Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Pendidikan Dalam Presfektif Agama Buddha

Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia atau Satta Deva Manussanang. Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan atau dukkha. Penderitaan bersumber pada keinginan rendah atau tanha. Keinginan tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan paticcasamuppada. Buddha menempatkan diurutan pertama adalah kebodohan atau avijja. Dalam Dhammapada 243 dinyatakan yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Makanya Buddha mengatakan kepada para bhikkhu untuk singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda.

Jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan tidak lain adalah belajar. oleh karena itu, Sang Buddha menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dalam Dhammapada 152 dinyatakan orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak bertambah.

Selaras dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh kebodohan, pendidikan adalah salah satu jalan untuk mencapainya. Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku, yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri dan belajar itu seumur hidup, sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. 

Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada 60 orang arahat. Sebagaimana dalam Vinaya.I,21. "mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak. 

Namun, perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi kebangkitan dari kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh tidak didasarkan pada kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir Nirvana (A Peng: 1990: 7).

Kebenaran terakhir juga tidak memerlukan merek agama, agama hanyalah rakit untuk mengantar ke tujuan. Sang Buddha memberikan analogi melalui perumpamaan Dhamma sebagai rakit yang tidak perlu harus dipikul karena telah berjasa menyeberangkan seseorang Alagaddupama Sutta (M.I,22).

Pendidikan pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan Buddha menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, dengan memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat ini, membuat Buddha menjalani kehidupan rakyat biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan Sangha, menampung murid dari berbagai golongan masyarakat dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.

Sang Buddha dalam membabarkan Dhammanya tidak pernah membeda-bedakan orang yang akan diajarkan, baik itu bodoh, miskin, kaya, setan, jin, serta dewa sekalipun. Sang Buddha memberikan semua ajarannya tanpa merahasiakan sedikitpun yang telah ia dapat sehingga banyak murid-muridnya yang mencapai tingkat-tingkat kesucian dalam waktu relatif singkat.

Buddha tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun (M.II,170). Buddha juga menganjurkan agar tidak segera percaya terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi hingga yang tertulis dalam kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki sendiri benar (A.I,191). Buddha sangat menghargai kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha tidak bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak menginginkan adanya ketergantungan kepada dirinya, dan tidak menunjuk pengganti sebagai pemegang otoritas setelah ia parinibbana (D.II.100).

Dharma yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipassiko, artinya ‘datang dan lihat’ (A.III,285). Karena pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman yang rasional dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses, suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab dan akibat, "seseorang yang melihat sebab akibat, berarti ia melihat Dharma” (M.I,191).

Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang, setiap orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat dirubah lagi, pembawaan itu dapat berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang dapat meniadakan akibat dari perbuatan atau karma lampau. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia. Merubah manusia untuk menjadi lebih baik dengan dasar tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Semoga bermanfaat