Dalam agama Buddha Puja artinya menghormat. Penghormatan dalam agama Buddha dapat dilakukan dengan berbagai cara: (1) Dengan materi seperti persembahan makanan, buah, dupa, bunga, dan lain-lain; (2) berupa perilaku seperti sopan santun, ramah tamah, dan rendah hati; (3) secara fisik, seperti bersikap anjali, namaskara, maupun pradaksina; dan (4) berupa mental, seperti praktik cinta kasih, kasih sayang serta memiliki pandangan benar. Dalam “Mangala Sutta”, kata puja berbunyi: “puja ca pujaniyanam etammangalamuttamam”. yang berarti, “menghormat kepada yang layak dihormati merupakan berkah utama”.
Penghormatan yang dianjurkan oleh Buddha adalah
penghormatan yang wajar dan didasari oleh pengertian yang benar. Puja ditujukan
kepada sesuatu objek yang layak untuk dihormati.
Puja dalam zaman sebelum Buddha lebih bermakna sebagai
persembahan kepada para dewa. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan hewan,
bahkan mengorbankan manusia kepada para dewa. Sejarah puja kepada para dewa ini
diawali dengan munculnya ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa ada
makhluk dewa yang berkuasa atau mengatur segala sesuatu yang akan diterima oleh
manusia.
Dengan alasan itu, para brahmin menciptakan sarana puja
kepada dewadewa dengan jalan upacara-upacara korban. Tujuannya adalah dengan
korban yang diberikan kepada para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak
menjatuhkan malapetaka bagi manusia.
Puja pada zaman Buddha memiliki arti yang berbeda, yaitu
menghormat. Pada masa Buddha terdapat kebiasaan yang dilakukan oleh para
bhikkhu yaitu vattha. Vattha artinya merawat guru Buddha dengan cara
membersihkan ruangan, mengisi air, dan lain-lain. Setelah selesai melaksanakan
kewajiban itu, para bhikkhu dan umat duduk, untuk mendengarkan khotbah dari
Buddha.
Setelah selesai mendengarkan khotbah, para bhikkhu
mengingat atau menghafalkan agar kemana pun mereka pergi, ajaran Buddha dapat
diingat dan dilaksanakannya. Pada hari bulan gelap dan terang (purnama) para
bhikkhu berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan atau patimokkha yang
harus dilatih. Patimokkha yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh
seorang bhikkhu yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah pengucapan
patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul untuk mendengarkan khotbah.
Umat tidak hanya berkumpul dua kali, tetapi pada pertengahan antara bulan gelap
dan bulan terang, tetapi mereka juga berkumpul di vihara untuk mendengarkan
khotbah. Namun, apabila Buddha ada di vihara, umat datang untuk mendengarkan
khotbah setiap hari. Para umat biasanya juga melakukan penghormatan (puja)
kepada Buddha dengan mempersembahkan bunga, lilin, dupa, dan lain-lain. Namun,
Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dharma yang telah Beliau ajarkan
merupakan bentuk penghormatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, Buddha
mencegah bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.
Setelah Buddha Parinibanna, umat Buddha mengenang
jasa-jasa dan teladan dari Buddha dengan cara merenungkan kebajikan-kebajikan
Triratna. Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk menggantikan
kebinasaan vhattha. Sebagai pengganti khotbah Buddha, para bhikkhu mengulang
khotbah-khotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik lain yang dilakukan oleh
para bhikkhu dan samanera, yaitu setiap pagi dan sore (malam) mereka
mengucapkan paritta yang telah mereka hafal. Kebiasaan para bhikkhu tersebut
pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.
Kebaktian yang merupakan perbuatan baik yang patut
dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain itu, sama dengan
zaman Buddha, para bhikkhu ataupun umat juga melaksanakan Dharma ajaran Buddha
sebagai penghormatan tertinggi.