Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Sāmaññaphala Sutta

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di hutan-mangga Jīvaka Komārabhacca, bersama dengan dua ratus lima puluh bhikkhu. Pada saat itu Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha, naik ke teras atas istananya, sedang duduk di sana dikelilingi oleh para menteri, pada hari Uposatha tanggal lima belas, bulan purnama di bulan keempat, yang disebut Komudi. Dan Raja Ajātasattu, pada hari Uposatha itu, mengucapkan kata-kata berikut ini: ‘Sungguh indah, teman-teman, malam purnama ini! Sungguh menarik malam purnama ini! Sungguh menggembirakan malam purnama ini! Tidak dapatkah kita hari ini mengunjungi petapa atau Brahmana, mengunjungi siapa saja yang memberikan kedamaian di hati kita?.

Kemudian satu menteri berkata kepada Raja Ajātasattu

Selama itu Jīvaka Komārabaccha hanya duduk diam di dekat Raja Ajātasatttu. Raja berkata kepadanya: ‘Engkau, sahabat Jīvaka, mengapa engkau diam?’ ‘Baginda, ada Sang Bhagavā ini, Sang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna sedang berdiam di hutan mangga milikku disertai oleh dua ratus lima puluh bhikkhu. Dan sehubungan dngan Sang Bhagavā Gotama ini, berita baik telah beredar bahwa: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan dan Yang Suci.” Sudilah Baginda mengunjungi Sang Bhagavā. Beliau akan memberikan kedamaian di hati Baginda.’ ‘Kalau begitu, Jīvaka, siapkan gajah tunggangan.

Baik, Baginda’, Jīvaka berkata, dan ia menyiapkan lima ratus gajah betina, dan gajah jantan kerajaan untuk Sang Raja. Kemudian ia melaporkan: ‘Baginda, gajah –gajah tunggangan telah siap. Sekarang saatnya kita melakukan apa yang Baginda inginkan.’ Dan Raja Ajātasattu, setelah menempatkan istri-istrinya masing-masing di satu dari lima ratus gajah betina, ia menaiki gajah jantan kerajaan dan bergerak dalam barisan, disertai barisan pembawa obor, dari Rājagaha menuju hutan mangga Jīvaka.

Dan ketika Raja Ajātasattu mendekati hutan mangga ia merasa takut dan ngeri, dan bulu badannya berdiri. Dan [50] karena merasa takut dan bulu badannya berdiri, Raja berkata kepada Jīvaka: ‘Sahabat Jīvaka, apakah engkau menipu aku? Apakah engkau membohongi aku? Engkau tidak membawaku kepada musuh, kan? Bagaimanakah ini, dari dua ratus lima puluh bhikkhu, tidak ada suara bersin, batuk atau teriakan yang terdengar?’

‘Jangan takut, Baginda, aku tidak menipu engkau, tidak membohongi engkau atau membawamu kepada musuh. Mendekatlah, Baginda, mendekatlah. Ada pelita yang menyala di paviliun bundar.’

Maka Raja Ajātasattu, menunggang gajahnya sejauh yang dimungkinkan tanah di sana, kemudian turun dari gajah dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju pintu paviliun bundar. Kemudian ia berkata: ‘Jīvaka, di manakah Sang Bhagavā?’ ‘Itu adalah Sang Bhagavā, Baginda. Itu adalah Sang Bhagavā yang sedang duduk bersandar di tiang tengah dengan para bhikkhu di hadapanNya.’

Kemudian Raja Ajātasattu mendatangi Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi; dan sambil berdiri di sana di satu sisi Sang Raja memperhatikan bagaimana para bhikkhu tetap diam bagaikan sebuah danau jernih, dan ia berseru: ‘Seandainya Pangeran Udāyabhadda memiliki ketenangan demikian seperti para bhikkhu ini!’

‘Apakah pikiranmu terarah pada putra tercintamu, Baginda?’ ‘Bhagavā, Pangeran Udàyabhadda8 sangat kusayangi. Andai saja ia memiliki ketenangan yang sama seperti para bhikkhu ini!’

Kemudian Raja Ajātasattu, setelah bersujud kepada Sang Bhagavā dan memberi hormat kepada para bhikkhu dengan [51] merangkapkan kedua tangannya, duduk di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, aku akan menanyakan sesuatu, jika Bhagavā berkenan menjawabku.’ ‘Tanyalah, Baginda, apapun yang engkau inginkan.’