Teringat kepada janjinya kepada Brahma Sahampati, hendak mengajarkan Dhamma kepada manusia, maka muncul pikiran pertama dari Buddha: “Kepada siapa pertama kali Aku harus mengajarkan Dhamma yang sangat sulit ini? Siapa kiranya yang dapat memahami Dhamma yang sangat sulit ini dengan cepat?” Buddha teringat kepada Alara Kalama yang pernah menjadi gurunya. Alara Kalama merupakan pertapa yang terpelajar, pandai, bijaksana, dan sudah lama hanya ada sedikit debu dimatanya. Buddha berpikir lagi: “Pertama kali Aku akan mengajar Dhamma kepada Alara Kalama saja karena dia akan dapat memahami Dhamma dengan cepat karena hanya memiliki sedikit debu di mata batinnya.”
Tidak lama berselang, Dewa menghampiri Beliau dan
berkata bahwa Alara Kalama sudah wafat seminggu lalu. Beliaupun dengan mata
Buddha membenarkan laporan Dewa itu. Terpikir lagi kepada Uddaka Ramaputra. Lagi-lagi
Dewa memberitahu bahwa Uddaka Ramaputra baru saja wafat kemarin malam. Akhirnya
Buddha teringat kepada lima orang pertapa yang pernah menemani Beliau bertapa
saat mencari penerangan sempurna. Dengan mata Buddha, Beliau melihat kelima
orang pertapa itu berdiam di Taman Rusa Isipatana dekat kota Benares. Untuk
beberapa waktu sebelum berangkat ke Benares, Buddha berdiam di Uruvela.
Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa
Isipatana dekat Benares. Dalam perjalanan sampai dekat Sungai Gaya, Buddha
bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Buddha yang
wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya: “Sangat jernih indriamu, teman!
Bersih dan cemerlang warna kulitmu. Untuk siapakah pelepasan telah kau lakukan,
teman! Siapakah gurumu teman? Ajaran siapakah yang kau tekuni?” Buddha menjawab
bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga
melalui syair berikut:
Dari apapun aku bebas, semua telah kutinggalkan.
Aku telah sempurna menghancurkan napsu keinginan (pencapaian tingkat Arahat).
Setelah memahami semuanya, siapakah yang patut kusebut guruku.
Aku tidak punya guru yang mengajarkan penerangan sempurna.
Di dunia tidak ada yang dapat mengalahkanku.
Aku adalah Arahat. Seorang guru yang tak terkalahkan.
Hanya aku yang telah mencapai penerangan sempurna.
Aku sudah tenang dan tentram.
Aku pergi ke kota untuk mengembangkan roda Dhamma.
Dalam dunia yang gelap aku akan menabuh gendering keabadian.
Upaka bertanya lagi: “Jika begitu teman, kamu
menyatakan diri sebagai Arahat, seorang Penakluk yang tak terbatas?”. Buddha
menjawab: “Seperti aku inilah Penakluk yang telah menghancurkan semua kekotoran
batin. Semua keadaan kejahatan telah kuatasi. Oleh karena itu, Upaka, aku disebut
sebagai Sang Penakluk”. Akan tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan.
Ia menggelengkan kepala sambil berkata: “Mungkin begitu, teman!”, Upaka kemudian
meneruskan perjalanannya, sedangkan Buddha juga melanjutkan perjalanan-Nya ke
Benares dan tiba pada saatnya.
Sesampainya di Benares, Beliau menuju ke Taman
Rusa Isipatana dimana lima pertapa berdiam. Lima orang pertapa (Kondanna,
Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji) melihat Buddha sedang memasuki Taman Rusa.
Seorang dari lima pertapa itu mengatakan: “Kawan-kawan, lihat, Pertapa Gotama
sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia
tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan
dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya dan kita tidak perlu
memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk
membawakan mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat
duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, biarkan dia
berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal?”
Mereka berlima sepakat untuk tidak menghormati Buddha.
Ketika Buddha datang lebih dekat, mereka melihat
bahwa ada sesuatu yang berubah dan Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang
dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatan lebih mulia dan agung, yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya. Penampilan Buddha yang begitu agung membuat mereka seolah-olah
lupa kepada apa yang mereka sepakati. Seorang diantara mereka maju ke depan dan
dengan hormat menyambut mangkuk dan jubahnya, sedangkan yang lain sibuk
menyiapkan tempat duduk dan yang lainnya bergegas mengambil air untuk membasuh
kaki Buddha.
Meskipun demikian, lima pertapa ini hanya
menyebut Buddha dengan nama saja dan memanggil Beliau dengan sebutan teman
(avuso, satu bentuk sapaan untuk yang lebih muda atau sebaya). Menghadapi hal
ini Buddha menasihati: “O, pertapa, janganlah memanggil Tathagata dengan nama
saja atau sebutan avuso tetapi sebutlah Yang Mulia. Tathagata telah mencapai penerangan
sempurna. “Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke
keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan
kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar, dan melatih diri seperti yang
akan kuajarkan, maka dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti
kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang
kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang
berada di atas hidup dan mati.”
Kelima pertapa itu menolak karena mereka
berpendapat bahwa dengan penyiksaan diri yang begitu ketat saja penerangan dan
pencerahan tidak dapat dicapai, apalagi kalau kembali pada kehidupan biasa. Di
samping itu kelima pertapa juga merasa heran sekali mendengar ucapan Buddha. Sebab
mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau
menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung dan sekarang Beliau
datang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan
Penerangan Agung itu.
Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang
Buddha katakan. Mereka menjawab: “Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih
berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang
belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah
kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara
penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari,
yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali kehidupan yang penuh
kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin
Anda sekarang telah menemukannya?”.
Buddha menjawab: “Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak
pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan
kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh
Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh
Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.” Tiga kali Buddha menawarkan dan
tiga kali pula kelima pertapa itu menolaknya. Buddha mengatakan: “Apakah kalian
tahu, pada kesempatan sebelumnya aku menyatakan hal seperti ini kepada
kalian?”.
Akhirnya kelima pertapa bersedia mendengarkan
khotbahnya dengan tenang dan hikmat. Maka Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama
yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda
Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Buddha tepat pada saat purnama sidhi di
bulan asalha yang kemudian dikenal sebagai hari Asadha dan diperingati pada
setiap bulan purnama penuh di bulan Juli.
Proses pembimbingan dilakukan setiap hari oleh
Buddha dengan cara sebagai berikut: Dua pertapa dibimbing, tiga yang lain pergi
menerima dana makanan. Dana makanan lalu dimakan berenam. Kalau tiga pertapa dibimbing
maka dua yang lain pergi menerima dana makanan, yang lalu digunakan bersama.
Lima pertapa dibimbing dan diberi petunjuk oleh Buddha tentang kelahiran, kelapukan,
penyakit, kematian, penderitaan, napsu keinginan, dan memahami sifat kehidupan
sesungguhnya.
Buddha juga mengajarkan bagaimana mencari yang
tanpa kelahiran, tanpa kelapukan, tanpa penyakit, tanpa kematian, tanpa
penderitaan, tanpa napsu keinginan, kebahagiaan, dan kedamaian yang tiada
bandingannya yaitu Nibbana. Nibbana yaitu bebas dari kelahiran, bebas dari
kelapukan, bebas dari penyakit, bebas dari kematian, bebas dari penderitaan dan
bebas dari napsu keinginan. Pemahaman muncul dalam diri mereka bahwa ini adalah
kelahiran mereka yang terakhir dan tidak akan ada keadaan seperti ini lagi.
Kebebasan mereka tidak tergoyahkan lagi. Khotbah pertama ini dikenal sebagai
Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma) yang intinya
sebagai berikut:
“Dua hal ekstrim yang harus dihindari. Hal
ekstrim pertama yaitu mengumbar nafsu-nafsu yang hanya dilakukan oleh orang
yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal
duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah. Hal ekstrim kedua ialah menyiksa
diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, juga tidak mulia dan tidak
berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua hal ekstrim telah kuselami,
sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi,
Penerangan agung, dan Nibbana.
Pertama inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia
tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis,
gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu
yang disukai dan tidak memperoleh apa yang diinginkan. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa Panca Khanda (lima kelompok kehidupan) itu adalah penderitaan. Kedua
inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha: nafsu
keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan
nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu
indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk
memusnahkan diri.
Ketiga inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia
tentang Lenyapnya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh
dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan.
Selanjutnya inilah yang dinamakan Kesunyataan
Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar,
Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian
Benar dan Konsentrasi Benar.
Maka timbullah dalam diriku ini penglihatan,
pandangan, kebijaksanaan, pengetahuan, dan penerangan bahwa ini adalah
kesunyataan mulia tentang dukkha yang harus dimengerti dan yang telah
kumengerti. Lalu timbul dalam diriku penglihatan, pandangan, kebijaksanaan,
pengetahuan dan penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula
dukkha yang harus dimengerti dan yang telah kumengerti. Kemudian timbul dalam
diriku penglihatan, pandangan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penerangan bahwa
ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan
yang telah kumengerti. Akhirnya timbul dalam diriku penglihatan, pandangan,
kebijaksanaan, pengetahuan, dan penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia
tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah
kumengerti.
Selama pandanganku terhadap Kesunyataan Mulia
yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua
belas jalannya, aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa aku
telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa,
mara, brahma, pertapa, brahmana, dan manusia. Dengan demikian, timbul dalam
diriku Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa aku sekarang telah terbebas sama
sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupanku yang
sekarang ini merupakan kehidupanku yang terakhir.
Setelah Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu). Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Buddha meluluskan permohonan ini dan menahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan”. Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu.”
Sejak hari itu Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut. Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”. Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu.” Genap sudah lima pertapa menjadi bhikkhu yang ditahbiskan oleh Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu.” Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhana sutta.
Khotbah kedua ini dinamakan sebagai
Anattalakkhana Sutta (Sutta tentang corak umum tanpa diri yang kekal). Satu
hari ketika Buddha sedang berdiam di Taman Rusa Isipatana, Beliau memanggil
lima orang pertapa yang sudah ditahbiskan menjadi bhikkhu semua. “Para bhikkhu
marilah mendengarkan apa yang akan kujelaskan lebih lanjut tentang lima
khandha”.
“Baik Yang Mulia”, jawab mereka. Buddha menjelaskan
lebih lanjut: “Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sañña
(pencerapan), Sankhara (bentuk-bentuk pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah
Panca Khandha (lima kelompok kehidupan) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh).
Kalau seandainya khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah
sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan
keinginannya dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga khandha-ku begini dan bukan
begitu.’ Tetapi karena badan jasmani ini tidak mempunyai jiwa, maka ia menjadi
sasaran penderitaan, dan tidak dapat untuk memerintah ‘Biarlah seperti ini
saja, jangan seperti itu’ dan sebagainya.
Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk
menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Buddha lalu
menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini:
“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah
Khandha itu kekal atau tidak kekal?” “Mereka tidak kekal, Bhante.” “Di dalam
sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?” Di
sana terdapat penderitaan, Bhante.” “Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan
penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu
adalah ‘milikku’, ‘aku’ dan ‘diriku’ ?” “Tidak tepat, Bhante.” Selanjutnya
Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan
melakukan perenungan sebagai berikut: Karena kenyataannya memang demikian, oh
Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau
halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui
sebagai Khandha (Kelompok Kehidupan/Kegemaran) semata-mata. Selanjutnya engkau
harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah
‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu.’
Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh
Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi
itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu,
ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan
batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu. Karena tidak melekat lagi
kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa
ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas
dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas
yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan
untuk memperoleh Penerangan Agung.
Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan
khotbah Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala
kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan
mencapai tingkat kesucian yang tertinggi yaitu Arahat. Khotbah ketiga dinamakan
sebagai Aditta Pariyaya Sutta (Sutta tentang semua dalam Keadaan Terbakar) yang
dapat diringkas sebagai berikut:
“Semua dalam keadaan berkobar, o para Bhikkhu!
Apakah, o para Bhikkhu, yang terbakar?.” ”Mata dalam keadaan terbakar. Bentuk
dalam keadaan terbakar. Kesadaran mata dalam keadaan terbakar. Sentuhan mata
dalam keadaan terbakar. Perasaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan
atau menyakitkan maupun tidak menyakitkan, yang timbul dari sentuhan mata dalam
keadaan terbakar.” Oleh apakah ia dinyalakan? Aku nyatakan dengan api nafsu
keinginan, kebencian, ketidaktahuan, kelahiran, kesakitan, dan keputusasaan ia
dinyalakan.
“Dengan merenungkan itu, o para Bhikkhu, siswa
Ariya yang terpelajar menjadi jijik terhadap mata, bentuk, kesadaran mata,
sentuhan mata, perasaan apa pun menyenangkan, menyakitkan, tidak menyenangkan maupun
tidak menyakitkan, ia timbul dari sentuhan dengan mata. Ia menjadi muak dengan
telinga, suara, hidung, bau, lidah, rasa, badan, sentuhan, pikiran, obyek
mental, kesadaran batin, sentuhan batin, perasaan apa pun menyenangkan maupun
tidak menyenangkan atau menyakitkan maupun tidak menyakitkan, ia timbul karena
sentuhan dengan batin. Dengan muak ia lepaskan; dengan pelepasan ia bebas. Ia
memahami bahwa kelahiran telah berakhir, menjalani kehidupan suci, melakukan
apa yang harus dilakukan, dan di sana tidak ada keadaan seperti ini lagi.”
Ketika Buddha Gotama menyimpulkan khotbah ini semua Bhikkhu menghancurkan semua kekotoran batin dan mencapai tingkat Arahat. Pada masa itu di Benares bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa yang merupakan anak seorang pedagang kaya raya. Yasa memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Malam itu ia terbangun di tengah malam dan dari
sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam
berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada
di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena
tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan
tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan
meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia
berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan
Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Buddha menegur,
“Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini,
Aku akan mengajarmu.” Mendengar sapaan Buddha, Yasa berpikir, “Kalau begitu
baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”
Yasa membuka sandalnya, menghampiri Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Buddha. Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Selanjutnya Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu (Yasa mencapai tingkat Arahat sewaktu Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya). Khotbah keempat ini berjudul Anupubbikatha diberikan oleh Buddha kepada Yasa seorang hartawan.
Yasa mohon kepada Buddha untuk ditahbiskan
menjadi bhikkhu. Buddha menahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan
untuk menahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, “Ehi bhikkhu, Dhamma telah
dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa
Buddha tidak mengucapkan “dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu
itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada
tujuh orang Arahat (Buddhansendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat
istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri). Keesokan harinya
dengan diiringi Yasa, Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang
telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Buddha kembali memberikan
uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma.
Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai
Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup.
Mereka adalah pengikutpengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga
Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Setelah itu, makan siang disiapkan dan
kedua wanita itu melayani sendiri Buddha dan Yasa dengan hidangan yang
lezat-lezat.
Sehabis makan siang, Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana. Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anakanak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Buddha. Setelah mendengar khotbah Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang. Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.