Sebab musabab yang saling bergantungan atau Paticcasamuppada merupakan pokok dasar ajaran agama Buddha. Doktrin yang terkandung dalam ajaran ini sangat dalam, rumit dan luas, sehinggga kita tidak membahasnya secara rincian. Terkait ajaran ini sebagaimana dalam Maha Hatthipadopama Sutta Majjhima Nikaya 28 Sang Buddha bersabda "Mereka yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Mereka yang melihat Dhamma, juga melihat Paticcasamuppada.” Dalam sutta yang lain disebutkan juga: "Mereka yang melihat Dhamma melihat Buddha, mereka yang melihat Buddha melihat Dhamma." Dari sutta ini jelas bahwa ajaran tentang Paticcasamuppada ini sangat erat sekali kaitannya dengan Dharma secara utuh.
Sebagaimana
juga terdapat dalam Mahanidana Sutta, Bhikkhu Ananda setelah mendengarkan
paticcasamuppada menyatakan kepada Sang Buddha: "Sungguh dalam
paticcasamuppada ini. Sebab musabab yang saling bergantung ini yang muncul dan
padam saling terkait, dan tergantung mengkondisikan segala sesuatu ini. Sungguh
dalam, sungguh halus. Tapi setelah saya melihatnya, Dhamma tersebut ternyata
sangat sederhana." Atas
pernyataan Bhikkhu Ananda ini, Sang Buddha menyatakan: "Janganlah berkata demikian Ananda,
janganlah berkata demikian. Karena Paticcasamuppada ini demikian dalam,
demikian halus, sulit untuk dipahami oleh mereka yang kekotoran batinnya masih
tebal.” Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang
menyatakan adanya sebab akibat yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk,
khususnya manusia. Hukum ini menekankan suatu prinsip penting bahwa semua
fenomena di alam semesta ini merupakan keadaan relatif yang terkondisi dan
tidak bisa muncul dengan sendirinya tanpa kondisi-kondisi yang mendukungnya.
Sebagai contoh; lampu bisa menyala karena adanya aliran listrik yang mengalir
melalui kabel ke dalam lampu tersebut. Artinya
segala sesuatu itu tidak berdiri sendiri tetapi ada karena adanya unsur lain.
Sebagaimana petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi
Buddha dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada.
Dari sisi Buddha Dharma kita
diajarkan untuk melihat bahwa segala sesuatu itu ada sebab musababnya bukan
dengan tiba-tiba atau kebetulan atau takdir. Semua sebab penderitaan dalam
kehidupan ini karena kita dilahirkan. Kalau sudah lahir, suatu saat kita akan mengalami
sakit, tua dan mati. Mengapa
ada kelahiran. Karena
ada dorongan yang menimbulkan kekuatan kelahiran yaitu dorongan perbuatan atau
karma. Mengapa ada perbuatan. Karena ada kemelekatan untuk melakukan hal-hal
tersebut atau merealisasikan apa yang kita lekati. Mengapa ada kemelekatan. Karena ada keinginan.
Kalau ada sesuatu yang kita inginkan maka timbul satu keinginan yang kuat,
hasrat rendah atau nafsu. Begitu tercapai, ingin lagi, ingin lagi. Itu yang
menimbulkan kemelekatan. Mengapa timbul keinginan. Karena ada perasaan, dari
perasaan timbul keinginan terhadap sesuatu. Perasaan muncul karena adanya
kontak. Mengapa ada kontak. Karena indera. Kita
mempunyai indera karena kita mempunyai batin dan jasmani. Mengapa ada batin dan jasmani. Karena ada kesadaran yang membentuk batin dan
jasmani, salah satunya adalah kesadaran tumimbal lahir. Mengapa bisa muncul kesadaran yang menyebabkan
tumimbal lahir. Karena
adanya perbuatan atau karma. Mengapa
muncul kamma. Karena akibat dari ketidaktahuan (avijja) maka kita melakukan ini
dan itu. Jika diurut, sebab menimbulkan akibat, akibat mengkondisikan untuk
akibat yang selenjutnya,
sebab akibat menjadi sumber dari sebab berikutnya, maka semuanya ada 12 mata
rantai sebab-musabab yang dikenal dengan nidana adalam agama Buddha.
Keduabelas mata rantai itu
diuraikan demikian detil oleh Sang Buddha, sehingga Sang Buddha memahami bahwa
itu adalah uraian yang sangat halus. Begitu halus dan sungguh sulit untuk
menguraikan dan membabarkan paticcasamuppada, maka dibuatlah simbol-simbol atau
gambar-gambar untuk memudahkan
memehaminya.
Prinsip
umum Paticcasamuppada terdapat
dalam Samyuttanikaya
II,28 yaitu: “dengan timbulnya ini maka timbullah itu, dengan
adanya ini maka adalah itu, dengan padamnya ini maka padamlah itu, dengan tidak
adanya ini maka itupun tidak ada”. Apabila empat kalimat ini berkurang satu saja, maka rumusan paticcasamuppada menjadi
tidak lengkap dan salah.
Dua belas faktor
Paticcasamuppada ini di uraikan dalam Paticcasamuppadavibhanga
Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 (S 2.1): Dari
ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk
perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara)
sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran
(vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani
(nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka
muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai
kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa)
sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan
(vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari
keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan
(upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah
proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai
kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran
kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian,
duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).
Dari 12 sebab musabab yang saling bergantungan dalam Paticcasamuppada dapat
dijelaskan masing-masing sebagi berikut:
Avijja (ketidaktahuan) artinya tidak
mengetahui kebenaran dan hakekat sesungguhnya segala sesuatu. Hakekat
sesungguhnya bahwa batin dan jasmani itu dicengkeram oleh anicca, dukkha, dan
anatta yang timbul dan padam dengan sebab akibat yang saling bergantungan.
Karena tidak berpengetahuan, penganut duniawi yang tidak terbimbing memiliki
pandangan yang keliru. Ia menganggap yang tidak kekal sebagai suatu yang kekal,
yang menyakitkan sebagai kesenangan, yang bukan roh sebagai roh, yang bukan
Tuhan sebagai Tuhan, yang tidak murni sebagai kemurnian, yang tidak nyata
sebagai kenyataan. Lebih jauh lagi, avijja adalah tidak memahami lima agregat
kehidupan (panca khanda), atau batin dan jasmani.
Secara singkat ia tidak
mengetahui Paticcasamuppada. Ketidaktahuan
atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kekotoran batin,
seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari
kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran,
ucapan ataupun tindakan jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya
ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai
Paticcasamuppada.
Sankhara
(Perbuatan) diibaratkan
dengan seseorang yang membuat roti. Ada roti yang sedang dalam proses
pembuatan, ada yang masih berupa bahan-bahan roti, ada juga yang sudah selesai
dikerjakan menjadi roti. Membuat roti itu ibarat melakukan sesuatu. Ada yang
sudah jadi roti; sudah jadi roti artinya karmanya sudah berbuah dan ada roti
yang sedang dalam proses pembuatan yang belum menjadi roti, sementara itu ia
terus-menerus membuat roti, karena masih avijja.
Vinanna
(Kesadaran) untuk
melihat, mendengar, membaui, mengecap, mengalami sentuhan, ataupun menyadari
sesuatu. Yang umum dibahas vinnana itu adalah patisandhi vinnana. Karena
melakukan nidana kedua, maka mengkondisikan tumimbal lahir. Mengkondisikan ini
diibaratkan dengan seekor kera. Kera yang pindah dari pohon yang berdaun kering
dan buahnya sudah tidak ada, ke pohon yang baru, yang daunnya masih hijau dan
buahnya masih merah. Ini ibarat pohon yang baru tetapi bukan berarti vinanna
itu pindah dari badan yang lama ke badan yang baru. Tumimbal lahir ini
mengkondisikan nama-rupa.
Nama-Rupa
(Batin Dan Jasmani) diibaratkan
pria dan wanita. Anggaplah pria ini jasmani dan wanita itu batin dalam suatu
perahu. Perahu ini terdiri dari batin dan jasmani. Kemudian batin dan jasmani
ini mengkondisikan salayatana.
Salayatana
(Enam Landasan Indra) yang
diumpamakan dengan sebuah rumah dengan 5 jendela dan satu pintu. Lima landasan
adalah fisik dan satu lagi batin. Karena ada 6 landasan indera ini maka
mengkondisikan phassa. Phassa (kontak); ibarat wanita dan pria yang mengadakan
kontak, maka muncullah perasaan, mengkondisikan vedana.
Vedana
(Perasaan) yang muncul dari kontak
telinga, hidung, lidah, sentuhan jasmani dan batin, sehingga muncullah tanha.
Tanha
(Nafsu Keinginan) ibarat
orang yang sedang minum minuman keras, akibatnya mabuk. Nafsu keinginan ini
bisa menimbulkan upadana.
Upadana
(Kemelekatan) ibarat
orang yang sedang mengambil buah. Buah terus diambil walaupun keranjangnya
sudah penuh, terus saja mengambil. Karena melekat itulah menimbulkan dorongan
melakukan sesuatu, sehingga menimbulkan bhava.
Bhava
(Proses Menjadi) kamma
bhava/melakukan, inilah yang akan mendorong makhluk menjadi lahir kembali atau jati.
Jati
(Kelahiran) karena lahir inilah yang mengkondisikan ketuaan,
kematian, keluh kesah, ratap tangis atau jara-marana.
Jara-Marana yaitu ketuaan, kematian, keluh kesah, ratap
tangis, dan penyakit yang berarti dukkha.
Di dalam Paticcasamuppada yang
rangkaiannya digambarkan sebagai ayam (simbol keserakahan /lobha), ular (simbol
kebencian/dosa), dan babi (simbol moha/kebodohan). Ini adalah tiga akar
kejahatan yang menyebabkan makhluk-makhluk tumimbal lahir di alam yang
menyedihkan.
Nidanna 12 diibaratkan dengan
12 mata rantai. Penjelasan di atas di mulai dari avijja. Apakah sebab pertama
itu adalah avijja dan apakah jara-marana penyebab timbulnya avijja? Tidak,
tidaklah demikian adanya, itu hanya urusan mengungkapkan perumpamaan dan pada
umumnya di dalam penjelasan paticcasamuppada 12 nidanna hanya selesai sampai di
situ, dan hal itu bisa menimbulkan pandangan salah, sebab bisa timbul anggapan
bahwa? avijja itu adalah awalnya? sehingga avijja dianggap sebagai sebab
pertama. Dan itu tidak beda jauh dengan keyakinan lain,
ada sebab pertama, cuma namanya bukan avijja.
Ada
3 lingkaran paticcasamuppada: kilesa vatta, kamma vatta,
dan vipaka vatta yang terus
berputar. Kilesa itu akan mendorong terbentuknya kamma. Kamma akan mendorong,
akhirnya memproduksi hasil. Hasil ditanggapi oleh batin kita yang kotor,
membentuk kamma lagi, terus berputar. Kilesa dan kamma menimbulkan hasil. Jadi
kilesa dan kamma itu sebab akibatnya vipaka, terus kilesa, kamma, upadana, bhava
itu sebab lagi, hasil lagi.
Setiap orang yang avijja,
pasti ia punya kekotoran batin juga. Avijja pasti joint dengan tanha dan
upadana, sankhara pasti ikut serta di dalamnya. Jadi, segala sesuatu yang terjadi sekarang ini
adalah hasil kontribusi dari perbuatan masa lampau. Hasil kita yang akan datang
merupakan kombinasi dari kamma di masa lampau dan kamma kita di masa sekarang.
Jadi kamma kita yang sekarang berkombinasi membentuk hasil berikutnya, di mana
vinnana, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana ini merupakan manifestasi
dari kelahiran, kelapukan, dan kematian.
Kesadaran kita muncul padam
itu artinya lahir, mati, lahir, mati. Makanya jatijara-marana idem dengan
vinanna, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana. Jadi pada saat yang lampau
yang menjadi sebab ada 5 yaitu: avijja, sankhara, tanha, upadana, dan bhava.
Menimbulkan hasil sekarang ada lima. Hasil yang sekarang direspon oleh batin
kita dengan sebab yang sekarang yang kita lakukan. Sebab sekarang yang kita
lakukan ada 5 juga yaitu: tanha, upadana, avijja, sankhara, bhava.
Jika dipilah-pilah, yang
memutar roda paticcasamuppada dalam abhidhamma itu ada 4 yaitu: (1)
Kamasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut nafsu indera. Ketika indera
kita mengadakan kontak, hal ini menyangkut/berkaitan dengan pendengaran,
penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dari panca indera. (2)
Bhavasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut eksistensi (keberadaan) atau
ingin terlepas dari sesuatu yang tidak menyenangkan. (3)
Ditthasava, yaitu kekotoran bathin karena pandangan yang keliru. (4)
Avijjasava, yaitu kekotoran dari kegelapan bathin. Dari keempat asava ini muncullah
tindakan-tindakan.
Jika kita perhatikan dari
rangkaian Paticcasamuppada dalam 12 mata rantai, umumnya sudah langsung muncul
perasaan. Ketika kontak dalam kehidupan sehari-hari yaitu kontak terhadap
objek-objek indera, hal tersebut mengkondisikan munculnya perasaan; pada saat
perasaan itu muncul empat jenis asava yang tadi juga siap muncul. Jadi, dari
kontak muncul suatu keinginan yang disebut tanha sehingga muncul tindakan.
Secara fisik ia tidak meninggal tetapi secara batin ia terlahir atau jati
lahirlah konsep "aku". Jika ia sudah lahir, maka jati-marana muncul;
begitu ia tumimbal lahir, batinnya menganggap dirinya sebagai atasan, ia sudah
lahir sebagai atasan dalam dirinya. Jika sudah tumimbal lahir secara batin
menjadi atasan maka konsekuensinya adalah dukkha, dukkha. Demikianlah singkatnya uraian tentang Paticcasamuppada, semoga bermanfaat.
merupakan pokok dasar ajaran agama Buddha. Doktrin yang
terkandung dalam ajaran ini sangat
dalam, rumit dan luas, sehinggga kita tidak membahasnya secara
rincian. Terkait ajaran ini sebagaimana
dalam Maha Hatthipadopama Sutta Majjhima Nikaya
28 Sang Buddha bersabda "Mereka yang melihat Paticcasamuppada,
juga melihat Dhamma. Mereka yang melihat Dhamma, juga melihat
Paticcasamuppada.” Dalam
sutta yang lain disebutkan juga: "Mereka
yang melihat Dhamma melihat Buddha, mereka
yang melihat Buddha melihat Dhamma."
Dari sutta ini jelas bahwa ajaran tentang Paticcasamuppada ini sangat
erat sekali kaitannya dengan Dharma secara utuh.
Sebagaimana
juga terdapat dalam Mahanidana Sutta, Bhikkhu Ananda setelah mendengarkan
paticcasamuppada menyatakan kepada Sang Buddha: "Sungguh dalam
paticcasamuppada ini. Sebab musabab yang saling bergantung ini yang muncul dan
padam saling terkait, dan tergantung mengkondisikan segala sesuatu ini. Sungguh
dalam, sungguh halus. Tapi setelah saya melihatnya, Dhamma tersebut ternyata
sangat sederhana." Atas
pernyataan Bhikkhu Ananda ini, Sang Buddha menyatakan: "Janganlah berkata demikian Ananda,
janganlah berkata demikian. Karena Paticcasamuppada ini demikian dalam,
demikian halus, sulit untuk dipahami oleh mereka yang kekotoran batinnya masih
tebal.” Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang
menyatakan adanya sebab akibat yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk,
khususnya manusia. Hukum ini menekankan suatu prinsip penting bahwa semua
fenomena di alam semesta ini merupakan keadaan relatif yang terkondisi dan
tidak bisa muncul dengan sendirinya tanpa kondisi-kondisi yang mendukungnya.
Sebagai contoh; lampu bisa menyala karena adanya aliran listrik yang mengalir
melalui kabel ke dalam lampu tersebut. Artinya
segala sesuatu itu tidak berdiri sendiri tetapi ada karena adanya unsur lain.
Sebagaimana petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi
Buddha dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada.
Dari sisi Buddha Dharma kita
diajarkan untuk melihat bahwa segala sesuatu itu ada sebab musababnya bukan
dengan tiba-tiba atau kebetulan atau takdir. Semua sebab penderitaan dalam
kehidupan ini karena kita dilahirkan. Kalau sudah lahir, suatu saat kita akan mengalami
sakit, tua dan mati. Mengapa
ada kelahiran. Karena
ada dorongan yang menimbulkan kekuatan kelahiran yaitu dorongan perbuatan atau
karma. Mengapa ada perbuatan. Karena ada kemelekatan untuk melakukan hal-hal
tersebut atau merealisasikan apa yang kita lekati. Mengapa ada kemelekatan. Karena ada keinginan.
Kalau ada sesuatu yang kita inginkan maka timbul satu keinginan yang kuat,
hasrat rendah atau nafsu. Begitu tercapai, ingin lagi, ingin lagi. Itu yang
menimbulkan kemelekatan. Mengapa timbul keinginan. Karena ada perasaan, dari
perasaan timbul keinginan terhadap sesuatu. Perasaan muncul karena adanya
kontak. Mengapa ada kontak. Karena indera. Kita
mempunyai indera karena kita mempunyai batin dan jasmani. Mengapa ada batin dan jasmani. Karena ada kesadaran yang membentuk batin dan
jasmani, salah satunya adalah kesadaran tumimbal lahir. Mengapa bisa muncul kesadaran yang menyebabkan
tumimbal lahir. Karena
adanya perbuatan atau karma. Mengapa
muncul kamma. Karena akibat dari ketidaktahuan (avijja) maka kita melakukan ini
dan itu. Jika diurut, sebab menimbulkan akibat, akibat mengkondisikan untuk
akibat yang selenjutnya,
sebab akibat menjadi sumber dari sebab berikutnya, maka semuanya ada 12 mata
rantai sebab-musabab yang dikenal dengan nidana adalam agama Buddha.
Keduabelas mata rantai itu
diuraikan demikian detil oleh Sang Buddha, sehingga Sang Buddha memahami bahwa
itu adalah uraian yang sangat halus. Begitu halus dan sungguh sulit untuk
menguraikan dan membabarkan paticcasamuppada, maka dibuatlah simbol-simbol atau
gambar-gambar untuk memudahkan
memehaminya.
Prinsip
umum Paticcasamuppada terdapat
dalam Samyuttanikaya
II,28 yaitu: “dengan timbulnya ini maka timbullah itu, dengan
adanya ini maka adalah itu, dengan padamnya ini maka padamlah itu, dengan tidak
adanya ini maka itupun tidak ada”. Apabila empat kalimat ini berkurang satu saja, maka rumusan paticcasamuppada menjadi
tidak lengkap dan salah.
Dua belas faktor
Paticcasamuppada ini di uraikan dalam Paticcasamuppadavibhanga
Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 (S 2.1): Dari
ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk
perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara)
sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran
(vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani
(nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka
muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai
kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa)
sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan
(vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari
keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan
(upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah
proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai
kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran
kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian,
duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).
Dari 12 sebab musabab yang saling bergantungan dalam Paticcasamuppada dapat
dijelaskan masing-masing sebagi berikut:
Avijja (ketidaktahuan) artinya tidak
mengetahui kebenaran dan hakekat sesungguhnya segala sesuatu. Hakekat
sesungguhnya bahwa batin dan jasmani itu dicengkeram oleh anicca, dukkha, dan
anatta yang timbul dan padam dengan sebab akibat yang saling bergantungan.
Karena tidak berpengetahuan, penganut duniawi yang tidak terbimbing memiliki
pandangan yang keliru. Ia menganggap yang tidak kekal sebagai suatu yang kekal,
yang menyakitkan sebagai kesenangan, yang bukan roh sebagai roh, yang bukan
Tuhan sebagai Tuhan, yang tidak murni sebagai kemurnian, yang tidak nyata
sebagai kenyataan. Lebih jauh lagi, avijja adalah tidak memahami lima agregat
kehidupan (panca khanda), atau batin dan jasmani.
Secara singkat ia tidak
mengetahui Paticcasamuppada. Ketidaktahuan
atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kekotoran batin,
seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari
kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran,
ucapan ataupun tindakan jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya
ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai
Paticcasamuppada.
Sankhara
(Perbuatan) diibaratkan
dengan seseorang yang membuat roti. Ada roti yang sedang dalam proses
pembuatan, ada yang masih berupa bahan-bahan roti, ada juga yang sudah selesai
dikerjakan menjadi roti. Membuat roti itu ibarat melakukan sesuatu. Ada yang
sudah jadi roti; sudah jadi roti artinya karmanya sudah berbuah dan ada roti
yang sedang dalam proses pembuatan yang belum menjadi roti, sementara itu ia
terus-menerus membuat roti, karena masih avijja.
Vinanna
(Kesadaran) untuk
melihat, mendengar, membaui, mengecap, mengalami sentuhan, ataupun menyadari
sesuatu. Yang umum dibahas vinnana itu adalah patisandhi vinnana. Karena
melakukan nidana kedua, maka mengkondisikan tumimbal lahir. Mengkondisikan ini
diibaratkan dengan seekor kera. Kera yang pindah dari pohon yang berdaun kering
dan buahnya sudah tidak ada, ke pohon yang baru, yang daunnya masih hijau dan
buahnya masih merah. Ini ibarat pohon yang baru tetapi bukan berarti vinanna
itu pindah dari badan yang lama ke badan yang baru. Tumimbal lahir ini
mengkondisikan nama-rupa.
Nama-Rupa
(Batin Dan Jasmani) diibaratkan
pria dan wanita. Anggaplah pria ini jasmani dan wanita itu batin dalam suatu
perahu. Perahu ini terdiri dari batin dan jasmani. Kemudian batin dan jasmani
ini mengkondisikan salayatana.
Salayatana
(Enam Landasan Indra) yang
diumpamakan dengan sebuah rumah dengan 5 jendela dan satu pintu. Lima landasan
adalah fisik dan satu lagi batin. Karena ada 6 landasan indera ini maka
mengkondisikan phassa. Phassa (kontak); ibarat wanita dan pria yang mengadakan
kontak, maka muncullah perasaan, mengkondisikan vedana.
Vedana
(Perasaan) yang muncul dari kontak
telinga, hidung, lidah, sentuhan jasmani dan batin, sehingga muncullah tanha.
Tanha
(Nafsu Keinginan) ibarat
orang yang sedang minum minuman keras, akibatnya mabuk. Nafsu keinginan ini
bisa menimbulkan upadana.
Upadana
(Kemelekatan) ibarat
orang yang sedang mengambil buah. Buah terus diambil walaupun keranjangnya
sudah penuh, terus saja mengambil. Karena melekat itulah menimbulkan dorongan
melakukan sesuatu, sehingga menimbulkan bhava.
Bhava
(Proses Menjadi) kamma
bhava/melakukan, inilah yang akan mendorong makhluk menjadi lahir kembali atau jati.
Jati
(Kelahiran) karena lahir inilah yang mengkondisikan ketuaan,
kematian, keluh kesah, ratap tangis atau jara-marana.
Jara-Marana yaitu ketuaan, kematian, keluh kesah, ratap
tangis, dan penyakit yang berarti dukkha.
Di dalam Paticcasamuppada yang
rangkaiannya digambarkan sebagai ayam (simbol keserakahan /lobha), ular (simbol
kebencian/dosa), dan babi (simbol moha/kebodohan). Ini adalah tiga akar
kejahatan yang menyebabkan makhluk-makhluk tumimbal lahir di alam yang
menyedihkan.
Nidanna 12 diibaratkan dengan
12 mata rantai. Penjelasan di atas di mulai dari avijja. Apakah sebab pertama
itu adalah avijja dan apakah jara-marana penyebab timbulnya avijja? Tidak,
tidaklah demikian adanya, itu hanya urusan mengungkapkan perumpamaan dan pada
umumnya di dalam penjelasan paticcasamuppada 12 nidanna hanya selesai sampai di
situ, dan hal itu bisa menimbulkan pandangan salah, sebab bisa timbul anggapan
bahwa? avijja itu adalah awalnya? sehingga avijja dianggap sebagai sebab
pertama. Dan itu tidak beda jauh dengan keyakinan lain,
ada sebab pertama, cuma namanya bukan avijja.
Ada
3 lingkaran paticcasamuppada: kilesa vatta, kamma vatta,
dan vipaka vatta yang terus
berputar. Kilesa itu akan mendorong terbentuknya kamma. Kamma akan mendorong,
akhirnya memproduksi hasil. Hasil ditanggapi oleh batin kita yang kotor,
membentuk kamma lagi, terus berputar. Kilesa dan kamma menimbulkan hasil. Jadi
kilesa dan kamma itu sebab akibatnya vipaka, terus kilesa, kamma, upadana, bhava
itu sebab lagi, hasil lagi.
Setiap orang yang avijja,
pasti ia punya kekotoran batin juga. Avijja pasti joint dengan tanha dan
upadana, sankhara pasti ikut serta di dalamnya. Jadi, segala sesuatu yang terjadi sekarang ini
adalah hasil kontribusi dari perbuatan masa lampau. Hasil kita yang akan datang
merupakan kombinasi dari kamma di masa lampau dan kamma kita di masa sekarang.
Jadi kamma kita yang sekarang berkombinasi membentuk hasil berikutnya, di mana
vinnana, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana ini merupakan manifestasi
dari kelahiran, kelapukan, dan kematian.
Kesadaran kita muncul padam
itu artinya lahir, mati, lahir, mati. Makanya jatijara-marana idem dengan
vinanna, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana. Jadi pada saat yang lampau
yang menjadi sebab ada 5 yaitu: avijja, sankhara, tanha, upadana, dan bhava.
Menimbulkan hasil sekarang ada lima. Hasil yang sekarang direspon oleh batin
kita dengan sebab yang sekarang yang kita lakukan. Sebab sekarang yang kita
lakukan ada 5 juga yaitu: tanha, upadana, avijja, sankhara, bhava.
Jika dipilah-pilah, yang
memutar roda paticcasamuppada dalam abhidhamma itu ada 4 yaitu: (1)
Kamasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut nafsu indera. Ketika indera
kita mengadakan kontak, hal ini menyangkut/berkaitan dengan pendengaran,
penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dari panca indera. (2)
Bhavasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut eksistensi (keberadaan) atau
ingin terlepas dari sesuatu yang tidak menyenangkan. (3)
Ditthasava, yaitu kekotoran bathin karena pandangan yang keliru. (4)
Avijjasava, yaitu kekotoran dari kegelapan bathin. Dari keempat asava ini muncullah
tindakan-tindakan.
Jika kita perhatikan dari rangkaian Paticcasamuppada dalam 12 mata rantai, umumnya sudah langsung muncul perasaan. Ketika kontak dalam kehidupan sehari-hari yaitu kontak terhadap objek-objek indera, hal tersebut mengkondisikan munculnya perasaan; pada saat perasaan itu muncul empat jenis asava yang tadi juga siap muncul. Jadi, dari kontak muncul suatu keinginan yang disebut tanha sehingga muncul tindakan. Secara fisik ia tidak meninggal tetapi secara batin ia terlahir atau jati lahirlah konsep "aku". Jika ia sudah lahir, maka jati-marana muncul; begitu ia tumimbal lahir, batinnya menganggap dirinya sebagai atasan, ia sudah lahir sebagai atasan dalam dirinya. Jika sudah tumimbal lahir secara batin menjadi atasan maka konsekuensinya adalah dukkha, dukkha. Demikianlah singkatnya uraian tentang Paticcasamuppada, semoga bermanfaat.