Emapat Kebenaran Mulia (Cattāri Ariyasaccāni)
Ajaran ini adalah salah satu ajaran agama Buddha yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan pokok dasar ajaran agama Buddha. Empat kebenaran mulia ini adalah kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang sebab dukkha, kebenaran tentang lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha:
Kebenaran tentang Dukkha
Berbagai penderitaan yang dialami manusia di dunia dalam agama Buddha dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu penderitaan biasa atau Dukkha-Dukkha, penderitaan yang terjadi karena adanya perubahan atau Viparinama Dukkha, dan penderitaan yang terjadi karena jasmani atau Sankhara Dukkha.
Penderitaan biasa contohnya adalah sakit perut, sakit flu, sakit gigi, atau jenis sakit lain yang bisa terjadi. Sementara penderitaan yang muncul karena perubahan misalnya berpisah dengan orang yang disayangi, rasa putus asa, dan perasaan sedih. Lalu, penderitaan karena jasmani bisa dicontohkan seperti lahirnya seseorang sebagai manusia. Kebenaran ini dialami oleh siapapun.
Kebenaran tentang Sebab Dukkha (Dukkha Samudaya)
Munculnya ketiga Dukkha di atas tentu ada sebabnya, yaitu karena manusia diselimuti oleh loba, dosa, dan moha atau kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin sehingga berujung pada kelahiran berulang dari waktu ke waktu, dari satu alam menuju alam berikutnya atau di alam yang sama. Sayangnya, sebab ini terjadi pada manusia tanpa disadari karena disebabkan Nafsu Tiada Henti atau Tanha dan kegelapan Batin atau Avijja.
Kebenaran tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda)
Sama halnya dengan penyakit yang sembuh saat penyebabnya diketahui dan dilakukan pengobatan yang tepat, penderitaan yang dialami seseorang juga bisa berakhir saat orang tersebut melakukan cara-cara yang benar. Kebahagiaan bisa dicapai saat seseorang telah terbebas dari penderitaan yang dialaminya, yang disebut dengan kebahagiaan Nirwana.
Nirwana bukan sebuah tempat, melainkan kondisi saat seorang Buddhis telah memiliki pemikiran yang jernih, terbebas dari segala sifat buruk dan kegelapan batin. Mereka yang berhasil mendapatkannya tentu telah berhasil menghilangkan ego dalam diri, sifat jahat, dan nafsu serta mendatangkan kebijaksanaan dalam hidup. Mereka akan menjadikan diri sebagai Orang Suci meski masih hidup berdampingan dan bergaul dengan orang lain.
Kebenaran tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda Gamini Patipada Magga)
Ajaran ini berisikan delapan jalan melenyapkan Dukkha. Ada delapan jalan yang bisa lalui, yaitu pandangan benar pikiran yang benar, perbuatan benar, ucapan benar, pencarian yang benar, daya upaya yang benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini apabila di klasifikasi menjadi sila, samadhi, dan panna. Inilah jalan menuju lenyapnya dukha yang diajarkan Sang Buddha.
Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
Selain empat kebenaran mulia yang merupakan pokok dasar ajaran agama Buddha adalah Tilakkhana. Tilakkhana atau tiga corak umum adalah tiga keadaan yang mencengkeram segala sesuatu yang berkondisi yang ada di dalam semesta alam ini. Tidak ada suatu bentuk apapun yang bebas dari ketiga corak tersebut. Oleh karena itu, Tilakkhana merupakan corak yang universal. Ketiga corak umum ini terdiri dari: (1) Anicca-lakkhana: corak berubah-ubah. (2) Dukkha-lakkhana: corak penderitaan. (3) Anatta-lakkhana: corak tanpa aku.
Anicca lakkhana
Anicca lakkhana atau ketidakkekalan atau anicca merupakan salah satu dari tiga corak umum dan fenomena mutlak yang senantiasa terjadi dan sedang terjadi disela-sela hidup dan kehidupan setiap orang. Saat ini juga, ketika sedang beraktivitas, waktu terus berputar yang berarti sedang terjadi proses kekelapukan atau ketidakkekalan.
Perubahan akibat ketidakkekalan ini menimpa semua hal yang berkondisi di lingkungan sekitar. Benda-benda yang dimiliki dan disayangi, kendaraan, rumah tinggal, perabotan atau peralatan, bahkan kondisi sosial, semua berubah setiap saat. Kondisi nyaman seketika dapat berubah menjadi kondisi yang tidak mengenakkan, begitu pula sebaliknya. Kondisi yang tidak mengenakkan dapat berubah menjadi kondisi nyaman dan menyenangkan. Silih berganti terjadi, semua berproses menuju ke kelapukan dan kehancuran.
Menjadi tua, sakit, dan mengalami kematian juga merupakan fenomena kehidupan yang tidak dapat ditolak oleh siapapun. Tidak peduli mereka orang kaya, berkuasa, cantik rupawan, maupun orang jelek, miskin dan hina. Semua akan mengalami proses itu secara umum.
Keadaan yang selalu berubah ini adalah corak yang khas dari keadaan Viparinama dan Annathabava. Viparinama berarti metafisika, yaitu suatu perubahan yang radikal di alam semesta, yang merupakan perubahan yang disebut dari bentuk yang ada ke keadaan yang tiada. Sedangkan Annathabava berarti perubahan yang mengikuti suatu keadaan sedikit demi sedikit
Dukkha lakkhana
Dukkha lakkhana adalah corak yang menjelaskan mengenai penderitaan, yang tidak menyenangkan, nyata, dan selalu ada dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini. Kehidupan dari semua mahluk yang tampak maupun tak tampak, yang besar maupun kecil, sebenarnya merupakan dukkha yang nyata. Terdapat 12 macam dukkha, yaitu: (1) Jati-dukkha: penderitaan dari kelahiran. (2) Jara-dukkha: penderitaan dari ketuaan. (3) Byadhi-dukkha: penderitaan dari kesakitan. (4) Marana-dukkha: penderitaan dari kematian. (5) Soka-dukkha: penderitaan dari kesedihan. (6) Parideva-dukkha: penderitaan dari ratap tangis. (7) Kayika-dukkha: penderitaan dari jasmani. (8) Domanassa-dukkha: penderitaan dari batin. (9) Upayasa-dukkha: penderitaan dari putus asa. (10) Appiyehisampayoga-dukkha: penderitaan karena berkumpul dengan orangyang tidak disenangi atau dengan musuh. (11) Piyehivippayoga-dukkha: penderitaan karena berpisah dengan sesuatu/seseorang yang dicinta. (12) Yampicchannaladhi-dukkha: penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan.
Anatta lakkhana
Anatta lakkhana adalah corak yang menimbulkan pengertian bahwa bentuk-bentuk materi dan batin itu sebagai sesuatu yang "tanpa aku yang kekal". Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang abadi dalam diri kita adalah merupakan kombinasi dari kumpulan unsur fisik dan mental (pancakkhanda), yang terdiri dari jasmani (rupakkhanda), perasaan (vedanakkhanda), persepsi (sannakkhanda), pikiran (samkharakkhanda), dan kesadaran (vinnanakkhanda). Semua unsur ini bekerja bersama dalam sebuah perubahan secara terus menerus yang tidak pernah sama antara satu momen dengan momen lainnya.
Dalam Anatta lakkhana Sutta, Sang Buddha bersabda, "Jasmani, o para Bhikkhu, bukanlah Sang Aku. Perasaan bukanlah Sang Aku. Persepsi bukanlah Sang Aku. Pikiran bukanlah Sang Aku. Demikian juga kesadaran. Dengan memahami hal tersebut, O para Bhikkhu, sang murid tidak lagi terikat pada jasmani, atau pada perasaan, atau pada persepsi, atau pada pikiran, atau pada kesadaran. Dengan tidak terikat pada semua unsur itu, ia menjadi terbebaskan dari hawa nafsu. Pengertian mengenai kekebasan berkembang dalam dirinya. Dan kemudian ia tahu bahwa apa yang telah ia lakukan adalah apa yang harus dilalukan, ia hidup dalam kehidupan suci, ia tidak lagi akan menjadi ini atau itu, dan alur kelahirannya telah terputuskan."
Paticcasamuppada
Sebab musabab yang saling bergantungan atau Paticcasamuppada merupakan pokok dasar ajaran agama Buddha selian empat kebenaran mulia dan Tilakkhana. Doktrin yang terkandung dalam ajaran ini sangat dalam, rumit dan luas, sehinggga kita tidak membahasnya secara rincian. Terkait ajaran ini sebagaimana dalam Maha Hatthipadopama Sutta Majjhima Nikaya 28 Sang Buddha bersabda "Mereka yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Mereka yang melihat Dhamma, juga melihat Paticcasamuppada.” Dalam sutta yang lain disebutkan juga: "Mereka yang melihat Dhamma melihat Buddha, mereka yang melihat Buddha melihat Dhamma." Dari sutta ini jelas bahwa ajaran tentang Paticcasamuppada ini sangat erat sekali kaitannya dengan Dharma secara utuh.
Sebagaimana juga terdapat dalam Mahanidana Sutta, Bhikkhu Ananda setelah mendengarkan paticcasamuppada menyatakan kepada Sang Buddha: "Sungguh dalam paticcasamuppada ini. Sebab musabab yang saling bergantung ini yang muncul dan padam saling terkait, dan tergantung mengkondisikan segala sesuatu ini. Sungguh dalam, sungguh halus. Tapi setelah saya melihatnya, Dhamma tersebut ternyata sangat sederhana." Atas pernyataan Bhikkhu Ananda ini, Sang Buddha menyatakan: "Janganlah berkata demikian Ananda, janganlah berkata demikian. Karena Paticcasamuppada ini demikian dalam, demikian halus, sulit untuk dipahami oleh mereka yang kekotoran batinnya masih tebal.” Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang menyatakan adanya sebab akibat yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk, khususnya manusia. Hukum ini menekankan suatu prinsip penting bahwa semua fenomena di alam semesta ini merupakan keadaan relatif yang terkondisi dan tidak bisa muncul dengan sendirinya tanpa kondisi-kondisi yang mendukungnya. Sebagai contoh; lampu bisa menyala karena adanya aliran listrik yang mengalir melalui kabel ke dalam lampu tersebut. Artinya segala sesuatu itu tidak berdiri sendiri tetapi ada karena adanya unsur lain. Sebagaimana petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada.
Dari sisi Buddha Dharma kita diajarkan untuk melihat bahwa segala sesuatu itu ada sebab musababnya bukan dengan tiba-tiba atau kebetulan atau takdir. Semua sebab penderitaan dalam kehidupan ini karena kita dilahirkan. Kalau sudah lahir, suatu saat kita akan mengalami sakit, tua dan mati. Mengapa ada kelahiran. Karena ada dorongan yang menimbulkan kekuatan kelahiran yaitu dorongan perbuatan atau karma. Mengapa ada perbuatan. Karena ada kemelekatan untuk melakukan hal-hal tersebut atau merealisasikan apa yang kita lekati. Mengapa ada kemelekatan. Karena ada keinginan. Kalau ada sesuatu yang kita inginkan maka timbul satu keinginan yang kuat, hasrat rendah atau nafsu. Begitu tercapai, ingin lagi, ingin lagi. Itu yang menimbulkan kemelekatan. Mengapa timbul keinginan. Karena ada perasaan, dari perasaan timbul keinginan terhadap sesuatu. Perasaan muncul karena adanya kontak. Mengapa ada kontak. Karena indera. Kita mempunyai indera karena kita mempunyai batin dan jasmani. Mengapa ada batin dan jasmani. Karena ada kesadaran yang membentuk batin dan jasmani, salah satunya adalah kesadaran tumimbal lahir. Mengapa bisa muncul kesadaran yang menyebabkan tumimbal lahir. Karena adanya perbuatan atau karma. Mengapa muncul kamma. Karena akibat dari ketidaktahuan (avijja) maka kita melakukan ini dan itu. Jika diurut, sebab menimbulkan akibat, akibat mengkondisikan untuk akibat yang selenjutnya, sebab akibat menjadi sumber dari sebab berikutnya, maka semuanya ada 12 mata rantai sebab-musabab yang dikenal dengan nidana adalam agama Buddha.
Keduabelas mata rantai itu diuraikan demikian detil oleh Sang Buddha, sehingga Sang Buddha memahami bahwa itu adalah uraian yang sangat halus. Begitu halus dan sungguh sulit untuk menguraikan dan membabarkan paticcasamuppada, maka dibuatlah simbol-simbol atau gambar-gambar untuk memudahkan memehaminya.
Prinsip umum Paticcasamuppada terdapat dalam Samyuttanikaya II,28 yaitu: “dengan timbulnya ini maka timbullah itu, dengan adanya ini maka adalah itu, dengan padamnya ini maka padamlah itu, dengan tidak adanya ini maka itupun tidak ada”. Apabila empat kalimat ini berkurang satu saja, maka rumusan paticcasamuppada menjadi tidak lengkap dan salah.
Dua belas faktor Paticcasamuppada ini di uraikan dalam Paticcasamuppadavibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 (S 2.1): Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).
Dari 12 sebab musabab yang saling bergantungan dalam Paticcasamuppada dapat dijelaskan masing-masing sebagi berikut:
Avijja (ketidaktahuan) artinya tidak mengetahui kebenaran dan hakekat sesungguhnya segala sesuatu. Hakekat sesungguhnya bahwa batin dan jasmani itu dicengkeram oleh anicca, dukkha, dan anatta yang timbul dan padam dengan sebab akibat yang saling bergantungan. Karena tidak berpengetahuan, penganut duniawi yang tidak terbimbing memiliki pandangan yang keliru. Ia menganggap yang tidak kekal sebagai suatu yang kekal, yang menyakitkan sebagai kesenangan, yang bukan roh sebagai roh, yang bukan Tuhan sebagai Tuhan, yang tidak murni sebagai kemurnian, yang tidak nyata sebagai kenyataan. Lebih jauh lagi, avijja adalah tidak memahami lima agregat kehidupan (panca khanda), atau batin dan jasmani.
Secara singkat ia tidak mengetahui Paticcasamuppada. Ketidaktahuan atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kekotoran batin, seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai Paticcasamuppada.
Sankhara (Perbuatan) diibaratkan dengan seseorang yang membuat roti. Ada roti yang sedang dalam proses pembuatan, ada yang masih berupa bahan-bahan roti, ada juga yang sudah selesai dikerjakan menjadi roti. Membuat roti itu ibarat melakukan sesuatu. Ada yang sudah jadi roti; sudah jadi roti artinya karmanya sudah berbuah dan ada roti yang sedang dalam proses pembuatan yang belum menjadi roti, sementara itu ia terus-menerus membuat roti, karena masih avijja.
Vinanna (Kesadaran) untuk melihat, mendengar, membaui, mengecap, mengalami sentuhan, ataupun menyadari sesuatu. Yang umum dibahas vinnana itu adalah patisandhi vinnana. Karena melakukan nidana kedua, maka mengkondisikan tumimbal lahir. Mengkondisikan ini diibaratkan dengan seekor kera. Kera yang pindah dari pohon yang berdaun kering dan buahnya sudah tidak ada, ke pohon yang baru, yang daunnya masih hijau dan buahnya masih merah. Ini ibarat pohon yang baru tetapi bukan berarti vinanna itu pindah dari badan yang lama ke badan yang baru. Tumimbal lahir ini mengkondisikan nama-rupa.
Nama-Rupa (Batin Dan Jasmani) diibaratkan pria dan wanita. Anggaplah pria ini jasmani dan wanita itu batin dalam suatu perahu. Perahu ini terdiri dari batin dan jasmani. Kemudian batin dan jasmani ini mengkondisikan salayatana.
Salayatana (Enam Landasan Indra) yang diumpamakan dengan sebuah rumah dengan 5 jendela dan satu pintu. Lima landasan adalah fisik dan satu lagi batin. Karena ada 6 landasan indera ini maka mengkondisikan phassa. Phassa (kontak); ibarat wanita dan pria yang mengadakan kontak, maka muncullah perasaan, mengkondisikan vedana.
Vedana (Perasaan) yang muncul dari kontak telinga, hidung, lidah, sentuhan jasmani dan batin, sehingga muncullah tanha.
Tanha (Nafsu Keinginan) ibarat orang yang sedang minum minuman keras, akibatnya mabuk. Nafsu keinginan ini bisa menimbulkan upadana.
Upadana (Kemelekatan) ibarat orang yang sedang mengambil buah. Buah terus diambil walaupun keranjangnya sudah penuh, terus saja mengambil. Karena melekat itulah menimbulkan dorongan melakukan sesuatu, sehingga menimbulkan bhava.
Bhava (Proses Menjadi) kamma bhava/melakukan, inilah yang akan mendorong makhluk menjadi lahir kembali atau jati.
Jati (Kelahiran) karena lahir inilah yang mengkondisikan ketuaan, kematian, keluh kesah, ratap tangis atau jara-marana.
Jara-Marana yaitu ketuaan, kematian, keluh kesah, ratap tangis, dan penyakit yang berarti dukkha.
Di dalam Paticcasamuppada yang rangkaiannya digambarkan sebagai ayam (simbol keserakahan /lobha), ular (simbol kebencian/dosa), dan babi (simbol moha/kebodohan). Ini adalah tiga akar kejahatan yang menyebabkan makhluk-makhluk tumimbal lahir di alam yang menyedihkan.
Nidanna 12 diibaratkan dengan 12 mata rantai. Penjelasan di atas di mulai dari avijja. Apakah sebab pertama itu adalah avijja dan apakah jara-marana penyebab timbulnya avijja? Tidak, tidaklah demikian adanya, itu hanya urusan mengungkapkan perumpamaan dan pada umumnya di dalam penjelasan paticcasamuppada 12 nidanna hanya selesai sampai di situ, dan hal itu bisa menimbulkan pandangan salah, sebab bisa timbul anggapan bahwa? avijja itu adalah awalnya? sehingga avijja dianggap sebagai sebab pertama. Dan itu tidak beda jauh dengan keyakinan lain, ada sebab pertama, cuma namanya bukan avijja.
Ada 3 lingkaran paticcasamuppada: kilesa vatta, kamma vatta, dan vipaka vatta yang terus berputar. Kilesa itu akan mendorong terbentuknya kamma. Kamma akan mendorong, akhirnya memproduksi hasil. Hasil ditanggapi oleh batin kita yang kotor, membentuk kamma lagi, terus berputar. Kilesa dan kamma menimbulkan hasil. Jadi kilesa dan kamma itu sebab akibatnya vipaka, terus kilesa, kamma, upadana, bhava itu sebab lagi, hasil lagi.
Setiap orang yang avijja, pasti ia punya kekotoran batin juga. Avijja pasti joint dengan tanha dan upadana, sankhara pasti ikut serta di dalamnya. Jadi, segala sesuatu yang terjadi sekarang ini adalah hasil kontribusi dari perbuatan masa lampau. Hasil kita yang akan datang merupakan kombinasi dari kamma di masa lampau dan kamma kita di masa sekarang. Jadi kamma kita yang sekarang berkombinasi membentuk hasil berikutnya, di mana vinnana, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana ini merupakan manifestasi dari kelahiran, kelapukan, dan kematian.
Kesadaran kita muncul padam itu artinya lahir, mati, lahir, mati. Makanya jatijara-marana idem dengan vinanna, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana. Jadi pada saat yang lampau yang menjadi sebab ada 5 yaitu: avijja, sankhara, tanha, upadana, dan bhava. Menimbulkan hasil sekarang ada lima. Hasil yang sekarang direspon oleh batin kita dengan sebab yang sekarang yang kita lakukan. Sebab sekarang yang kita lakukan ada 5 juga yaitu: tanha, upadana, avijja, sankhara, bhava.
Jika dipilah-pilah, yang memutar roda paticcasamuppada dalam abhidhamma itu ada 4 yaitu: (1) Kamasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut nafsu indera. Ketika indera kita mengadakan kontak, hal ini menyangkut/berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dari panca indera. (2) Bhavasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut eksistensi (keberadaan) atau ingin terlepas dari sesuatu yang tidak menyenangkan. (3) Ditthasava, yaitu kekotoran bathin karena pandangan yang keliru. (4) Avijjasava, yaitu kekotoran dari kegelapan bathin. Dari keempat asava ini muncullah tindakan-tindakan.
Jika kita perhatikan dari rangkaian Paticcasamuppada dalam 12 mata rantai, umumnya sudah langsung muncul perasaan. Ketika kontak dalam kehidupan sehari-hari yaitu kontak terhadap objek-objek indera, hal tersebut mengkondisikan munculnya perasaan; pada saat perasaan itu muncul empat jenis asava yang tadi juga siap muncul. Jadi, dari kontak muncul suatu keinginan yang disebut tanha sehingga muncul tindakan. Secara fisik ia tidak meninggal tetapi secara batin ia terlahir atau jati lahirlah konsep "aku". Jika ia sudah lahir, maka jati-marana muncul; begitu ia tumimbal lahir, batinnya menganggap dirinya sebagai atasan, ia sudah lahir sebagai atasan dalam dirinya. Jika sudah tumimbal lahir secara batin menjadi atasan maka konsekuensinya adalah dukkha, dukkha.
Karma Dan Punarbhava
Karma
Karma atau biasa dikenal dalam lingkungan agama Buddha Hukum Karma atau hukum perbuatan juga merupakan termasuk pokok dasar ajaran agama Buddha. Kamma (Bahasa Pali) atau Karma (Bahasa Sansekerta) artinya perbuatan baik atau buruk yang dilakukan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan melalui badan jasmani yang disertai dengan niat/kemauan/kehendak (cetana). Perbuatan yang dilakukan tidak disertai dengan niat (cetana) maka tidak dapat disebut dengan kamma/karma. Sebagaimana dalam Anguttara Nikaya III:415 : "O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Cetana) itulah yang kami namakan Kamma. Sesudah berkendak orang lantas berbuat dengan badan jasmani (kaya kamma), perkataan (vaci kamma) dan pikiran (mano kamma)”.
Apa Itu Kamma
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas berputusasa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan atau ditentukan oleh siapapun. Memang segala sesuatu yang lampau memengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karenanya kamma itu meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat sekarang memengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik.
Salah satu analogi yang terkenal dikalangan Buddhis tentang kamma yaitu seperti melempar batu kedalam kolam. “Lemparkanlah batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatikanlah bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi begitu lebar dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak tadi telah selesai, sebab bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas di mana batu tadi dijatuhkan.
Begitulah semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita seperti halnya dengan gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana batu itu dijatuhkan. Sebagaimana sabda Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya I, hal. 227 "Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padanya".
Dari kutipan ini jelas bahwa segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat kita tidak senang, kamma vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat suatu kesalahan. Janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, tidak marah dan juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan berlangsung terus.
Terkait bentuk karma terdapat dua belas jenis bentuk-bentuk kamma. Dua Belas macam kamma tersebut dibagi berdasarkan 3 kelompok yakni berdasarkan waktu berbuahnya, berdasarkan kekuatan karma dan berdasarkan fungsinya.
Kamma berdasarkan jangka waktu berbuahnya:
- Ditthadhamma Vedaniya Kamma adalah Kamma yang berbuahnya juga dalam kehidupan sekarang.
- Upajja Vedaniya Kamma adalah Perbuatan yang kita lakukan sekarang, hasilnya tepat di kehidupan yang akan datang.
- Aparapara Vedaniya Kamma adalah Perbuatannya itu hasilnya berturut-turut selama kehidupannya berlansung.
- Ahosi Kamma adalah Kamma yang tidak bisa berbuah lagi, karena jangka waktu berbuah dan kondisi pendukungya sudah habis.
Kamma berdasarkan kekuatannya:
- Garuka Kamma adalah Perbuatan yang akibatnya paling besar atau kuat. Yang termasuk Akusala Garuka Kamma.
- Asañña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan menjelang kematian yang kekuatnnya paling kuat. Jadi misalnya saat kita berada pada menjelang kematian maka setelah itu kita akan dilahirkan di alam sesuai dengan pkiran pada saat menjelang kematian itu, misalnya saja marah maka setelah itu akan terlahir di alam Neraka. Namun itu sesuai dengan karma baik kita juga. Jika karma baik kita menopang maka terlahir di alam Neraka hanya sebentar. Begitu pula sebaliknya.
- Aciñña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan terus menerus yang akhirnya akan menjadi watak atau kebiasaan (karena kebiasaan yang dilakukan).
- Katatta Kamma adalah Kekuatan yang paling ringan atau cetananya ringan.
Kamma berdasarkan Fungsinya:
- Janaka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk mendorong kelahiran suatu makhuk (potensi).
- Upatahmbaka Kamma adalah Kamma yang fungsinya untuk memperkuat, menambah Janaka Kamma jadi hasilnya bisa menjadi besar (kamma yang searah).
- Upapilaka Kamma adalah Kamma yang mengurangi kekuatan Janaka Kamma yang arahnya berlawanan.
- Upaghataka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk menghancurkan kekuatan dari Janaka Kamma.
10 (Sepuluh) Jenis Kamma Baik
- Gemar beramal dan bermurah hati akan berakibat dengan diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
- Hidup bersusila mengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang keadaannya berbahagia.
- Bermeditasi berakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
- Berendah hati dan hormat menyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
- Berbakti berbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
- Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain berbuah dengan terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
- Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan.
- Sering mendengarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
- Menyebarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan (sama dengan No.8).
- Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
10 (Sepuluh) Jenis Kamma Buruk
- Pembunuhan akibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan dijauhi orang
- Pencurian akibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain.
- Perbuatan asusila akibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya.
- Berdusta akibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
- Bergunjing akibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa alasan yang jelas.
- Kata-kata kasar dan kotor akibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain.
- Omong kosong akibatnya bertubuh cacat, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.
- Keserakahan akibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
- Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lain akibatnya buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
- Pandangan salah akibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.
Lima Bentuk Kamma Berat (Akusala Garuka Kamma)
Lima perbuatan berakibat sangat berat yang membuat pelakunya terlahir di alam neraka: (1) Membunuh ibu. (2) Membunuh ayah. (3) Membunuh seorang Arahat. (4) Melukai seorang Buddha. (5) Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.
Punarbhava
Kelahiran kembali (Pali: Punabbhava; Sanskerta: Punarbhava) adalah istilah dalam agama Buddha tentang terlahirnya kembali suatu mahluk hidup dalam salah satu dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi Buddha tanpa melibatkan eksistensi roh yang permanen (anatta). Konsep ini berbeda dengan konsep reinkarnasi yang mana ada eksistensi roh, berupa perpindahan alam kehidupan sebelumnya ke alam kehidupan selanjutnya.
Punabbhava berasal dari dua kata yaitu kata ”puna” dan ”bhava”. Kata ”puna” yang berarti “lagi” atau “kembali”, sedangkan kata “bhava” berarti menjadi ada. Jadi, secara harfiah, punabbhava berarti menjadi ada lagi. Dalam teks-teks Buddhis Punabbhava sering diterjemahkan menjadi tumimbal lahir. Suatu makhluk menjadi ada (bhava) tidak lepas dari lahir (uppatti atau jāti) karena keduanya memiliki hubungan sebab akibat.
Dalam agama Buddha lahir kembalinya suatu makhluk hidup merupakan akibat dari adanya perbuatan, bukan suatu takdir yang harus dijalani. Ketika tidak ada perbuatan penyebab lahir kembali yang dilakukan maka ia tidak akan dilahirkan kembali. Sebagaimana mereka yang telah mencapai tingkat kesucian arahat tidak lagi melakukan perbuatan penyebab lahir kembali dalam hidupnya, sehingga mereka tidak dilahirkan kembali. Dalam proses kelahiran kembali yang terjadi adalah adanya proses dari batin pada kehidupan lampau ke kehidupan baru. Proses ini merupakan suatu bentuk aksi-reaksi. Oleh karena itu proses kelahiran kembali sangatlah berhubungan dengan proses kematian itu sendiri. Dan kedua proses yang berhubungan ini sangatlah kompleks.
Dalam Satta Sutta disebut makhluk hidup apabila ada pañca skandha atau lima unsur menjadi satu, yang kelimanya dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama yaitu jasmani dan yang kedua adalah batin atau yang disebuat rupa dan nama. Pada saat seseorang mengalami kematian, jasmani tidak lagi bisa berfungsi dan akan mengalami kehancuran. Sedangkan nama/batin/kesadaran atau paṭisandhi viññāṇa akan berproses menuju kehidupan baru dengan adanya peran dari Kamma yang pernah dilakukan.
Ketika jasmani tidak berfungsi lagi atau mati maka muncul kesadaran akhir atau cuti citta. Ketika Kesadaran akhir pemadaman, maka orang tersebut dikatakan sudah meninggal. Tetapi pada saat yang bersamaan juga batin/citta/kesadaran kehidupan baru muncul. Dan saat itulah seseorang telah dilahirkan kembali, sudah berada dalam kandungan baru sesuai dengan hasil kammanya masing-masing. Demikianlah yang terjadi dan pesan dari penulis perbanyaklah berbuat baik agar kelak setelah kematian, kembali dikehidupan yang baru lebih baik lagi. Demikianlah uraian tentang Pokok-pokok Dasar Ajaran Agama Buddha. Semoga bermanfaat