Sang Buddha tidak mengajarkan manusia untuk menyembah atau memujanya, tetapi justru mengajarkan apa yang ia ajarkan untuk dipelajari, dipahami, dan direnungkan, lalu dipraktikan agar mencapai apa yang sudah berhasil ia capai, yakni merealisasikan tataran ke BUDDHA, menjadi BUDDHA, merealisasikan Nibbana. Ajaran Buddha menyatakan bahwa setelah kebodohan atau kegelapan batin (moha), keserakahan (loba), dan kebencian (dosa) dilenyapkan, benih ke-Buddha-an atau bodhicitta yang ada dalam setiap makhluk akan tumbuh dan berkembang. Selamat tidaknya makhluk itu tergantung daripada dirinya sendiri. Tidak ada suatu makhluk di luar diri makhluk itu sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya. Setiap makhluk hidup pada dasarnya adalah Buddha yang belum terealisasikan:
Aku melihat bahwa semua makhluk Adalah seperti bayi-bayi dalam kesukaran Di dalam tubuh mereka adalah Tathagatagarbha, Tetapi mereka tidak menyadarinya. Maka Aku memberitahukan kepada para Bodhisatva, “Hati-hati, jangan sampai menganggap dirimu rendah dan hina, tubuh-tubuhmu adalah Tathagatagarbha; mereka selalu mengandung Cahaya Keselamatan Dunia.” (Tathagatagarbha-sutra)
Jalan Keselamatan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha tidak bersifat ekslusif untuk suatu suku-bangsa/ras/golongan tertentu saja, tapi untuk semua makhluk. Namun selamat tidaknya makhluk itu kembali pada dirinya sendiri. Karena sesuai benih yang ia tanam itulah yang akan dia petik nantinya. Sebagaimana dalam (Avatamsakasutra bab 10) dikatakan :
“Bagaikan awan hujan yang besar, menjatuhkan hujan ke seluruh penjuru bumi, curahan hujan tidak membedabedakan siapapun. Demikianlah kebenaran semua Buddha“ .
Maka kesimpulannya, keselamatan dan kebebasan sesuai apa yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah milik orang-orang yang mau berjuang dan berusaha membebaskan dirinya kebodohan atau kegelapan batin (moha), keserakahan (loba), dan kebencian (dosa). Pada kesehariannya ia selalu berbuat baik dan benar, lurus, tanpa noda, maka dia lah pemilik keselamatan itu.