Asoka
adalah raja kerajaan Magadha yang memerintah dari 273 SM - 232 SM. Ayahnya
bernama Bindusara dan ibunya bernama Dharma. Istri Bindusara semuanya berjumlah
enam belas orang. Asoka mempunyai seratus satu saudara laki-laki. Pada usia
muda, Asoka sudah menjadi gubernur di Avanti dengan ibukota bernama Ujjeni.
Asoka menyerbu dan menduduki ibukota Pataliputta. Ia membunuh sebagian besar pangeran
yang merupakan saudara-saudaranya sendiri.
Setelah
dinobatkan menjadi raja, Asoka mengikuti jejak ayahnya, Bindusara dan kakeknya,
Chandragupta yang ingin menaklukkan seluruh daratan India. Ia menyerbu dan
menaklukkan Negara Kalinga (sekarang Orissa) dan menggabungkan dengan
negerinya. Setelah secara besar-besaran perang untuk merebut kekuasaan,
akhirnya, Asoka dari seorang kaisar haus kekuasaan berubah menjadi seorang pengikut
Buddha dan mulai berkhotbah Dharma di seluruh dunia. Raja Asoka membangun
ribuan stupa dan vihara. Salah satunya adalah Sanchi Stupa yang telah
dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Model empat kepala singa pada
Pilar Asoka di Sarnath dijadikan sebagai lambang nasional modern di Republik
India. Setelah mengenal ajaran Buddha, Asoka yang Agung menerapkan ajaran anti
kekerasan (ahimsa). Bahkan, pembantaian dan mutilasi binatang pun dihapuskan
dalam kerajaannya demi cinta kasih kepada semua makhluk. Selain itu, Asoka
menganjurkan hidup vegetarian, menghapus sistem kasta, dan memberlakukan semua
orang secara sama. Pada saat bersamaan, setiap orang diberi hak kebebasan,
toleransi, dan kesetaraan.
Pada suatu ketika, Asoka
memanggil Nigrodha untuk mampir di istana. Nigrodha memberi uraian Dharma yang
membuat Asoka sangat tertarik sehingga mulai hari itu Asoka menjadi penyokong
dan pelindung dari Nigrodha dan anggota Sangha lainnya.
Menurut Samantapasadika,
penghasilan Asoka yang berjumlah 500.000 mata uang pada zaman itu, dibagi
sebagai berikut:
- Seratus ribu (100.000) mata uang diberikan kepada Nigrodha untuk apa saja;
- Seratus ribu (100.000) mata uang untuk membeli barang-barang persembahan di vihara;
- Seratus ribu (100.000) mata uang untuk Sangha lainnya;
- Seratus ribu (100.000) mata uang untuk pengembangan agama Buddha; dan
- Seratus ribu (100.000) mata uang untuk membeli obat-obatan bagi yang sakit.
Setelah mendengar dari
Moggaliputta Tissa Mahatera bahwa ajaran Buddha terdiri atas 84.000 Dharma,
Asoka mendirikan vihara di berbagai desa dan kota sebanyak 84.000 buah. Di
Pataliputta, Asoka membangun sebuah vihara besar dan megah. Dengan bantuan Raja
Naga Mahakala, Raja Asoka membuat patung Buddha dalam ukuran sebenarnya.
Asoka juga membuat dekrit di
atas batu cadas gunung yang dikenal sebagai ‘Bhabru Edict’ yang terdiri atas 7
baris dan sebagian besar diambil dari ayat-ayat suci bahasa Pali. Dekrit
tersebut berbunyi: “... Asoka menginginkan agar semua orang, bhikkhu maupun
orang awam membaca dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dengan
berbuat demikian mereka, pria atau wanita akan menjadi orang yang lebih baik.
Asoka memberi penghormatan yang tinggi kepada Buddha, Dharma, dan Sangha.”
Selanjutnya, Asoka banyak
melakukan perjalanan ziarah ke tempattempat agama Buddha. Di tahun
pemerintahannya yang kedua puluh, ia mengunjungi Taman Lumbini, Buddha Gaya,
Benares, dan Kusinara. Di tempat-tempat ini, ia mendirikan Pilar Asoka, vihara,
stupa, dan bangunan lain untuk memberikan penghormatan kepada Buddha: ”...
bahwa ia mengunjungi tempat itu untuk memberi penghormatan kepada tempat Buddha
dilahirkan, Mencapai Penerangan Sempurna, Memutar Roda Dharma, dan Parinibbana
atau wafat.”
Asoka menginginkan agar rakyat
mengembangkan kebajikan moral, antara lain:
- Taat kepada ajaran Buddha.
- Mengembangkan rasa kasih sayang kepada semua makhluk.
- Suka menolong orang lain dan tidak kikir.
- Menjaga kesucian hati, kelemah-lembutan.
- Menghormat dan patuh kepada orangtua dan guru.
Bermurah hati dan ramah tamah
kepada sahabat, kenalan, bahkan pelayan dan budak pun harus diperlakukan dengan
baik dan manusiawi.
Dengan mencontoh pandangan
Buddha tentang toleransi beragama, Asoka membuat dekrit di batu cadas gunung
yang hingga kini masih dapat dibaca. Dekrit di batu cadas itu dikenal dengan
nama Prasasti Batu Kalinga No. XXII atau Prasasti Asoka.
Asoka lebih senang melakukan perjalanan
ke tempat-tempat ziarah keagamaan. Dengan demikian, ia dapat bertemu dengan
para bhikkhu, petapa, dan brahmana yang terpelajar. Setelah melakukan diskusi
dengan para rohaniawan tersebut, Asoka lalu memberikan dana yang besar. Selain
itu, ia sering melakukan perbuatan yang mulia dengan menanam pohon, menggali sumur
untuk keperluan rakyat, membuka rumah-rumah sakit untuk memberi pengobatan
manusia dan binatang. Hal itu bukan saja dilakukan di negaranya sendiri, tetapi
juga di negara tetangga, seperti Colas, Pandyas, Kerala, dan negara-negara
lain, sampai Srilanka.
Menurut pahatan di Rock Edict XIII,
Asoka menerangkan bahwa ia mengirim Dharmaduta ke kerajaan yang jauh dari
kerajaannya sendiri, yaitu ke Antiochus (Antiyoko), raja dari Syiria, ke empat
kerajaan yang lebih jauh lagi, yaitu Ptolemy (Turameya) dari Mesir, Antigonos
(Antakini) dari Macedonia, Alexander (Alikasundara) dari Epirus (satu wilayah
kuno di Yunani Utara), Magas dari Cyrenia di Afrika Utara. Ia juga menyebut
nama-nama seperti Yavanas, Kamboja, Pandyas, Colas, Andhras, Pulindas,
Srilanka, dan lain-lain.
Pada tahun ke-18 pemerintahannya, atas
permohonan Devanampiyatissa, Assoka mengirim putrinya, Sanghamitta, ke Srilanka
dengan membawa cangkokan dari pohon Bodhi yang tumbuh di Buddha Gaya. Sanghamitta
kemudian membentuk dan memimpin sangha Bhikkhuni yang pertama di Srilanka.
Sebelum itu Asoka mengirim cucunya, Sumana, ke Srilanka dengan dibekali beberapa relik dan mangkuk untuk mengumpulkan makan an dari Buddha untuk ditempatkan di stupa-stupa. Asoka memerintah selama 37 tahun dan kemudian terkenal dengan nama Dharmasoka karena jasanya besar dalam membantu pengembangan agama Buddha.