Sang
Buddha adalah guru para dewa dan manusia atau Satta Deva Manussanang. Sebagai seorang
guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode
dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan atau dukkha. Penderitaan bersumber
pada keinginan rendah atau tanha. Keinginan tergantung pada faktor lain
yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan
paticcasamuppada. Buddha menempatkan diurutan pertama adalah kebodohan atau avijja. Dalam
Dhammapada 243 dinyatakan yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Makanya Buddha mengatakan kepada para bhikkhu untuk singkirkan noda ini
dan jadilah orang yang tidak ternoda.
Jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan tidak lain adalah belajar. oleh karena itu, Sang
Buddha menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dalam Dhammapada
152 dinyatakan orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi,
dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak bertambah.
Selaras
dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh
kebodohan, pendidikan adalah salah satu jalan untuk mencapainya. Pendidikan
adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku, yang
dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri dan belajar itu seumur
hidup, sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju
kesempurnaan.
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada 60 orang arahat. Sebagaimana dalam Vinaya.I,21. "mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak.
Namun,
perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi
kebangkitan dari kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh tidak didasarkan
pada kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang
menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir Nirvana (A
Peng: 1990: 7).
Kebenaran terakhir juga tidak memerlukan merek agama, agama hanyalah rakit untuk mengantar ke tujuan. Sang Buddha memberikan analogi melalui perumpamaan Dhamma sebagai rakit yang tidak perlu harus dipikul karena telah berjasa menyeberangkan seseorang Alagaddupama Sutta (M.I,22).
Pendidikan
pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan Buddha
menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, dengan memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian
yang melihat semua orang sederajat ini, membuat Buddha menjalani kehidupan
rakyat biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan Sangha,
menampung murid dari berbagai golongan masyarakat dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.
Sang
Buddha dalam membabarkan Dhammanya tidak pernah membeda-bedakan orang yang akan
diajarkan, baik itu bodoh, miskin, kaya, setan, jin, serta dewa sekalipun. Sang
Buddha memberikan semua ajarannya tanpa merahasiakan sedikitpun yang telah ia
dapat sehingga banyak murid-muridnya yang mencapai tingkat-tingkat kesucian
dalam waktu relatif singkat.
Buddha
tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling
menuntun (M.II,170). Buddha juga menganjurkan agar tidak segera percaya
terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi hingga yang tertulis dalam
kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki sendiri benar (A.I,191). Buddha sangat
menghargai kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha
tidak bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak menginginkan
adanya ketergantungan kepada dirinya, dan tidak menunjuk pengganti sebagai
pemegang otoritas setelah ia parinibbana (D.II.100).
Dharma
yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipassiko,
artinya ‘datang dan lihat’ (A.III,285). Karena pendidikan memberi tempat yang
seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman yang rasional dan pengalaman empiris.
Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses, suatu proses pada
dasarnya merupakan rangkaian sebab dan akibat, "seseorang yang melihat sebab
akibat, berarti ia melihat Dharma” (M.I,191).
Manusia
dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang, setiap orang
dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu
takdir yang tidak dapat dirubah lagi, pembawaan itu dapat berubah karena adanya
pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada
saat sekarang dapat meniadakan akibat dari perbuatan atau karma lampau. Dengan
demikian pendidikan merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia. Merubah manusia untuk menjadi lebih baik dengan dasar tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Semoga bermanfaat