri ke hutan untuk menyelamatkan anakku.” Kemudian ia berjalan pergi ke hutan dengan membawa bekal makanan seperlunya.
Ketika itu Angulimala sudah membunuh 999 orang. Berbulan-bulan lamanya ia berada di hutan tanpa memperoleh cukup makan, tidur, mandi, dan pakaian yang bersih. Badannya sudah berbau busuk. Ia benci sekali dengan hidup seperti itu. Tetapi bagaimanapun juga, ia masih harus membunuh seorang lagi untuk memenuhi permintaan gurunya berupa seribu buah jari tangan kanan manusia. Ia berpikir, “Sekarang, meskipun ibuku sendiri yang datang, aku akan membunuhnya, memotong jari tangannya untuk mencukupi jmlah seribu yang diminta guruku.”
Pagi hari itu, sebagaimana biasa, Sang Buddha melihat ke seluruh penjuru dunia untuk mencari orang yang mungkin dapat ditolong-Nya dalam bidang kerohanian. Ketika itu Sang Buddha melihat Angulimala, yang meskipun sudah jemu dengan perbuatan membunuh dan ingin kembali menjadi orang yang baik, masih kekurangan satu orang lagi yang akan dijadikan korban. Dan korban yang terakhir ini justru adalah ibunya sendiri.
Karena merasa kasihan, Sang Buddha lalu bertekad untuk menolong Angulimala, ibunya dan juga khalayak ramai. Karena itu, dengan membawa mangkuk-Nya Sang Buddha berjalan menuju ke hutan tempat Angulimala bersembunyi menunggu mangsanya yang terakhir. Penduduk desa yang melihat Sang Buddha berjalan menuju hutan, berusaha mencegah-Nya dengan mengatakan, “Bhikkhu, sebaiknya Anda jangan pergi ke hutan itu. Di sana bersembunyi seorang penyamun yang bernama Angulimala. Ia telah membunuh ratusan orang. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan jahat. Ia juga pasti akan membunuh Anda. Banyak orang yang sudah meninggalkan rumah dan desanya, sedangkan kami sendiri hari ini juga akan meninggalkan tempat ini, sebab siapa tahu mungkin saja hari ini ia akan datang ke tempat ini. Karena itu, sebaiknya Anda jangan berjalan terus. Kembalilah sekarang juga ke tempat darimana Anda datang.” Mereka menasehati Sang Buddha sampai tiga kali. Tetapi Sang Buddha hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan-Nya memasuki hutan.
Ketika itu ibu Angulimala sudah terlebih dulu memasuki hutan. Angulimala melihat ibunya datang dan berpikir, “Alangkah kasihannya wanita ini. Ia datang seorang diri. Aku memang kasihan kepadanya, tetapi apa yang dapat aku lakukan? Aku harus memegang janjiku dan membunuhnya.”
Ia mengangkat pedangnya dan berlari mendekati ibunya. Tiba-tiba Sang Buddha berdiri diantara Angulimala dan ibunya. Angulimala berpikir, “Baik juga pertapa ini berdiri di depan ibuku. Dengan demikian aku tidak usah membunuh ibuku. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi membunuh pertapa ini dan memotong jari tangannya. “
Ia berlari mendekati Sang Buddha. Meskipun badannya penuh dengan keringat ia tetap tak dapat menyentuh badan Sang Buddha yang sedang berjalan dengan tenang. Angulimala kemudian menjadi letih, sehingga semua sendi-sendinya merasa sakit dan tidak kuat lagi untuk mengejarnya. Ia berpikir, “Tidak pernah aku seletih ini, meskipun dulu aku berlari-lari menangkap gajah, kuda, kereta perang, rusa atau binatang lainnya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan. Aneh sekali aku tak dapat mengejar pertapa ini.”
Kemudian ia berteriak, “Hai berhenti, berhenti Bhikkhu!” Sang Buddha menjawab, “Aku berhenti, Angulimala! Tetapi, apakah engkau sendiri berhenti?” Angulimala tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha dan berpikir, “Seorang bhikkhu tidak boleh bohong. Bhikkhu ini, meskipun berjalan lebih cepat dari aku, mengatakan bahwa ia berhenti. Aku sekarang memang sangat letih. Tentu ada maksud tertentu dalam ucapan tersebut.” Kemudian ia bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana Anda mengatakan berhenti, padahal Anda berlari lebih cepat dari aku?” Sang Buddha mengucapkan syair seperti di bawah ini:
“Sebagaimana biasa, Angulimala, Aku berhenti,
Tetapi kamu tidak mempunyai belas kasih terhadap makhluk hidup,
Karena itu Aku berhenti dan kamu tidak berhenti.”
Angulimala rupanya sangat terkesan dengan syair yang diucapkan Sang Buddha. la membuang pedangnya dan berlutut di hadapan Sang Buddha. Sang Buddha memberi berkah dan kemudian mengajaknya pergi ke vihara. Di vihara ia ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ibu Angulimala yang menyaksikan seluruh peristiwa ini dari dekat, merasa kagum sekali kepada Sang Buddha, yang dalam waktu demikian singkat dapat menaklukkan Angulimala dan mengubahnya menjadi orang baik.
Raja Kosala, sebelum memasuki hutan untuk menangkap Angulimala, terlebih dulu datang mengunjungi Sang Buddha untuk mohon restu Beliau. Ia datang berkunjung dengan membawa lima ratus orang prajurit berkuda. Sang Buddha bertanya, “Oh, Baginda Yang Agung, apakah Baginda mendapat kesukaran? Apakah Raja Bimbisara menyatakan perang kepada Anda atau Pangeran dari Licchavi atau mungkin dari kerajaan lain?” “Bukan, Yang Mulia. Ada seorang penyamun yang ganas sekali di kerajaanku. Namanya Angulimala. Aku hendak pergi menangkapnya.”jawab Raja Kosala.
Sang Buddha lalu berkata, “Oh, Baginda Yang Agung. Umpamanya Baginda melihat Angulimala sekarang sudah bercukur gundul, memakai jubah kuning, meninggalkan kehidupan sebagai seorang penyamun dan berhenti membunuh, apakah yang Baginda akan lakukan?” Raja Kosala menjawab, “Kalau demikian halnya, aku akan berlutut di hadapannya.” Kemudian Sang Buddha memanggil Angulimala untuk keluar. Ketika Angulimala memasuki ruangan, semua prajurit Raja melarikan diri. Tetapi dicegah oleh Sang Buddha. Setelah itu Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma. Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, Angulimala diserang oleh orang-orang yang sedang berkelahi. Sang Buddha kemudian memberitahukan Angulimala agar jangan mempunyai rasa dendam dan harus menganggap kejadian ini sebagai hukuman atas kejahatan yang pernah ia lakukan. Setelah berlatih dengan tekun, Angulimala kemudian mencapai tingkat Arahat.
Dikisahkan sewaktu Angulimala sudah mencapai tingkat Arahat, ia mendengar seorang wanita sedang merintih-rintih kesakitan waktu hendak bersalin. Hal ini menggugah hatinya, sehingga ia berkeinginan menolong wanita tersebut. Sewaktu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha dan menanyakan cara untuk menolong penderitaan wanita tersebut, Sang Buddha memberinya petunjuk untuk memberi wanita itu air, setelah dibacakan kalimat-kalimat ini: “Yatoham bhagini ariyaya, Jatiya jato, Nabhijanami sancicca, Panam jivita voropeta, Tena saccena sotthi te, Hotu sotthi gabbhassa.“ Yang berarti: “Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya, Aku tidak ingat dengan sengaja Membunuh suatu makhluk hidup, Dengan pernyataan yang benar ini, semoga Anda, Dan bayi dalam kandungan selamat.“ Dan benar saja, setelah diberi air tersebut, wanita itu segera bersalin dengan selamat. Sampai hari ini kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai Angulimala-sutta dan dipakai untuk membuat air guna memudahkan persalinan.
Penaklukan Angulimala sering kali dicatat sebagai satu dari sekian banyak perbuatan Sang Buddha yang menolong manusia karena rasa belas kasih yang sangat besar terhadap umat manusia. Kisah ini pun dapat dipakai sebagai contoh untuk membuktikan bahwa kamma (perbuatan) baik yang orang lakukan dapat memusnahkan kamma buruk yang pernah ia lakukan. Demikianlah kisah mengenai Angulimala. Tahun itu Sang Buddha ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha.
Tahun ke-21 sampai dengan tahun ke-44 Selama tahun-tahun tersebut di atas, tidak dapat dipastikan secara berurutan, tempat-tempat mana yang telah dikunjungi oleh Sang Buddha dan dimana Sang Buddha ber-vassa. Tetapi dapat diketahui bahwa delapan belas vassa dijalankan di Jetavanarama dan lima vassa di Pubbarama, Savatthi, sedangkan vassa ke-44 dijalankan di Beluva, sebuah desa kecil yang mungkin terletak di dekat Vesali.
Satu hal pasti yang dapat ditemukan dalam sutta-sutta ialah tentang mangkatnya Raja Bimbisara, delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. Ketika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil alih pimpinan Sangha dari Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut: Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.
Devadatta ditahbiskan menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Ananda, Bhagu, Kimbila, Bhaddiya, Anuruddha dan Upali di Anupiya, sewaktu Sang Buddha dalam perjalanan dari Kapilavatthu menuju ke Rajagaha, pada tahun ketiga setelah memperoleh Penerangan Agung. Pada vassa berikutnya, Devadatta berhasil memperoleh Puthujjanika-iddhi, yaitu kekuatan gaib tertinggi yang dapat dicapai oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian. Untuk beberapa waktu lamanya, Devadatta mendapat tempat terhormat dalam Sangha, bahkan Sang Buddha sendiri pernah memujinya sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib yang tinggi. Tetapi di kemudian hari, Devadatta mempunyai maksud yang tidak baik terhadap Sang Buddha karena ia merasa iri atas kemasyhuran Sang Buddha.
Pertama ia mencoba untuk mempengaruhi Pangeran Ajatasattu. Ia bersalin rupa menjadi anak kecil dengan memakai kalung dari beberapa ekor ular. Tiba-tiba ia jatuh di atas pangkuan Ajatasattu, sehingga membuat Ajatasattu ketakutan. Kemudian anak kecil itu lenyap dan Devadatta berdiri di depan Ajatasattu. Peristiwa tersebut memberi kesan yang dalam sekali di hati Ajatasattu, sehingga Beliau sangat menghormat pada Devadatta.
Tiap pagi dan petang hari, Ajatasattu mengunjungi Devadatta dengan diiringi lima ratus kereta, di samping memberikan lima ratus piring makanan setiap hari. Kejadian ini menggembirakan sekali hati Devadatta, sehingga timbul niat jahatnya untuk mengambil alih kedudukan Sang Buddha sebagai Ketua Sangha.
Seorang murid Moggallana, yang bertumimbal lahir sebagai Manomayakayikadeva, mengetahui niat jahat Devadatta tersebut dan memberitahukan kepada Moggallana. Moggallana menceritakan hal tersebut kepada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa persoalan itu tidak perlu dibicarakan sekarang, karena kelak sebelum waktunya, Devadatta akan membocorkannya sendiri.
Tidak lama kemudian, di hadapan pertemuan para bhikkhu. Devadatta mohon kepada Sang Buddha agar Sang Buddha menunjuknya sebagai Ketua Sangha, berhubung Sang Buddha sekarang sudah lanjut usianya. Atas permohonan itu Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan mengalihkan Pimpinan Sangha kepada Sariputta atau Moggallana, maka mustahil Aku akan mengalihkannya kepada engkau, seorang yang hina-dina.” Devadatta merasa tersinggung sekali dikatakan sebagai orang yang hina-dina.
Pada waktu itulah Ajatasattu dihasut oleh Devadatta untuk membunuh ayahnya, sedangkan ia sendiri akan membunuh Sang Buddha. Ajatasattu menyetujui dan memerintahkan beberapa orang pemanah istana untuk membantu Devadatta membunuh Sang Buddha. Para pemanah istana tersebut ditempatkan di berbagai tempat dan diatur sedemikan rupa, sehingga akhirnya tidak ada seorang pun yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tetapi, saat Sang Buddha mendekati pemanah pertama yang harus membunuhnya, pemanah tersebut demikian terpesona dengan keagungan Sang Buddha, sehingga seluruh badannya menjadi kaku. Sang Buddha menegurnya dengan kata-kata yang ramah-tamah, sehingga pemanah tersebut membuang panahnya dan mengaku kepada Sang Buddha, apa yang sebenarnya menjadi tugasnya.
Sang Buddha memberikan uraian Dhamma kepada orang tersebut dan kemudian menyuruhnya pulang dengan mengambil jalan tertentu. Kawan-kawannya yang letih menunggu, kemudian satu persatu meninggalkan tempat penjagaannya.
Mereka semua datang ke tempat Sang Buddha, karena tertarik oleh kekuatan gaib dari Sang Buddha. Sewaktu mereka sudah berkumpul, Sang Buddha lalu memberikan uraian Dhamma kepada para pemanah tersebut. Pemanah yang pertama pergi melapor kepada Devadatta dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup membunuh Sang Buddha, karena Sang Buddha mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa tingginya.
Devadatta lalu mengambil keputusan untuk membunuh sendiri Sang Buddha. Suatu hari, sewaktu Sang Buddha sedang berjalan di lereng Gunung Gijjhakuta, ia mendorong sebuah batu besar yang dimaksudkan untuk menimpa mati Sang Buddha. Tiba-tiba dua tonggak besar muncul dari dalam tanah untuk menahan jatuhnya batu tersebut. Meskipun demikian, pecahan batu tersebut masih dapat melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian diusung ke Ambavana, yaitu tempat tabib Jivaka untuk mendapat pengobatan seperlunya. Setelah kejadian ini, siang dan malam para murid-Nya menjaga tempat tinggal Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa hal tersebut tidak perlu, berhubung tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu membunuh seorang Buddha.
Setelah usahanya kembali gagal, Devadatta lalu membujuk seorang pawang gajah untuk melepaskan seekor gajah (yang terlebih dulu dibuat mabuk dengan memberinya minuman arak) di jalan yang akan dilalui Sang Buddha. Gajah itu besar dan buas dan terkenal dengan nama Nalagiri.
Dengan cepat berita ini tersiar dan Sang Buddha pun diberi tahu. Namun Sang Buddha menolak untuk membatalkan perjalanan-Nya. Sewaktu gajah mabuk tersebut dilepas dan memburu ke arah Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya antara Sang Buddha dan gajah dengan maksud untuk melindungi dan menjadi tameng dari Guru Junjungannya, meskipun terlebih dulu telah dipesan dan diperingati dengan keras oleh Sang Buddha untuk tidak berbuat apa-apa. Hanya dengan menggunakan “iddhi”, yaitu dengan membuat bumi mengerut, Sang Buddha berhasil berada di depan Ananda dan dengan pancaran cinta kasih dapat menjinakkan kembali gajah tersebut. Setelah ketiga usahanya gagal semua, Devadatta kemudian berusaha untuk memecah belah Sangha. Ia minta kepada Sang Buddha untuk menyetujui bahwa semua bhikkhu harus mentaati peraturan seperti di bawah ini:
- Semua bhikkhu harus tinggal di hutan.
- Semua bhikkhu tidak boleh menerima undangan makan di rumah umat, tetapi mereka hanya boleh makan makanan yang diperoleh dengan jalan minta-minta.
- Semua bhikkhu harus memakai jubah dari kain bekas pembungkus mayat dan tidak boleh menerima persembahan jubah dari umat.
- Di hutan, semua bhikkhu harus tidur di bawah pohon dan tidak boleh tidur di dalam rumah.
- Semua bhikkhu dilarang keras makan daging dan ikan.
Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu yang ingin mengikuti peraturan tersebut boleh melakukannya, kecuali “tidur di bawah pohon” selama musim hujan. Tetapi Beliau menolak untuk membuat peraturan ini berlaku bagi semua bhikkhu. Penolakan ini membuat Devadatta gembira karena sekarang ia mempunyai alasan untuk menyebar luaskan berita bahwa Sang Buddha dan murid-murid-Nya masih terlalu terikat kepada kemewahan dan kehidupan yang serba cukup. Meskipun sudah diperingati oleh Sang Buddha tentang akibat yang menyedihkan untuk orang yang memecah belah Sangha, namun Devadatta memberitahukan Ananda bahwa ia akan mengadakan pertemuan uposatha tersendiri tanpa dihadiri oleh Sang Buddha. Devadatta berhasil membujuk lima ratus orang bhikkhu yang baru ditahbiskan untuk menyertainya pergi ke Gayasisa.
Diantaranya terdapat bhikkhuni Thullananda yang terus-menerus memuji Devadatta dan seorang dari suku Sakya bernama Dandapani. Sang Buddha kemudian memerintahkan Sariputta dan Moggallana pergi ke Gayasisa untuk bicara dengan para bhikkhu yang terkena bujukan. Ketika Sariputta dan Moggallana tiba di Gayasisa, mereka diterima dengan gembira oleh Devadatta, sebab Devadatta mengira bahwa Sariputta dan Moggallana berdua juga ingin bergabung dengannya.
Malam itu Devadatta berkhotbah sampai larut malam. Waktu merasa sudah letih sekali, Devadatta minta Sariputta untuk meneruskan khotbahnya, sedangkan ia sendiri pergi tidur. Sariputta berkhotbah di depan para bhikkhu dan menerangkan bahwa Devadatta sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sang Buddha. Pada akhir khotbahnya, lima ratus orang bhikkhu tersebut bersedia kembali kepada Sang Buddha dan meninggalkan Devadatta bersama-sama Sariputta dan Moggallana.
Pengikut Devadatta yang setia, Kokalika, membangunkan Devadatta dari tidurnya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar berita tersebut, Devadatta muntah darah dan kemudian sakit keras selama sembilan bulan. Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha. Ketika berita ini disampaikan kepada Sang Buddha, Beliau mengatakan bahwa hal itu tidaklah mungkin dalam kehidupan ini. Devadatta dibawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavanna, ia minta rombongannya berhenti sebentar karena ia ingin membersihkan badan terlebih dulu di sebuah telaga yang terdapat di pinggir jalan. Sewaktu turun dari usungan dan kakinya menyentuh tanah, tanah itu membuka dan ia terjerumus masuk ke dalam tanah. Ketika ia hampir hilang masuk ke dalam tanah, ia masih sempat menyatakan bahwa ia hanya mencari perlindungan kepada Sang Buddha. Ia masuk ke neraka Avici dan akan berada di alam tersebut selama seratus ribu kappa untuk kemudian lahir kembali ke dunia dan menjadi seorang Pacceka Buddha.
Tahun ke-45 Di tahun ini Sang Buddha Parinibbana di Kusinara pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak (Mei) sebelum waktu ber-vassa.
Hari-Hari Terakhir Sang Buddha Parinibbana
Ketika Sang Buddha mencapai usia ke-80, Beliau merasa bahwa usianya hampir berakhir. Merskipun Beliau menderita sakit dan akibat-akibat dari usia tua seperti orang-orang pada umumnya. Dengan kekuatan yang dikembangkan melalui latihan batin, Beliau mampu mengatasi berbagai rasa sakit ditubuhnya. Batin Beliau selalu bersinar laksana berlian yang bersinar, meskipun jasmaninya telah mulai melemah. Beliau memutuskan untuk Parinibbana di Kusinara, desa kecil di Utara India. Beliau berangkat dari Rajagaha, ibukota Magadha. Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, ditemani oleh Yang Mulia Ananda beserta siswanya, berjalan melewati banyak kota dan desa. Waktu ini, Yang Mulia Rahula dan Yang Mulia Yasodhara telah meninggal dunia, begitu juga dengan kedua orang murid utamanya, Yang Mulia Moggallana dan Yang Mulia Sariputta.
Selama perjalanan, pikiran-pikiran Sang Buddha tertuju pada kesejahteraan Persaudaraan pada Bhikkhu. Banyak dari khotbah Beliau yang berisikan nasihat-nasihat bagaimana para bhikkhu seharusnya berperilaku untuk memastikan bahwa Persaudaraan para Bhikkhu dapat berjalan terus setelah kemangkatannya. Beliau mengingatkan para Muridnya untuk mempraktekkan semua Dhamma yang telah Beliau ajarkan. Satu khotbah, mengingatkan para murid untuk melaksanakan ke-37 Faktor Pencerahan (Bodhipakkhiya-Damma); khotbah lainnya tentang empat cara untuk menilai apakah suatu ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha atau tidak, dengan membandingkan mereka dengan Vinaya dan Sutta-sutta. Ada satu khotbah yang Sang Buddha berikan berulang-ulang selama perjalanan terakhirnya ini. Itu adalah khotbah tentang pahala-pahala dari mengikuti 3 faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan; kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan, yang akan dapat menolong para siswa bebas dari semua penderitaan.
Setelah tiba di Pava, Sang Buddha dan para siswanya diundang oleh putra pandai emas desa itu yang bernama Cunda, untuk menerima makanan yang dinamakan Sukaramaddava, atau bagian daging babi jantan ialah hidangan enak yang khusus terbuat dari jamur-jamuran yang bernama Sukaramaddava, tetapi yang lainnya mengatakan bahwa itu adalah hidangan dari daging babi hutan jantan. Sang Buddha menyarankan agar Cunda menghidangkan Beliau hanya Sukaramaddava yang telah disiapkannya. Makanan lainnya yang telah Cunda persiapkan, dapat dihidangkan kepada para bhikkhu lainnya. Kemudian Sang Buddha mengatakan padanya, “Cunda, jika masih ada Sukaramaddava yang tersisa, kuburkan di dalam lubang. Tathagata tidak melihat ada seorang pun di dunia ini selain Tathagata yang mampu mencerna makanan ini”. “Oh, demikiankah, Bhante”, jawab Cunda, dan ia menguburkan sisa makanan tersebut di dalam tanah.
Ia lalau mendatangi Sang Buddha, dan setelah memberi hormat, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Buddha mengajarkannya Dhamma. Sang Buddha juga memuji Cunda atas hidangannya yang telah membuat Beliau segar dan kuat kembali setelah perjalanan jauh. Namun segera sesudah itu, Sang Buddha menderita sakit perut akibat serangan Disentri, yang mana sebelumnya telah diderita Beliau di desa Beluva, dan sakit yang amat sangat. Dengan kekuatannya Beliau dapat menahan rasa sakit tersebut. Meskipun kondisinya demikian, Sang Buddha tetap memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Kusinara, yang jauhnya kurang lebih 6 mil lagi. Setelah perjuangan melawan sakit, Beliau tiba di hutan pohon Sala, yang persis berada dipinggiran kota.
Sang Buddha mandi untuk terakhir kalinya di sungai Kuttha. Setelah istirahat sejenak, lalu Beliau berkata: “Sekarang mungkin akan terjadi bahwa sebagian orang akan membuat Cunda menjadi menyesal karena telah memberi Tathagata hidangan yang membuatnya sakit. Ananda, bila ini terjadi, engkau harus mengatakan kepada Cunda bahwa engkau telah mendengar langsung dari Sang Buddha bahwa itu adalah keberuntungan bagi dia. Katakan padanya bahwa ada dua macam persembahan kepada Sang Buddha yang mempunyai pahala yang sama, yaitu persembahan makanan saat menjelang mencapai penerangan sempurna dan persembahan makanan pada saat menjelang Kemangkatannya. Ini adalah kelahiran terakhir dari Sang Buddha”.
Kemudian Beliau berkata, “Ananda, tolong siapkan tempat pembaringan untuk Tathagata dengan kepala mengarah ke Utara, diantara dua pohon Sala besar. Tathagata lelah dan ingin berbaring”. Pada saat itu juga, kedua pohon Sala tersebut tiba-tiba dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran karena pengaruh dari para Dewa, meskipun saat itu bukan musimnya. Mereka menaburi Sang Buddha dengan bunga-bunga, sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada Beliau. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Ananda, kedua pohon Sala besar ini menaburi Tathagata degan bunga-bunganya seolah-oleh mereka memberi penghormatan kepada Tathagata. Tetapi ini bukanlah cara bagaimana Tathagata seharusnya dihormati dan dihargai. Melainkan, adalah bila para bhikkhu dan bhikkhuni, atau laki-laki dan perempuan umat awam, yang hidup sesuai dengan Ajaran Tathagata, itulah cara menghormati dan menghargai Tathagata”.
Sesaat sesudah itu, Ananda pergi ke dalam kutinya, berdiri dengan bersandar di pinggir pintu sambil menangis. Ia berpikir, “Saya masih memerlukan bimbingan dan pelajaran (sekha), seorang yang masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Namun, Sang Guru akan meninggalkan saya. Ia yang amat baik”. Sang Buddha mengetahuinya dan memanggil Ananda, berkata padanya, “Sudahlah Ananda! Janganlah bersedih dan menangis. Bukankah Tathagata telah berulang kali mengatakan kepadamu bahwa akan terjadi perpisahan dan meninggalkan semua yang disayangi dan dicintai? Bagaimana mungkin bahwa segala sesuatu yang telah dilahirkan, yang memiliki awal, dapat melawan kematian? Hal semacam itu tidaklah mungkin”. “Ananda, engkau telah melayani Tathagata dengan penuh cinta-kasih, selalu siap menolong, dengan senang hati, dan bersahabat, demikian pula dalam ucapan dan pikiranmu. Engkau telah membuat kebajikan, Ananda. Terusalah berusaha dan engkau akan segera terbebas dari semua kekotoran batin. Dalam waktu yang sangat singkat engkau akan menjadi Arahat”. “Sekarang engkau boleh pergi, Ananda. Tapi pergilah ke Kusinara dan katakan kepada semua orang bahwa malam ini, pada waktu jaga terakhir, Sang Buddha akan mangkat menuju Nibbana. datang dan temuilah Sang Buddha sebelum Beliau mangkat”. Maka, Ananda dengan ditemani seorang bhikkhu lainnya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Sang Buddha. Dan semua orang di Kusinara, laki-laki, perempuan, dan anak-anak datang ke tempat peristirahatan Sang Buddha untuk memberikan hormat sebagai uangkapan terima kasih kepada Sang Buddha. Keluarga demi keluarga, bernamaskara di dekat Sang Buddha sebagai penghormatan terakhir.