Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Khotbah-Khotbah

Teringat kepada janjinya kepada Brahma Sahampati, hendak mengajarkan Dhamma kepada manusia, maka muncul pikiran pertama dari Buddha: “Kepada siapa pertama kali Aku harus mengajarkan Dhamma yang sangat sulit ini? Siapa kiranya yang dapat memahami Dhamma yang sangat sulit ini dengan cepat?” Buddha teringat kepada Alara Kalama yang pernah menjadi gurunya. Alara Kalama merupakan pertapa yang terpelajar, pandai, bijaksana, dan sudah lama hanya ada sedikit debu dimatanya. Buddha berpikir lagi: “Pertama kali Aku akan mengajar Dhamma kepada Alara Kalama saja karena dia akan dapat memahami Dhamma dengan cepat karena hanya memiliki sedikit debu di mata batinnya.”

Tidak lama berselang, Dewa menghampiri Beliau dan berkata bahwa Alara Kalama sudah wafat seminggu lalu. Beliaupun dengan mata Buddha membenarkan laporan Dewa itu. Terpikir lagi kepada Uddaka Ramaputra. Lagi-lagi Dewa memberitahu bahwa Uddaka Ramaputra baru saja wafat kemarin malam. Akhirnya Buddha teringat kepada lima orang pertapa yang pernah menemani Beliau bertapa saat mencari penerangan sempurna. Dengan mata Buddha, Beliau melihat kelima orang pertapa itu berdiam di Taman Rusa Isipatana dekat kota Benares. Untuk beberapa waktu sebelum berangkat ke Benares, Buddha berdiam di Uruvela.

Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Isipatana dekat Benares. Dalam perjalanan sampai dekat Sungai Gaya, Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya: “Sangat jernih indriamu, teman! Bersih dan cemerlang warna kulitmu. Untuk siapakah pelepasan telah kau lakukan, teman! Siapakah gurumu teman? Ajaran siapakah yang kau tekuni?” Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga melalui syair berikut:

Semua telah kuatasi, semua telah kuketahui.
Dari apapun aku bebas, semua telah kutinggalkan.
Aku telah sempurna menghancurkan napsu keinginan (pencapaian tingkat Arahat).
Setelah memahami semuanya, siapakah yang patut kusebut guruku.
Aku tidak punya guru yang mengajarkan penerangan sempurna.
Tidak ada yang setara dengan diriku.
Di dunia tidak ada yang dapat mengalahkanku.
Aku adalah Arahat. Seorang guru yang tak terkalahkan.
Hanya aku yang telah mencapai penerangan sempurna.
Aku sudah tenang dan tentram.
Aku pergi ke kota untuk mengembangkan roda Dhamma.
Dalam dunia yang gelap aku akan menabuh gendering keabadian.

Upaka bertanya lagi: “Jika begitu teman, kamu menyatakan diri sebagai Arahat, seorang Penakluk yang tak terbatas?”. Buddha menjawab: “Seperti aku inilah Penakluk yang telah menghancurkan semua kekotoran batin. Semua keadaan kejahatan telah kuatasi. Oleh karena itu, Upaka, aku disebut sebagai Sang Penakluk”. Akan tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala sambil berkata: “Mungkin begitu, teman!”, Upaka kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Buddha juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares dan tiba pada saatnya.

Sesampainya di Benares, Beliau menuju ke Taman Rusa Isipatana dimana lima pertapa berdiam. Lima orang pertapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji) melihat Buddha sedang memasuki Taman Rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan: “Kawan-kawan, lihat, Pertapa Gotama sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya dan kita tidak perlu memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk membawakan mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, biarkan dia berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal?” Mereka berlima sepakat untuk tidak menghormati Buddha.

Ketika Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatan lebih mulia dan agung, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Penampilan Buddha yang begitu agung membuat mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati. Seorang diantara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubahnya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lainnya bergegas mengambil air untuk membasuh kaki Buddha.

Meskipun demikian, lima pertapa ini hanya menyebut Buddha dengan nama saja dan memanggil Beliau dengan sebutan teman (avuso, satu bentuk sapaan untuk yang lebih muda atau sebaya). Menghadapi hal ini Buddha menasihati: “O, pertapa, janganlah memanggil Tathagata dengan nama saja atau sebutan avuso tetapi sebutlah Yang Mulia. Tathagata telah mencapai penerangan sempurna. “Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar, dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan, maka dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”

Kelima pertapa itu menolak karena mereka berpendapat bahwa dengan penyiksaan diri yang begitu ketat saja penerangan dan pencerahan tidak dapat dicapai, apalagi kalau kembali pada kehidupan biasa. Di samping itu kelima pertapa juga merasa heran sekali mendengar ucapan Buddha. Sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu.

Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Buddha katakan. Mereka menjawab: “Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”.

Buddha menjawab: “Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.” Tiga kali Buddha menawarkan dan tiga kali pula kelima pertapa itu menolaknya. Buddha mengatakan: “Apakah kalian tahu, pada kesempatan sebelumnya aku menyatakan hal seperti ini kepada kalian?”.

Akhirnya kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbahnya dengan tenang dan hikmat. Maka Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Buddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha yang kemudian dikenal sebagai hari Asadha dan diperingati pada setiap bulan purnama penuh di bulan Juli.

Proses pembimbingan dilakukan setiap hari oleh Buddha dengan cara sebagai berikut: Dua pertapa dibimbing, tiga yang lain pergi menerima dana makanan. Dana makanan lalu dimakan berenam. Kalau tiga pertapa dibimbing maka dua yang lain pergi menerima dana makanan, yang lalu digunakan bersama. Lima pertapa dibimbing dan diberi petunjuk oleh Buddha tentang kelahiran, kelapukan, penyakit, kematian, penderitaan, napsu keinginan, dan memahami sifat kehidupan sesungguhnya.

Buddha juga mengajarkan bagaimana mencari yang tanpa kelahiran, tanpa kelapukan, tanpa penyakit, tanpa kematian, tanpa penderitaan, tanpa napsu keinginan, kebahagiaan, dan kedamaian yang tiada bandingannya yaitu Nibbana. Nibbana yaitu bebas dari kelahiran, bebas dari kelapukan, bebas dari penyakit, bebas dari kematian, bebas dari penderitaan dan bebas dari napsu keinginan. Pemahaman muncul dalam diri mereka bahwa ini adalah kelahiran mereka yang terakhir dan tidak akan ada keadaan seperti ini lagi. Kebebasan mereka tidak tergoyahkan lagi. Khotbah pertama ini dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma) yang intinya sebagai berikut:

“Dua hal ekstrim yang harus dihindari. Hal ekstrim pertama yaitu mengumbar nafsu-nafsu yang hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah. Hal ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, juga tidak mulia dan tidak berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua hal ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana.

Pertama inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak memperoleh apa yang diinginkan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Panca Khanda (lima kelompok kehidupan) itu adalah penderitaan. Kedua inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha: nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri.

Ketiga inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan.

Selanjutnya inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.

Maka timbullah dalam diriku ini penglihatan, pandangan, kebijaksanaan, pengetahuan, dan penerangan bahwa ini adalah kesunyataan mulia tentang dukkha yang harus dimengerti dan yang telah kumengerti. Lalu timbul dalam diriku penglihatan, pandangan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula dukkha yang harus dimengerti dan yang telah kumengerti. Kemudian timbul dalam diriku penglihatan, pandangan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah kumengerti. Akhirnya timbul dalam diriku penglihatan, pandangan, kebijaksanaan, pengetahuan, dan penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah kumengerti.

Selama pandanganku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana, dan manusia. Dengan demikian, timbul dalam diriku Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupanku yang sekarang ini merupakan kehidupanku yang terakhir.

Setelah Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu). Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Buddha meluluskan permohonan ini dan menahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan”. Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu.”

Sejak hari itu Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut. Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”. Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu.” Genap sudah lima pertapa menjadi bhikkhu yang ditahbiskan oleh Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu.” Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhana sutta.

Khotbah kedua ini dinamakan sebagai Anattalakkhana Sutta (Sutta tentang corak umum tanpa diri yang kekal). Satu hari ketika Buddha sedang berdiam di Taman Rusa Isipatana, Beliau memanggil lima orang pertapa yang sudah ditahbiskan menjadi bhikkhu semua. “Para bhikkhu marilah mendengarkan apa yang akan kujelaskan lebih lanjut tentang lima khandha”.

“Baik Yang Mulia”, jawab mereka. Buddha menjelaskan lebih lanjut: “Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (bentuk-bentuk pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah Panca Khandha (lima kelompok kehidupan) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh). Kalau seandainya khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu.’ Tetapi karena badan jasmani ini tidak mempunyai jiwa, maka ia menjadi sasaran penderitaan, dan tidak dapat untuk memerintah ‘Biarlah seperti ini saja, jangan seperti itu’ dan sebagainya.

Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini:

“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?” “Mereka tidak kekal, Bhante.” “Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?” Di sana terdapat penderitaan, Bhante.” “Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku’, ‘aku’ dan ‘diriku’ ?” “Tidak tepat, Bhante.” Selanjutnya Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut: Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kehidupan/Kegemaran) semata-mata. Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu.’

Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.

Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi yaitu Arahat. Khotbah ketiga dinamakan sebagai Aditta Pariyaya Sutta (Sutta tentang semua dalam Keadaan Terbakar) yang dapat diringkas sebagai berikut:

“Semua dalam keadaan berkobar, o para Bhikkhu! Apakah, o para Bhikkhu, yang terbakar?.” ”Mata dalam keadaan terbakar. Bentuk dalam keadaan terbakar. Kesadaran mata dalam keadaan terbakar. Sentuhan mata dalam keadaan terbakar. Perasaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan atau menyakitkan maupun tidak menyakitkan, yang timbul dari sentuhan mata dalam keadaan terbakar.” Oleh apakah ia dinyalakan? Aku nyatakan dengan api nafsu keinginan, kebencian, ketidaktahuan, kelahiran, kesakitan, dan keputusasaan ia dinyalakan.

“Dengan merenungkan itu, o para Bhikkhu, siswa Ariya yang terpelajar menjadi jijik terhadap mata, bentuk, kesadaran mata, sentuhan mata, perasaan apa pun menyenangkan, menyakitkan, tidak menyenangkan maupun tidak menyakitkan, ia timbul dari sentuhan dengan mata. Ia menjadi muak dengan telinga, suara, hidung, bau, lidah, rasa, badan, sentuhan, pikiran, obyek mental, kesadaran batin, sentuhan batin, perasaan apa pun menyenangkan maupun tidak menyenangkan atau menyakitkan maupun tidak menyakitkan, ia timbul karena sentuhan dengan batin. Dengan muak ia lepaskan; dengan pelepasan ia bebas. Ia memahami bahwa kelahiran telah berakhir, menjalani kehidupan suci, melakukan apa yang harus dilakukan, dan di sana tidak ada keadaan seperti ini lagi.”

Ketika Buddha Gotama menyimpulkan khotbah ini semua Bhikkhu menghancurkan semua kekotoran batin dan mencapai tingkat Arahat. Pada masa itu di Benares bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa yang merupakan anak seorang pedagang kaya raya. Yasa memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.

Malam itu ia terbangun di tengah malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Buddha menegur, “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.” Mendengar sapaan Buddha, Yasa berpikir, “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”

Yasa membuka sandalnya, menghampiri Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Buddha. Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Selanjutnya Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu (Yasa mencapai tingkat Arahat sewaktu Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya). Khotbah keempat ini berjudul Anupubbikatha diberikan oleh Buddha kepada Yasa seorang hartawan.

Yasa mohon kepada Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Buddha menahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk menahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa Buddha tidak mengucapkan “dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Buddhansendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri). Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup. Mereka adalah pengikutpengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat.

Sehabis makan siang, Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana. Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anakanak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Buddha. Setelah mendengar khotbah Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang. Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.