Ajatasattu adalah putra Raja Bimbisara. Ibunya bernama
Ratu Videha. Ketika usianya menjelang dewasa, ia menikah dengan Putri Vajira,
anak Pasenadi Kosala. Pada waktu itu, Devadatta merasa iri hati atas kemasyuran
Buddha dan beberapa siswa utama-Nya.
Devadatta sangat membenci Buddha dan para siswanya.
Devadatta memperalat Pangeran Ajatasattu sebagai senjata untuk membalas dendam,
dan memengaruhi Pangeran Ajatasattu dengan kesaktiannya. Ia menjelma sebagai
anak kecil berkalung beberapa ekor ular berbisa, lalu mendekati Pangeran
Ajatasattu. Anak kecil itu menjatuhkan diri di pangkuannya. Tidak beberapa
lama, anak kecil itu lenyap dan Devadatta menampakkan diri di depannya.
Peristiwa itu membuat Pangeran Ajatasattu langsung
menghormat dan menyatakan diri sebagai penyokongnya. Devadatta dibangunkan
sebuah vihara besar dan megah di Gayasisa. Setiap pagi ia diiringi sejumlah
besar pengawalnya, ia mempersembahkan dana makanan dan keperluan pokok lainnya
kepada Devadatta. Pangeran Ajasattu belum menyadari akibat buruk yang
ditimbulkan dari pergaulannya dengan Devadatta.
Selanjutnya, Devadatta menghasut Pangeran Ajatasattu
untuk merebut kekuasaan dan membunuh ayah kandungnya sendiri, yaitu Raja
Bimbisara. Devadatta berusaha membujuk terus hingga Pangeran Ajatasattu tidak berdaya
dan akhirnya menyepakatinya. Pangeran Ajatasattu akan membunuh ayahnya dengan
sebilah keris, namun tertangkap oleh pengawal istana. Raja Bimbisara tidak
menghukum Pangeran Ajatasattu. Dengan penuh cinta kasih, Raja menanyakan tujuan
berbuat demikian. Mengetahui bahwa yang dikehendaki adalah tahta kerajaan, pada
waktu itu juga, Pangeran Ajatasattu dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Magadha.
Selanjutnya, Devadatta kembali menghasut Raja Ajatasattu
agar ia menyekap dan mengurung ayahnya dalam penjara. Ayahnya tidak boleh diberi
makanan atau minuman. Raja Ajatasattu segera memerintahkan pengawalnya untuk
menjalankannya, dan melarang siapa pun juga untuk menjenguknya kecuali ibunya
sendiri, Ratu Videha.
Bimbisara tidak mendapatkan makanan lagi. Akan tetapi,
karena Bimbisara telah meraih tingkat kesucian Sotapanna, beliau ternyata masih
dapat mempertahankan kehidupan dengan melaksanakan meditasi berjalan mondarmandir
(cankamana). Berkat kegiuran batiniah yang dinikmatinya dalam meditasi ini,
wajahnya masih tetap tampak segar bugar dan berseri-seri.
Raja Ajatasattu makin biadab dan keji. Bersamaan dengan
meninggalnya Bimbisara, telah terjadi pula suatu peristiwa yang penting, yaitu
lahirnya putra sulung Raja Ajatasattu. Mendengar kelahiran putranya, tak
terlukiskan betapa bahagianya Raja Ajatasattu. Badannya bergetar dan perasaan
cinta kasih kepada putra sulungnya meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ia
teringat kepada ayahnya yang disekap dan disiksa dalam penjara. Raja Ajatasattu
menanyakan keadaan ayahnya sekarang ini, dan segera diperintahkan untuk
membebaskannya. Namun, disampaikan berita bahwa ayahnya telah meninggal. Ia
merasa tertegun dan bergegas ia lari menjumpai ibunya dan bertanya:
“Ibunda tercinta, sewaktu aku lahir, apakah Ayah juga
mencintai diriku seperti halnya saya sekarang ini mencintai putraku?” Dengan
tersengalsengal karena sedih, Ratu Videha menuturkan: Ketika engkau menderita
bisul di tanganmu, ayahmu memeluk dan meletakkan dirimu di pangkuannya. Dengan
hati-hati sekali, ia kemudian mengisap bisulmu yang sudah matang dengan
mulutnya. Oh, Putraku, karena rasa sayang dan cinta kasihnya kepadamu, ayahmu
menelan nanah dan darah yang menjijikkan serta memuakkan itu.” Mendengar cerita
ibunya itu, Raja Ajatasattu sangat menyesal atas tindakan keji yang
dilakukannya. Makin mengingat kebajikan ayahnya, makin sedih hati Raja
Ajatasattu bagai diiris pisau.
Raja Ajatasattu tidak ingin menemui Buddha karena merasa
malu atas kejahatannya dalam bersekongkol dengan Devadatta. Tabib bernama
Jivaka Komarabhacca segera menganjurkan Raja Ajatasattu untuk menjumpai Buddha.
Setelah mendengar nasihat Buddha, Raja Ajatasattu akhirnya sadar akibat
kejahatan yang ditimbulkan dari bergaul dengan Devadatta. Saat itu pula, Raja
Ajatasattu tidak percaya lagi dengan Devadatta. Ajatasattu berusaha untuk
mengimbangi kejahatan dengan memupuk keyakinannya terhadap Triratna. Ia
senantiasa menyokong kebutuhan hidup para bhikkhu. Raja Ajatasattu memberikan
andil yang sangat berharga dalam Sidang Agung Sangha (Sanghayana) pertama di
Rajagaha untuk menghimpun dan merangkum ajaran murni Buddha. Selain itu, Raja
Ajatasattu juga membangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan jasmani Buddha.
Pada akhir hidupnya, akibat kejahatan yang dilakukannya, Raja Ajatasattu mati dibunuh oleh putranya sendiri dan terlahir di alam Neraka selama 60.000 tahun. Kelak Raja Ajatasattu pun berhasil meraih Pembebasan Sejati sebagai Pacceka Buddha bernama Viditavisesa.