Subscribe Us

Selamat Datang Di Dharmaduta Inspiratif : https://www.damaduta.net

Pelepasan Agung Pangeran Siddharta

Kehidupan dalam keluarga Pangeran Siddharta sesungguhnya sangat membahagiakan. Mereka berbahagia karena saling mencintai dan dikarunia seorang anak. Akan tetapi, setelah Pangeran Siddharta melihat empat peristiwa, Beliau terdorong untuk menemukan kebahagiaan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan bebas dari usia tua, sakit, dan kematian. Apakah yang selanjutnya dilakukan Pangeran? Apakah Beliau dapat menemukan kebahagiaan yang dicari? Ikutilah lanjutan kisah hidup Pangeran Siddharta berikut ini.

Kelahiran Putra Pangeran Siddharta (Pertemuan Ke-Lima)

Pada waktu itu, Raja Suddhodana menerima berita bahwa permaisuri Pangeran Siddharta, Yasodharā, telah melahirkan seorang putra. Jadi, Raja mengutus dayang-dayang untuk menyampaikan pesan kepada Pangeran dengan penuh kegembiraan, “Pergilah, sampaikan berita gembira ini kepada putraku.” Saat itu, Pangeran Siddharta sedang termenung setelah melihat empat peristiwa. Dari keempat peristiwa yang dilihat, hanya petapa suci yang selalu dipikirkan. Bahkan, dalam hatinya, Pangeran bergembira dengan mengatakan, “Aku juga harus bisa menjadi petapa seperti itu.”

Dalam kegembiraan-Nya, datanglah para dayang utusan Raja Suddhodana. Mereka memberitahukan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita itu, Pangeran Siddharta pun bergembira. Akan tetapi, ketika mengingat semua yang lahir pasti akan mengalami tua, sakit, dan mati, Pangeran pun merenung dan berkata: “Rāhulajato, bandhanang jatang,” yang artinya “Satu jerat telah lahir, satu ikatan telah terlahir.”

Pangeran Siddharta berpikir bahwa dengan kelahiran anak-Nya, Ia dapat menjadi penghalang untuk mencapai pembebasan dari usia tua, sakit, dan mati. Karena itu Ia berkata “Rahu” yang artinya ikatan atau jerat. Memang pada kenyataannya semua yang lahir pasti akan mengalami usia tua, sakit, dan mati. Jadi, kelahiran akan menjerat setiap orang dan tidak bisa menghindar dari usia tua, sakit, dan mati. Karena itu, Pangeran Siddharta menyambut kelahiran putranya dengan hati yang tenang dan seimbang.

Ketika para dayang ditanya oleh Raja Suddhodana, “Apa yang dikatakan oleh putraku?” Mereka mengatakan bahwa Pangeran Siddharta menyambut kelahiran putra-Nya dengan hati yang tenang seimbang kemudian berkata, “Rāhulajato, bandhanang jatang”. Mendengar laporan tersebut, Raja Suddhodana kemudian memberi nama dan gelar bagi cucunya dengan berkata, “Sejak saat ini, cucuku dikenal dengan nama Pangeran Rāhula.”

Pertanyaan
1. Siapa yang diberitakan telah melahirkan?
2. Apa yang dilakukan Raja Suddhodana?
3. Mengapa Pangeran Siddharta berkata Rāhula pada anaknya?
4. Bagaimana cara Pangeran Siddharta menyambut kelahiran anak-Nya?
5. Bagaimana pendapatmu terhadap sikap Pangeran Siddharta dalam menyambut kelahiran anak-Nya?
6. Bagaimana cara kamu memperlakukan adik bayi?

Pertemuan dengan Kissā Gotami (Pertemuan Ke-Enam)

Pangeran Siddharta memasuki Kota Kapilavatthu dengan mengendarai kereta diiringi oleh banyak pengikut. Saat memasuki kota, seorang putri Sakya bernama Kissā Gotami melihat Pangeran. Kissā Gotami merasa berbahagia. Kissā Gotami mengungkapkan perasaan gembiranya sebagai berikut. 

Tenanglah ibunya (Nibbutā nūna sā māta) 
Tenanglah ayahnya (Nibbutā nūna so pitā) 
Tenanglah istrinya (Nibbutā nūna sā nāri) 
Yang memiliki suami seperti Anda (Yassā’yam idiso pati) 

Mendengar ungkapan kegembiraan Kissā Gotami, Pangeran merenung. “Saudara sepupu-Ku, Putri Sakya, Kissā Gotami telah mengucapkan kata-kata gembira karena melihat pribadi yang membawa kegembiraan dan kedamaian kepada ibu, ayah, dan istri. Tetapi, jika telah padam, apakah yang akan membawa kedamaian sejati bagi batin?”

Kemudian, Pangeran Siddharta menyadari bahwa “Kedamaian sejati akan muncul hanya jika keserakahan (lobha) dipadamkan. Kedamaian sejati akan muncul hanya jika kebencian (dosa) dipadamkan. Kedamaian sejati akan muncul hanya jika kebodohan (moha) dipadamkan, kedamaian sejati akan muncul hanya jika keangkuhan (māna), pandangan salah (dithi), dan lain-lain disingkirkan.

Kissā Gotami telah mengucapkan kata-kata indah tentang kedamaian. Aku yang akan mencari Nibbāna, kebenaran tertinggi, pemadaman yang sebenarnya dari segala penderitaan. Bahkan, hari ini juga, Aku harus melepaskan keduniawian dengan menjadi petapa di dalam hutan untuk mencari Nibbāna, kebenaran sejati.”

Pikiran untuk melepaskan keduniawian terus muncul dalam diri Pangeran Siddharta. Pangeran berkata, “Kalung mutiara ini akan menjadi imbalan bagi Kissā Gotami yang mengingatkan-Ku untuk mencari unsur pemadaman (Nibbuti).” Akhirnya, Pangeran Siddharta melepas kalung mutiara-Nya yang bernilai sangat mahal dari leher-Nya dan memberikannya kepada Kissā Gotami. Kissā Gotami sangat gembira menerimanya.

Berdasarkan teks bacaan di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan benar.
1. Apa yang membuat Kissā Gotami merasa gembira?
2. Mengapa Pangeran Siddharta memberikan kalung-Nya pada Kissā Gotami?
3. Apa makna kedamaian sejati menurut Pangeran Siddharta?
4. Apa makna kedamaian menurut kamu?
5. Bagaimana cara kamu menciptakan kedamaian?
6. Apa artinya berita baik?
7. Apa saja yang termasuk berita baik?
8. Bagaimana cara-cara menyampaikan berita baik?
9. Apa manfaat berita baik menurut kamu?
10. Mengapa kita perlu menyampaikan berita baik kepada orang lain?

Delapan Anugerah (Pertemuan Ke-Tujuh)

Delapan Permohonan Pangeran Siddharta

Keluarga kerajaan saat itu sedang dalam suasana gembira, terutama Raja Suddhodana karena telah lahir cucu yang sangat dinanti-nantikan. Untuk memberikan nama kepada cucunya, diadakanlah pesta menyambut kelahiran cucunya. Sesuai dengan kata-kata yang diucapkan Pangeran Siddharta, cucunya diberi nama Rāhula oleh Raja Suddhodana. 

Pangeran Siddharta yang saat itu telah memiliki tekad yang kuat untuk menjadi petapa dengan hati-hati mendekati Raja Suddhodana. Pangeran meminta izin agar dapat pergi meninggalkan istana dan menjadi petapa untuk mengatasi usia tua, sakit, dan kematian. Raja yang menginginkan Pangeran Siddharta menjadi raja tentu tidak mengizinkan-Nya pergi.
“Ayah, jika saya tidak diizinkan pergi, mohon Ayah berkenan memberikan delapan anugerah kepada-Ku.” 
“Tentu saja, Anakku, aku akan memberikan apa pun permintaan-Mu. Apakah yang Kamu minta?”
“Ayah, karena Ayah tidak mengizinkan saya pergi untuk menjadi petapa agar dapat mengatasi usia tua, sakit, dan kematian, mohon Ayah memberikan kepada-Ku delapan anugerah:
1. Agar saya tidak menjadi tua
2. Agar saya tidak menjadi sakit
3. Agar saya tidak mengalami kematian
4. Agar Ayah tetap bersama saya
5. Agar semua wanita di istana ini dan kerabatnya tetap hidup
6. Agar kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang
7. Agar semua yang hadir dalam pesta kelahiran-Ku dapat mengatasi semua nafsu keinginannya
8. Agar saya dapat mengatasi kelahiran, usia tua, dan kematian

Mendengar permintaan tersebut, Raja Suddhodana terkejut dan tidak menduganya. Kemudian, Raja mencoba membujuk-Nya, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut, tunggulah dan tangguhkan kepergian-Mu sampai aku sudah mangkat.” 

“Ayah, izinkan Aku pergi selagi Ayah masih hidup karena dengan demikian kelak ketika Aku berhasil, Aku akan kembali ke kerajaan dan mempersembahkannya kepada Ayah.”

Pangeran Siddharta Pergi Meninggalkan Istana

Pada malam harinya, Pangeran pergi menuju istana-Nya yang megah, indah, dan nyaman, kemudian berbaring di depan istana-Nya. Saat Beliau berbaring, semua pelayan perempuan serta para gadis penari yang memiliki kecantikan bagaikan bidadari dan memiliki kulit yang bersih yang memiliki kemampuan menyanyi, menari, dan bermain musik, berkumpul di sekeliling-Nya dengan lima jenis alat musik di tangan. Mereka mulai bermain musik, menari serta menyanyi, untuk menghibur-Nya. Tetapi, karena letih, Ia tidak lagi dapat menikmati hiburan berupa nyanyian, tarian, dan musik. Beliau tertidur pada saat itu juga.

Pada saat bangun dari tidur-Nya, Beliau melihat para gadis penari yang tertidur. Beberapa menimpa alat musiknya di bawah tubuhnya. Air liur mengalir keluar dari mulutnya mengotori pipi serta tubuhnya. Beberapa menggemeretakkan giginya. Beberapa mendengkur. Beberapa mengoceh dalam tidurnya. Beberapa dengan mulut terbuka. Beberapa tidur tanpa mengenakan pakaian yang layak. Beberapa tertidur dengan rambut kusut berantakan. Semuanya terlihat seperti mayat yang menjijikkan di kuburan.

Menyaksikan perubahan yang menjijikkan dalam diri para gadis penari, Pangeran merenung dan menyadari bahaya dari kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian. Pangeran Siddharta kemudian mengungkapkan perasaan- Nya dengan mengucapkan: “Oh, betapa menyulitkan!” “Oh, betapa menekan!” Kejadian tersebut menyebabkan Pangeran Siddharta berkeinginan kuat untuk melepaskan keduniawian dan menjadi petapa. Beliau berpikir, “Sekarang adalah waktunya bagi-Ku untuk pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga.”

Pada tengah malam, Pangeran Siddharta keluar dari istana. Senin malam purnama di bulan Asadha. Pangeran tiba di pintu gerbang utama kota. Beliau hendak berangkat meninggalkan istana dengan menunggangi kuda istana, Kanthaka, bersama kusirnya, Channa yang memegang ekor Kuda Kanthaka. Adapun para dewa meletakkan tangan mereka di bawah kaki kuda itu pada setiap derapnya sehingga suara derapannya tidak terdengar oleh siapa pun.


Berdasarkan teks bacaan di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan beriktu ini dengan benar.

1. Apa saja delapan anugerah yang diminta Pangeran Siddharta?

2. Mengapa Pangeran Siddharta meminta delapan anugerah?

3. Apa yang menyebabkan Pangeran Siddharta makin mantap untuk meninggalkan istana?

4. Apa pendapatmu tentang kepergian Pangeran Siddharta meninggalkan anak, istri, dan istananya?

5. Apa pesan moral yang dapat kamu petik dari cerita di atas?

6. Pernahkah kamu pergi meniggalkan rumah? Tuliskan alasannya.

7. Apa saja alasan yang benar dalam meminta?

8. Tentukan cara-cara terbaik dalam meminta sesuatu.

9. Apa tindakan yang terbaik jika permintaanmu ditolak?

10. Apa tindakan yang terbaik jika permintaamu dikabulkan?

Pangeran Siddharta Menjadi Petapa (Pertemuan Ke-Delapan)

Peristiwa di Sungai Anoma Demikianlah, mereka bertiga pergi bersama-sama. Berkat kebajikan kumpulan jasa-jasa dan keagungan Pangeran Siddharta, para dewa yang menjaga pintu gerbang kota dengan gembira membiarkan pintu gerbang tersebut tetap terbuka bagi Pangeran untuk keluar. Begitu Pangeran keluar dari pintu gerbang kota bersama Channa, Māra Vasavatta yang tidak senang dan selalu menentang dan menghalangi Pangeran Siddharta untuk melepaskan keduniawian. Māra menahan Pangeran dengan berusaha menipu-Nya untuk memercayai bahwa pencegahan ini adalah demi kebaikan Pangeran sendiri. Dari angkasa, dia mengucapkan: “O Bodhisattva Pangeran yang sangat bersemangat, jangan pergi melepaskan keduniawian menjadi petapa. Pada hari ketujuh dari sekarang, Roda Pusaka Surgawi akan muncul untuk-Mu.” Dia juga menghalang-halangi dengan mengatakan, “Engkau akan menjadi raja dunia yang memerintah empat benua besar yang dikelilingi oleh dua ribu pulau kecil. Kembalilah, Yang Mulia!”

Pangeran menjawab, “Siapakah engkau, yang berbicara pada-Ku dan menghalang-halangi-Ku?” Māra menjawab, “Yang Mulia, aku adalah Māra Vasavatta.” Kemudian, Bodhisattva menjawab dengan tegas: “O Māra yang sangat kuat. Aku sudah tahu bahkan sebelum engkau katakan, bahwa Roda Pusaka akan muncul untuk-Ku. Namun, Aku sama sekali tidak berkeinginan untuk menjadi raja dunia yang memerintah empat benua. Pergilah engkau, O Māra, dari sini; jangan menghalang-halangi-Ku.” Lalu, Māra menakut-nakuti Bodhisattva dengan kata-kata berikut, “O kawan, Pangeran Siddharta, ingatlah kata-kata-Mu itu. Mulai saat ini, aku akan membuat-Mu mengenalku dengan baik, ketika pikiran-Mu dipenuhi oleh nafsu-nafsu indria, kebencian, dan kekejaman.” Sejak saat itu, dia selalu mencari-cari peluang untuk menggagalkan Pangeran Siddharta dan siapa pun yang mempunyai keinginan baik.

Pada akhirnya, mereka mencapai tepi Sungai Anomā. Pangeran mengistirahatkan kuda-Nya di tepi sungai dan bertanya kepada Channa, “Apa nama sungai ini?” Ketika dijawab oleh Channa bahwa sungai tersebut adalah Sungai Anomā, Bodhisattva menganggap itu adalah pertanda baik, dan berkata, “Pertapaan-Ku tidak akan gagal, bahkan sebaliknya akan memiliki kualitas yang baik karena Anomā artinya bukan sesuatu yang rendah.” Kemudian, Pangeran menepuk Kanthaka dengan tumit-Nya untuk memberikan aba-aba kepadanya agar menyeberangi sungai, dan Kanthaka melompat ke sisi seberang sungai. 

Setelah turun dari punggung kuda, ketika tiba di seberang sungai dan berdiri di atas pasir di tepi sungai, Pangeran menyuruh Channa, “Channa sahabat-Ku, bawalah kuda Kanthaka bersama dengan semua perhiasan-Ku pulang. Aku akan menjadi petapa.” Ketika Channa mengatakan bahwa dia juga ingin melakukan hal yang sama, Bodhisattva melarangnya sampai tiga kali dengan mengatakan, “Engkau tidak boleh menjadi petapa. Channa sahabat-Ku, pulanglah ke kota.” Dia menyerahkan Kanthaka dan semua perhiasan-Nya kepada Channa.

Setelah itu, dengan pedang di tangan kanan-Nya, Pangeran memotong rambut-Nya dan mencengkeramnya bersama mahkota-Nya dengan tangan kiri-Nya. Rambut-Nya yang tersisa sepanjang dua jari mengeriting ke arah kanan dan menempel di kulit kepala-Nya. Sisa rambut itu tetap sepanjang dua jari hingga akhir hidup-Nya meskipun tidak pernah dipotong lagi.

Potongan rambut-Nya kemudian dilemparkan ke angkasa bersama mahkota- Nya. Pada waktu itu, Sakka, raja para dewa, melihat rambut Bodhisattva dengan mata-dewanya. Sakka mengambilnya bersama dengan mahkota-Nya dengan menggunakan sebuah peti permata, berukuran satu yojanā, dan membawanya ke Surga Tāvatimsa. Ia kemudian menyimpannya di dalam Cetiya Culamani yang didirikannya dan dihias dengan tujuh jenis batu permata. 

Saat itu, datanglah Dewa Brahmā Ghatikāra yang berasal dari alam Sorga Brahma Suddhavasa Akanittha, membawakan delapan perlengkapan, yaitu (1) jubah luar, (2) jubah atas yang disebut ekacci, (3) jubah bawah, (4) ikat pinggang, (5) jarum dan benang, (6) pisau yang digunakan untuk menyerut kayu pembersih gigi, (7) mangkuk dan wadahnya, dan (8) saringan air. Kedelapan perlengkapan itu diserahkan kepada Pangeran Siddharta.

Pangeran Siddharta melemparkan busana-Nya yang lama menggantinya dengan pakaian seorang petapa. Brahma Ghatikara pun mengambil busana yang dilempar tersebut dan membawanya ke alam Sorga Akanittha dan mendirikan sebuah Cetiya berukuran dua belas Yojanā berhiaskan berbagai macam permata tempat ia menyimpan pakaian tersebut dengan penuh hormat. Karena Cetiya itu berisi busana, disebut Cetiya Dussa.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar.
1. Siapa yang mengiringi Pangeran Siddharta meninggalkan istana?
2. Mengapa kepergian Pangeran Siddharta tidak diketahui?
3. Siapakah Marā Vasavati?
4. Mengapa Marā terus memengaruhi Pangeran Siddharta agar tidak pergi meninggalkan istana?
5. Apa yang dilakukan Pangeran Siddharta di tepi Sungai Anomā?
6. Siapakah Dewa Sakka?