Dari berbagai penyebab serta akibat dari pergaulan bebas,
maka harus ada tindak lanjutnya agar penyebab kenakalan remaja ini dapat
dicegah ataupun diatasi. Dalam Kitab Dhammapada : “Sebagaimana hujan yang tidak
dapat menembus rumah yang beratap baik, maka demikian pula nafsu tidak dapat
masuk ke dalam pikiran yang jernih”. Jika seorang remaja sejak dini dibekali
dengan landasan moral yang baik dan dari diri remaja itu sendiri melatih
pikiran dengan baik maka kemungkinan ia akan terjerumus dalam pergaulan bebas
sangatlah kecil.
Agar dapat memiliki kehidupan yang bermoral, seseorang harus mengembangkan bentuk-bentuk pikiran yang baik. Bentuk-bentuk pikiran baik yang menjadi dasar moralitas yaitu malu berbuat jahat (hiri) dan takut akibat perbuatan jahat (ottappa). Menumbuh kembangkan perasaan malu dan takut melakukan perbuatan yang tidak baik ataupun berbagai bentuk kejahatan inilah yang akan menjadi ‘pengawas setia’ dalam diri setiap orang, khususnya para remaja. Selama dua puluh empat jam sehari, ‘pengawas’ ini akan melaksanakan tugasnya. Kemanapun ia pergi, ia akan selalu dapat mengingat dan melaksanakan kedua hal sederhana ini. Ia akan selalu dapat menempatkan dirinya sendiri dalam lingkungan apapun juga sehingga akan mampu membahagiakan dirinya sendiri, orang tua dan juga lingkungannya.
Dengan mengembangkan bentuk-bentuk pikiran yang baik
melalui praktik meditasi Samatha Bhavana. Melatih meditasi dengan objek cinta
kasih akan membuat batin kita tenang, dan disayangi para makhluk. Dengan
mengembangkan kewaspadaan (sati sampajhana) dan pola hidup berkesadaran maka
akan dapat menemukan diri sendiri.
Peran keluarga atau orang tua sangat penting dalam
mengawasi perkembangan remaja. Dalam keluarga, dengan penuh cinta kasih orang
tua mendidik anak agar menghindari kejahatan dan menimbun kebaikan. Pola asuh
orang tua terhadap anak hendaknya dilakukan secara maksimal. Orang tua mendidik
anak dimulai sejak pertama kali ibu mengandung anak hingga anak lahir dan
tumbuh dewasa yang membawa perubahan tingkah laku yang baik, terutama penanaman
moralitas (sila), dan menanamkan keyakinan (saddha). Anak yang mendapatkan
pendidikan yang baik akan berbakti dengan menunjang orang tuanya, membantu
pekerjaan mereka, memelihara kehormatan dan tradisi keluarga, menjaga warisan dengan
baik dan mendoakan mereka yang telah meninggal dunia (Sigalovada Sutta).
Kewajiban orang tua kepada anak dalam Sigalovada Sutta
antara lain: mencegah anak berbuat jahat, menganjurkan anak berbuat baik,
memberikan pendidikan profesional kepada anak, mencarikan pasangan yang
sesuai untuk anak, dan menyerahkan harta
warisan kepada anak pada saat yang tepat. Dalam Vatthupama Sutta Sang Buddha
menegaskan bahwa “Orang tua menjauhkan anaknya dari keinginan jahat, ketamakan,
kemarahan, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras kepala, praduga, keangkuhan,
dan kesombongan yang menjadi penyebab ketidaksempurnaan yang selalu mengotori
moral. Anak-anak harus didik untuk hidup bersusila serta bertindak dengan
pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik” ”Jangan bergaul dengan orang jahat,
jangan bergaul dengan orang berbudi rendah, tetapi bergaullah dengan sahabat
yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur” (Dhammapada 78).
”Bergaullah dengan kawan-kawan yang baik, kendalikanlah lima indera maka akan
memperoleh ketenangan hidup” (Rahula Sutta). “Tidak bergaul dengan orang yang
tidak bijaksana, bergaul dengan orang yang bijaksana, itu merupakan berkah
utama” (Manggala Sutta). “Barang siapa mengikuti kawan-kawan yang jahat, segera
akan mengalami kehancuran”.
Buddha sangat menekankan pentingnya pergaulan yang baik,
Beliau bersabda, “Aku tidak melihat ada satu faktor lain yang sangat menolong
seperti persahabatan dengan orang yang baik (kalyanamitta)”. Demikian hendaknya
seseorang dalam bergaul di kehidupan sehari-hari.
Demikian yang diungkapkan oleh Buddha dalam Muni Sutta,
seorang anak muda walaupun ia berkelana sendiri, yang tidak terpengaruh
pergaulan bebas (hubungan seksual) walaupun masih muda serta menjauhkan diri
dari kemalasan dan kesombongan disebut orang suci oleh para bijaksana. Berdiam
di lingkungan yang baik adalah hal yang baik bagi perkembangan diri seseorang.
Dalam Khagavisana Sutta, Sang Buddha juga menganjurkan untuk hidup bersama
seorang sahabat yang hidup dengan moralitas dan waspada. Adapun ciri-ciri
sahabat yang baik antara lain: sahabat penolong, sahabat pada waktu senang dan
susah, sahabat yang memberikan nasihat baik serta sahabat yang bersimpati
(Sigalovada Sutta).
Selalu waspada, mengendalikan diri dan janganlah tergoda
oleh nafsu indera. “Bagai seorang
gembala dengan tongkat mengawasi ternak- ternaknya, sehingga mereka tidak
berkeliaran dan merusak tanaman orang lain (mahaparinirvana
pacchimovadha-sutta)”. Demikianlah orang yang dapat mengendalikan dirinya.
Sebagai generasi muda hendaknya kita memikirkan masa depan. Janganlah merusak
masa depan kita hanya karena kita terjerumus dalam pergaulan bebas.
Dalam Kitab Uthana Sutta, Sang Buddha berpesan:
“Bangkitlah! Duduklah dengan Tegak! Jangan biarkan kesempatan emasmu berlalu.
Mereka yang membiarkan kesempatan emas ini berlalu akan meratap ketika masuk ke
dalam kesengsaraan!”.
Peningkatan keyakinan kepada Tri Ratna serta
penyaluran minat dan bakat secara
positif merupakan hal-hal yang dapat membuat setiap orang mampu menghindari
pergaulan bebas. Tetapi walaupun kata-kata tersebut sering ‘didengungkan’,
namun tetap saja masih banyak remaja yang melakukan hal-hal yang tidak
sepatutnya dilakukan. Beberapa solusi untuk menghindari pergaulan bebas antara
lain:
Menanamkan nilai agama, moral dan etika.
Pendidikan yang diberikan hendaknya tidak hanya
intelektual, tetapi juga mengembangkan emosional remaja.
Pendidikan dan penyuluhan seksual.
Pengawasan dari orang tua di rumah serta guru- guru di
sekolah secara intensif.
Pada dasarnya semua solusi atau upaya pencegahan yang
telah diuraikan sebelumnya tetap tergantung dari diri setiap remaja
untuk mau melakukannya atau tidak. Jika para remaja menginginkan
perubahan, sebaiknya mereka memiliki arahan untuk melakukan hal yang memang
patut mereka lakukan. Semuanya kembali pada diri remaja masing- masing dan juga dukungan dari lingkungan, baik dari keluarga, masyarakat,
maupun sekolah.
Pengembangan kesadaran terhadap pergaulan bebas
didasarkan pada sikap mental sebagai rangkaian hubungan sebab akibat yang
saling bergantungan. Ajaran Buddha mengenai Hukum Kamma tidak dapat lepas dari
ajaran yang menguraikan tentang Hukum Paticcasamuppada.
Melalui pengembangan batin yang berdasarkan
kebijaksanaan, perilaku moral (sila), konsentrasi, dan belas kasih, para remaja
diharapkan menyadari betapa pentingnya pergaulan yang sehat secara luas,
sehingga tidak akan melangkah ke arah yang salah.
Pemerintah, seharusnya dapat memberi bimbingan dan
penyuluhan kepada para remaja agar tidak salah dalam memilih pergaulan. Orang
tua diharapkan dapat memberi kasih sayang tidak hanya limpahan materi saja
tetapi juga perlu memperhatikan tingkah laku anak-anaknya agar tidak salah
jalan.
Dalam hal ini media massa juga sangat berperan, seharusnya media massa menampilkan hal-hal positif yang perlu dilakukan, bukan malah menampilkan film-film yang menunjukkan hebohnya gemerlap dunia malam dan maraknya pergaulan bebas yang disalahtafsirkan merupakan suatu kebanggaan bagi para remaja. Semua pihak perlu berperan untuk menanamkan “gaul tanpa pergaulan bebas”, terutama diri kita sendiri. Mudah-mudahan masyarakat luas dan umat Buddha pada khususnya dapat memahami hal ini sehingga tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain.